Jelas ada alasan mengapa aku menghindari pergaulan. Karena ikatan melahirkan harapan dan kecewa selalu hadir memutus ikatan. Benar-benar menyusahkan, hasilnya tidak ada. Sendiri lebih menyenangkan.
Sendiri adalah rumah. Daripada menunggu teman-teman yang bukan milikku, lebih nyaman menggauli sepi dalam diam. Damai tanpa peraduan egoisme.
Kemudian berdiri aku di sini, di atap pencakar langit kota kami. Setelah membantu bersih-bersih, aku boleh berada di sini sampai pukul delapan. Dengan seragam putih abu-abu tanpa dasi yang kancing paling atasnya kubuka. Rambut sepundak kubebaskan dicium angin malam, sementara bibir merah gincu ini mengepul asap. Rupanya indah bintang kalah dari gemerlap ibukota. Buktinya mereka tak menampakkan diri lagi, sadar diri.
Orang-orang sekarang memang aneh, menyukai kepalsuan dan membiarkan yang benar-benar benar mati ditelan frustasi. Tak bisa dipungkiri, aku juga orang sekarang. Cukup ironis karena aku pun sudah mati.
Ada dan tiada sudah tak penting lagi. Aku berteriak, aku mengumpat, aku menangis juga orang-orang tak peduli. Aku berteriak, aku mengumpat, aku menangis di atas sini rasanya lebih leluasa sehingga bukan sesekali lagi. Cukup aku yang tahu, biar aku saja yang peduli. Oh, sebenarnya ada anak lelaki yang diam-diam mengintip terkadang. Kami seumuran atau dia agaknya sedikit lebih muda. Tak heran sering ada mie siap makan atau roti dan soda. Aku makan tanpa bertanya, kemudian meninggalkan kertas bertulis terima kasih.
Tetapi hari ini aku dibuat bingung dengan kotak polkadot berisi baju dan sepatu mahal. Secarik kertas biru bertulis ia akan menemuiku besok membuatku diam-diam menyimpul senyum. Kemudian amygdala mengajakku bermain dengan logika, apa maksudnya semua ini? Kuputuskan menghabiskan puntung ketiga dan pulang membawa kotak polkadot yang entah mengapa dipersembahkan untukku. Membuatku terkekeh kecil, kini benar-benar terasa seperti hantu penunggu yang gentayangan di malam hari. Menerima sesajen.
Hari berganti dan mentari terbenam tepat saat aku menyapa satpam di depan. Bapak berkumis itu tersenyum ramah. Selebihnya bangunan ini sudah sepi, orang-orang telah bergegas pulang. Menemui keluarga yang menunggu, tak seperti aku yang yatim piatu. Setelah tugas bersih-bersihku usai, segera kutuju kamar mandi untuk berganti. Aku akan bertemu dengannya malam ini.
Haha, sungguh! Aneh rasanya. Aku tak biasa berpenampilan begini. Dress maroon yang entah darimana ia tahu warna favoritku. Dan selop hitam ini terlihat begitu manis dengan pitanya yang berwarna merah. Aku sedikit bersolek dan tentu saja dengan sentuhan gincu merahku. Kemudian kutuju tangga terakhir ke atap. Kuraih gagang pintu dan kubuka dengan hati-hati.
Namun, tak ada siapa-siapa.
Tak ada seorang pun. Hanya dingin malam dan aku. Benar-benar kosong, sepi, dan sendiri. Bedanya perasaanku tak damai sama sekali. Aku cemas. Apa-apaan semua ini?
Kucoba menunggu dan satu jam berlalu begitu. Lalu aku berkeliling, siapa tahu ia bersembunyi untuk memberiku kejutan. Rupanya tidak. Entah apa yang terjadi pada malam, atap gedung ini, dan gemerlap lampu ibukota. Mataku basah. Entah geram atau apa, yang jelas sepi melumatku dan sendiri serasa begitu asing.
Kini tawaku pecah. Benar-benar pecah bersama deras air mata. Begitu bodoh dibuat irasional oleh kotak polkadot dan secarik kertas biru. Seharusnya aku ingat, ikatan melahirkan harapan dan kecewa selalu hadir memutus ikatan. Benar-benar menyusahkan, hasilnya tidak ada.
Sudahlah, cukup. Lemas aku. Hari semakin malam. Aku pergi sekarang.
Cerpen Karangan: Sekar Ayu Diyah Lestari Pecinta kucing dan hujan. Masih terus belajar. InsyaAllah orang baik.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 19 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com