Rasanya kesal sekali hari ini. Seperti dihantam cobaan yang bertubi-tubi. Belum lagi kepalaku terasa pening. Ingin rasanya aku berhenti sejenak dari aktivitas hari ini. Sayangnya keadaan tidak memungkinkan untuk beristirahat.
Mau tak mau aku harus menulis di papan tulis menggunakan kapur yang sedikit lagi raib karena terkikis permukaan papan tulis. Belum lagi materi yang harus kutulis banyak sekali. Ditambah aku harus menyalinnya di buku catatanku sendiri.
Fiuh … melelahkan.
“Tulisannya kecil banget, kaya semut terbang!” seru salah satu murid laki-laki. “Mana lagi tulisannya miring-miring mirip jembatan miring.” Puas mengucapkan kalimat itu, dia pun tertawa keras. Dibarengi dengan teman sekelas yang tadinya hening juga ikut tertawa.
Ingin sekali aku memakinya. Namun, kalau aku menanggapi omongan mereka yang ada justru tulisanku tidak selesai-selesai. Emangnya juga ada, gitu? Semut terbang sama jembatan miring yang mirip tulisan miring? Ah sudahlah, memikirkan itu membuatku tambah pusing. Lebih baik melanjutkan menulis, walaupun dengan perasaan kesal—tentunya juga memaki-maki dalam hati. Bodoamat mau tulisanku rapi atau tidak. Yang penting cepat selesai.
Sampai depan rumah, aku turun dari sepeda menuntunnya untuk dimasukkan ke dalam rumah. Tak lupa pula mengucap salam ketika sampai ke dalam rumah. “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” sahut Kak Nana yang masih duduk santai di sofa. “Jajan mana?” tanyanya tanpa basa-basi. Tatapan horor kuperlihatkan padanya. Baru pulang sekolah bukannya minta salaman, malah nodong jajan. “Jajan terus yang ditodong!” Aku menghampirinya lalu meraih tangannya untuk kusalami. “Eh, iya. Lupa.” Dengan percaya dirinya dia berucap demikian. Sambil terkekeh pula. “Ya udah, duduk sini,” ajaknya sembari menepuk sebelahnya yang kosong.
Segera saja kududukkan pantat ini pada sofa yang empuk. Aku lebih memilih sofa yang berjauhan dengan Kak Nana. Takutnya jika dekat-dekat. Dia akan mengusiliku lalu membuatku tambah emosi karena kecapaian.
“Heleh, penakut!” cacinya. Oke, Ni! Biarkan saja Kakakmu berbicara sesuka hatinya. Kalau dilayani yang ada tidak bisa meredakan emosi.
Dia menatapku dengan mata menyipit. “Hei! Mau hadiah nggak?” Biasanya kalau bertanya seperti itu ada dua alasan. Pertama, karena lagi ada maunya. Kedua, jiwa usil yang bikin emosi tingkat dewa lagi bangkit. “Nggak!” Dia justru tersenyum lebar lalu tertawa. Apakah ada yang aneh dengan diriku? Atau memang Kak Nana gesreknya lagi kumat? Huh, biarin aja, deh. Ntar juga diem lagi.
“Ya udah, kalau nggak mau. Lumayan buat aku.” Apa maksudnya coba? Sebel banget sama dia, tuh. Kalau bicara tidak pernah langsung ke intinya. “Terserah!” Aku memalingkan pandangan ke arah pintu yang terbuka lebar. Selang beberapa saat, ada anak Madin—Madrasah Diniyah atau biasa disebut anak sekolah sore—yang datang.
“Assalamualaikum,” ucapnya terlihat ngos-ngosan. “Waalaikumsalam,” jawabku dan Kak Nana serempak. “Ini, Ni. Kamu dikasih materi fotokopian dari Mbak Umul,” sodornya padaku. Aku pun meraihnya. Ternyata, isi fotokopi tersebut serupa buku materi yang sering kutulis di papan tulis, saat pelajaran Mbak Umul. Akan tetapi, herannya, mengapa kepadaku coba?
“Loh, kok, dikasih ke aku. Seharusnya, kan kasih ke Mbak Umul?” “Itu buat kamu, Ni. Kata Mbak Umul kasihan kamu kalau harus menyalin tulisanmu sendiri di papan tulis. Jadinya dikasih itu deh, katanya juga mulai Selasa besok kamu langsung nyatat di papan tulis. Nggak perlu nyalin lagi.” Langsung girang dong dalam hati. Hehe. Jadi nggak perlu nyatat dua kali lagi, deh. “Oh, oke terima kasih, ya.” “Iya, sama-sama, ya udah aku pamit. Mau langsung pulang.” Aku pun mengangguk mempersilakan. Kemudian, meraih gagang pintu lalu menutupnya.
“Seneng, ye?” Tahu aja nih, anak. Kalau adiknya lagi Ethiopia eh, euforia. “Iya, dong.” Senyum manis kuperlihatkan padanya. “Oh, ya. Sebenarnya, uangmu udah ketemu yang tadi hilang di kamar.” Wah, syukur Alhamdulillah sekali hari ini. Rasanya rezeki sedang datang bertubi-tubi. “Yey, Alhamdulillah. Ketemu di mana emangnya?” “Di bawah meja belajarmu, jatuh kali.” Cerobohnya aku! Pantas saja tadi kucari di meja tidak ada.
“Sebenarnya, tadi juga dapat uang dari Nenek, Kak.” Memang tadi sebelum pulang ke rumah aku ke rumah nenek untuk mengambil sepeda yang kutitipkan. Tahu-tahunya dikasih uang juga. “Seneng banget deh, ya?” ledeknya.
Jelas sekali aku senang. Karena uangku yang hilang ketemu, belum lagi ditambah uang dari nenek. Dan, tentunya rasa kesalku karena menulis di Madin tadi telah usai. Sebab dapat keringanan serta diberi fotokopian materi. Sungguh hari ini adalah hari yang sangat menguntungkan.
“Banget dong!”
Dia menyodorkan uangku yang tadi sempat hilang. Aku menerimanya dengan kegirangan. Kak Nana terlihat bahagia melihatku girang mendapatkan uangku kembali.
“Jangan lupa bersyukur dan nggak usah sedih lagi kalau uangnya hilang. Barangkali itu belum rezeki kita. Mungkin dengan kita mengikhlaskan. Allah menggantinya dengan berlipat ganda.” Kuanggukan kepala, antusias. Akan selalu kuingat nasihat dari Kak Nana.
Cerpen Karangan: Sudut_kamar Blog / Facebook: Na Silakan jika ingin berteman berkunjung ke akun Facebook-ku: Na. Mungkin kalian juga ingin membaca tulisanku yang lain, bisa kunjungi akun KBM sudut_kamar. Oh, ya. Tulisan ini juga berdasarkan kejadian nyata, tetapi untuk mengenangnya dibuatlah sebuah cerpen. ^_^
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 21 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com