Sekarang pukul 5 sore. Langit berwarna oranye mulai menyapa Pondok Aren, tanda matahari hendak tenggelam. Jalanan padat oleh kendaraan beroda dua dan empat, juga orang-orang yang berjualan dan berdagang di sepanjang jalan.
Akhir-akhir ini aku selalu pulang sore karena berbagai alasan. Entah itu karena ada latihan tambahan, ekstrakulikuler, pertemuan, dan lain-lain. Ditambah lagi, jarak rumah dengan sekolahku terbilang cukup jauh, sehingga harus menempuh kurang lebih setengah jam untuk sampai di tujuan. Setelah 2 tahun pandemi dan belajar dari rumah, rasanya masih agak kaget dan belum terbiasa dengan jadwalku di kelas 9 ini. Sampai di rumah pun kadang masih harus membuka laptop dan belajar untuk bahan ulangan harian besok.
“Sekarang pulang sore terus ya kak?” di tengah perjalanan pulang, penjemputku yang bernama mbak Siti bertanya padaku. Aku hanya menjawab singkat dengan anggukan. “Udah kaya orang pulang kerja aja ya sekarang,” canda mbak Siti. Aku hanya tertawa pelan. Walau tawa itu terkesan terpaksa dan penuh letih.
Sampai di depan rumah, aku mengucapkan terima kasih pada mbak Siti dan masuk ke rumah. Di kamar, kuhempaskan tubuhku ke kasur membuat bantal dan guling berjatuhan ke lantai. Aku terdiam sejenak menatap langit langit kamar sambil mengatur nafas karena terengah-engah. Tiba-tiba adzan maghrib berkumandang, Aku berdiri dan bersiap membersihkan diri dan dilanjut menunaikan shalat maghrib berjamaah.
—
“Hoaammm,” Sudah ke sekian kalinya ku menguap di pelajaran IPS ini. Sesekali ku memejamkan mata dan menidurkan kepalaku di atas meja. Namun cepat-cepat ku bangun kembali ketika bapak guru menegur.
“Ngantuk banget rasanya,” bisikku pada seorang teman di meja sampingku. Temanku mengangguk, mengatakan bahwa ia juga mengantuk mendengar pelajaran IPS.
Tadi malam aku tidur lebih larut dari biasanya, demi menyelesaikan bab 1 di tugas akhir agar bisa langsung membawanya besok untuk direvisi oleh guru pembimbingku. Tetapi, aku malah melanjutkan dengan bermain ponsel hingga larut malam. Aku tahu itu tidak baik, namun tetap saja kulakukan.
“Kayaknya aku belajarnya besok besok aja deh, capek banget akhir-akhir ini,” lanjutku. “Ih tapi belajar harus tetep rutin, yang penting jangan lupa istirahat!” ucap temanku. “Iya sih,” Jawabku pendek. Percakapan kami terhenti karena akan mengerjakan tugas.
Sebenarnya perkataan temanku ada benarnya juga. Kalau dibilang capek, pasti semua anak capek, lelah, letih dalam bersekolah. Kadang rasanya ingin menyerah saja, bersantai-santai. Sama halnya dengan kondisiku saat ini. Rasanya malas mencatat materi yang disampaikan oleh guru dan sering tidur di saat pembelajaran. Namun, aku tak memikirkannya lebih lanjut tentang itu.
Akhirnya jam-jam sekolah berlalu dengan cepat. Aku sedang di perjalanan pulang setelah mengikuti ekstrakulikuler di sekolah. Jalanan hari ini lebih padat dari biasanya, membuat lingkungan lebih berpolusi dan ramai oleh bunyi klakson kendaraan.
Rencananya sih, setelah sampai di rumah aku ingin bermain ponsel dan tiduran. Aku baru ingat, masih ada film yang belum kuselesaikan minggu kemarin. Pikiranku penuh dengan hal tersebut membuat lupa belajar. Belajar bisa dilakukan nanti di akhir pekan, begitulah batinku.
Di tengah kemacetan jalan, kulihat sepasang kakak beradik kira kira berusia 9-12 tahun yang diolesi cat sablon berwarna silver ke seluruh tubuhnya. Mulai dari rambut, badan, wajah, semuanya diolesi cat silver. Dengan kondisi yang lusuh dan terlihat lelah, mereka membawa sebuah wadah bekas kaleng cat tembok dan meminta minta pada orang-orang yang berlalu lalang. Seingatku mereka diberi nama ‘Manusia Silver’.
Melihat hal itu rasanya hatiku langsung terenyuh. Di usia yang masih muda ini mereka harus bekerja meminta-minta, berhenti sekolah karena tidak memiliki biaya, ditambah lagi pekerjaan mereka itu sangat berbahaya pada kulit bahkan kesehatan tubuh lainnya. Sedangkan aku, dapat sekolah di sekolah yang baik, semua fasilitas disediakan, tidak perlu bekerja, masih tidak bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu.
“Ya Allah mudahkanlah mereka..,” ucapku dalam hati.
Sesampainya di rumah, aku mengurungkan niatku untuk bersantai santai. Setelah membersihkan diri, kubuka buku tulis dan buku pelajaranku, lalu mulai mencatat dan memahami materi yang diberikan. Malamnya, aku berusaha untuk tidur lebih awal untuk mencukupkan istirahatku.
Kelas 9 bukan waktunya untuk bersantai-santai. Terlebih lagi setelah melihat kakak beradik manusia silver di jalanan membuatku tersadar kalau aku selama ini kurang bersyukur. Kini, aku akan berusaha untuk lebih giat dan lebih serius, demi mendapat sekolah lanjutan yang terbaik. Belajar, sekolah, dan mengerjakan tugas memang melelahkan, namun aku teringat akan suatu nasihat dari Imam Syafi’i.
“Jika Kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan”
Cerpen Karangan: Khalawa Imana