Namaku Mansur. Sekarang aku sedang menempuh pendidikan di sebuah Universitas ternama di Surakarta. Semasa SMA aku dikenal orang yang humble, aktif di kelas dan ganteng, gitu sih kalau kata temenku. Aku punya sahabat karib yang bernama Riko yang kukenal pada saat awal masuk SMA, orangnya humble, solid, dan bisa jadi pendengar yang baik. Jadi, kalau misal aku buntu masalah percintaan Riko-lah solusinya. Hehe begitulah laki-laki.
Disaat waktu yang bersamaan, pada saat masuk SMA aku mengenal cewek yang langsung buat jatuh hati pada pandangan pertama. Nama cewek itu Arinta. Cantik, tinggi, baik hati, mudah bergaul, disukai banyak orang di sekolah. Aku biasa menyebutnya Milea, Milea adalah tokoh fiksi dalam 3 series film ‘Dilan 1990, Dilan 1991, Milea : Suara dari Dilan’ Milea yang digambarkan dalam film sama persis seperti yang kugambarkan pada Arinta, makanya aku menyebutnya Milea. Berlebihan sih tapi related gitu. Bedanya dilan pakai motor CB 150, kalau aku pakai Vespa yang kunamai Tony.
Di awal pertemuan aku masih ingat di dekat kantor sekolah, ada sebuah lorong dan bangku di sampingnya, aku dan Riko tak sengaja bertemu Arinta.
Riko menyapa Arinta. “Ntaa.. dari mana nih?” “Dari kelas Rik, eh kok kamu disini mau ngapain?” “Ini nganter temen mau ketemu kepala sekolah” Sambil memandangi wajah Arinta, dalam batinku berharap Riko memperkenalkanku pada Arinta.
“Oh iya ini kenalin temenku Ntaa..” Dalam hati senang sekali karena Riko memperkenalkanku pada Arinta. “Hai.. namaku Mansur dari kelas IPS satu kelas sama Riko. Nama kamu siapa?” “Namaku Arinta, dari kelas IPA” “Ohhh anak IPA nih hehe.. udah kenal Riko sebelumnya?” sambil tertawa tipis. “Udah, kita sama-sama mau daftar OSIS nih jadi udah kenal duluan”
Setelah berkenalan, kita bertiga mengobrol di bangku yang dekat lorong ruang kepala sekolah itu. Selama mengobrol aku banyak diam karena baru kenal, Riko yang intens ngobrol dengan Arinta. Hingga tidak sadar bel waktu untuk masuk kelas pun berbunyi. Sebelum masuk aku memberanikan diri untuk meminta nomor Whatsappnya.
“Eh Ntaa.. aku minta nomer WAmu dong, boleh nggak?” “Emmm, boleh buat apa tapi?” “Buat ngukur jarak bumi ke matahari. Ya buat nambah temenlah hahaha” sambil ngakak. “Hahaha.. iya iyaa” sambil kukasih HPku padanya. “Okee terima kasih” sedikit tersenyum.
Setelah perkenalan itu, aku dan Riko pun langsung ke kelas dan Arinta pun juga begitu. Di kelas sembari pembelajaran, aku bertanya banyak tentang Arinta kepada Riko, mungkin Riko sedikit risih karena aku selalu bertanya. Tapi ya itulah laki-laki kalau suka langsung kepoin terus, hehe.
“Rik, cantik ya..” sambil berbisik di telinganya. “Siapa? Bu Deva? Udah punya anak anjir” “Bukan, temenmu itu Arinta” “Oh itu, dia udah ada yang deketin, kaka kelas. Kadang dia curhat ke aku tentang kakel itu.” “Masih deket kan Rik? Belum jadian kan?” “Belum sih tapi ya coba aja dulu Sur” Di tengah obrolan, bu Deva yang saat itu mengajar kelas menegur kami karena mengobrol. “Mansur!! Riko!! Jangan ngobrol terus, ngobrol apa sih kalian?!” Kami terdiam dan melanjutkan pembelajaran sampai waktu selesai. Di perjalanan pulang pun aku masih bertanya tentang Arinta kepada Riko.
Malamnya di rumah, aku langsung chat Arinta dengan alasan supaya Arinta save nomerku. Di awal aku chat, lama sekali nggak dibales chatku. Sampai akhirnya di bales “Iya siap” dengan jelas dan singkat, pada besok harinya jam 05.00 WIB. Fikirku semalam sudah tidur, tapi setiap ku-cek kontaknya selalu terlampir notif online dibawah kontaknya yang kunamai ‘Milea’ yang kuganti sebelum chat semalam. Tapi tidak apalah namanya juga baru kenal ya kan.
Di sekolah, hari itu aku sama sekali tidak bertemu dengannya dan ternyata tidak hari itu doang selama beberapa hari juga tidak pernah bertemu. Di sisi lain, aku pun bingung buat chat apa ke Milea, karena cari topik itu susah, juga di sisi lain gak pernah bertemu.
Hari berlalu, akhirnya ada moment dimana aku bertemu Arinta dan bisa foto bersama kala itu. Hari Qurban di tahun 2017 menjadi hari yang paling kuingat, Arinta yang saat itu Osis di sekolah sekaligus menjadi panitia Qurban. Saat itu aku sedang keliling sekolah karena tidak ada jam pelajaran, karena gabut di kelas, lalu aku menuju lokasi penyembelihan yang berlokasi di samping perpustakaan yang kala itu masih tanah kosong. Disitu ada Riko, Ayu, Ulis, Wida dan Arinta. Riko paling ujung kiri bersebelahan dengan Ayu, Ulis berada di tengah, samping Ulis ada Wida, lalu ujung kanan Arinta, jadi 5 orang ini bersebelahan tapi tidak sejajar, sedikit cekung. Aku mendekat ke Riko, di posisi itu aku bisa melihat Arinta yang berada di ujung kanan.
“Rik.. aku bantu apa nih?” sambil berbisik. “Nih potong dagingnya, bantu aku” sambil terlihat cape di raut wajahnya. “Oke siap. Eh rik itu ada Arinta tuh” sambil berbisik “Haha udah kutebak bakal tanya itu” “Cantik banget Rik, apalagi pas motong daging wah cocok banget nih jadi ibu, hehe..” tertawa kecil. “Halu halu, dah motong dulu nih masih banyak nih.”
Selagi memotong daging, kadang waktu aku menatap wajahnya dan dia pun begitu yang akhirnya buat aku malu, untuk menutupi rasa malu agar tidak terlihat memperhatikannya, aku langsung menyapa Arinta. “Eh Nta.. gi.. gi.. gimana udah cape?” sambil malu karena tertangkap basah memperhatikannya. “Eh iya sur, udah nih daritadi gini terus soalnya hehe” sambil tertawa kecil. “Yaudah istirahat dulu aja Nta, nanti kalau udah nggak capek lanjut lagi” “Ah.. tanggung bentar lagi selesai kok, aman” “Wih cewek kuat nih” “Kuatlah, ditinggal kakel aja kuat, masa motong daging aja capek, hahaha..” sambil tertawa terbahak-bahak. Dari perkataan itu aku notice bahwa Arinta udah nggak deket sama kakel yang diceritakan Riko itu. “wah kesempatan nih” dalam batinku.
30 menit berlalu, setelah memotong sambil bercanda akhirnya kita selesai memotong daging. Disitu Wida meminta fotbar sama temen-temen yang ada disitu, dan aku disuruh jadi fotografer dadakan. “Sur, fotoin kita dong berlima” ucap Wida mengarah kepadaku. “Bayarannya berapa nih? Mahal nih kalau aku yang foto” “Halah.. udah cepet fotoin” “Iya iya bercanda” sambil Wida memberi HPnya padaku.
Posisi foto saat itu, Riko berada di tengah karena laki-laki sendiri, ujung kiri ada Wida, sampingnya ada Arinta, Sebelah kanan Riko ada Ulis dan Ayu di ujung kanan. “1.. 2.. 3..” ucapku sebagai fotografer dadakan.
Setelah ber-5 foto bersama, entah tak ada angin, tak ada hujan. Aku menyeletuk ke Arinta langsung kuajak fotbar. “Nta. foto bareng yuk” Disitu Riko, Wida, Ayu, dan Ulis langsung menatapku dengan penuh ke-heranan. “E.. ayok deh” ucap Arinta yang ternyata ke-heranan juga. “Tapi HP kamu ya, HPku kameranya jelek hehe” ucapku. “Waduh gimana sur, ngajak foto tapi nggak modal hahaha” Ucap Riko sambil bercanda. “Iya iya pake HPku, siapa yang fotoin nih?” Arinta bertanya. “Rik, minta tolong fotoin ya” ucapku sambil menatap Riko. “Oke siap” Riko menjawab sambil Arinta memberi HPnya.
Saat foto, Arinta berada di sebelah kananku. Foto pertama, Aku dan Arinta flat atau biasa yang disebut orang-orang gaya formal. Foto kedua, dengan gaya yang trend di setiap zaman, yaitu gaya peace. Foto itu ada di HP Arinta saat itu, dan aku meminta foto itu langsung di Whatsappku.
“Nta.. nanti kirim fotonya ya, di WAku” ucapku sambil senang di hati. “Oke siap nanti kukirim Sur” “Oke terima kasih, jangan lupa ya..” “Lupa apa?” Arinta sambil bingung “Balas chatku hahaha” sambil tertawa terbahak-bahak.
Setelah itu, aku kembali ke kelas, mereka kembali ke camp panitia yang berada di lapangan upacara. Saat itu aku sangat senang, karena bisa foto bersama Arinta yang memang orang yang aku suka semenjak pertama kali bertemu waktu itu.
Setelah menunggu lama sekitar satu jam, akhirnya daging Qurban dibagikan kepada para siswa. Aku saat itu tidak mendapat kupon Qurban, tapi karena kupon yang dibagikan panitia lebih dan siswa yang dibidik untuk mendapat bagian kupon sudah banyak yang pulang. Akhirnya aku mendapat kupon qurban itu, dan kupon tersebut ditukar di camp panitia. Aku beranjak dari kelas menuju camp panitia bersama Imam, teman kelasku.
“Mam aku dapat kupon nih, kata panitia lebih jadi aku dapet ini. Soalnya yang dapet kupon udah pada pulang, jadi lebih terus di lempar ke aku” ucapku pada Imam di kelas. Imam adalah teman kelasku yang dekat denganku, sama seperti Riko. Dia pun tahu aku suka sama Arinta. “Wah jalur panitia nih. Aku juga dapet nih, eh tapi kok semangat banget ambil dagingnya? Wah pasti ada Arinta kan dia panitia” ucap Imam padaku. “Enggak, ayok ambil” sambil meminta cepat pada Imam.
Ketika sampai di camp panitia, kebetulan sekali Arinta sedang membagikan daging kepada siswa yang mendapat kupon Qurban itu. Saat sampai disana, langsung aku menghampiri Arinta. “Buk, mau ambil daging nih” ucapku sambil nada bercanda pada Arinta. “Siap pak” di sautnya dengan nada bercanda juga. Aku tersenyum ke Arinta, karena Arinta menyaut bercandaku. Setelah itu, aku langsung beranjak pulang bersama Imam menuju parkiran. Imam dengan motornya, aku dengan Vespaku Tonny.
Setibanya di rumah aku langsung makan dan menceritakan kejadian di sekolah ke Bunda. Bunda menyahut dengan jawaban “Dijadikan semangat, jangan malah fokus ke cewek terus”. Aku mengangguk menandakan jawaban ‘iya’ pada Bunda.
Malamnya aku belajar sampai pukul 9 malam, setelah itu aku buka chat di WA. Ada notif dari Arinta mengirimkan foto siang tadi pada pukul 20.32 WIB. Setelah itu aku jawab terima kasih dan chat itu berlanjut sampai jam 23.00 WIB. (dalam chat) “Terima kasih Ibu panitia” jawabku. “Sama-sama bapak penerima” “Eh fotonya bagus nih kalau di pajang di kamarku” “Nggak bagus, mukaku kucel banyak keringatnya :(” “Aduh gini amat ngobrol sama cewek, dibilang bagus masih ada aja yang kurang hadeh” “Ya gitulah cewek cantik hahaha” “Kapan-kapan foto lagi ya, kita cari foto yang mukanya sama-sama habis mandi” balasku. “Hmm dibayar berapa nih? Kalau aku dandan nanti banyak yang ngajak foto nih hahaha” “Siap anak IPA”
Percakapan itu intens membahas hal-hal yang random, seperti mapel di sekolah, kantin yang rekomended, teman-teman di kelas. Saking asyiknya nggak terasa udah jam 11 malem, Arinta pamit untuk tidur. Seterusnya hubunganku dan Arinta semakin dekat, dan akhirnya kita sama-sama menyatakan perasaan pada saat kelas 11.
Sekarang Aku berkuliah di kota Surakarta. Arinta melanjutkan studinya di salah satu kota di Jawa Tengah. Walau berbeda kota tidak menjadi halangan berkomunikasi, malah hal itu menjadi tolak ukur penguat bahwa berbeda kota bukan berarti berbeda perasaan.
Cerpen Karangan: Galuh Surya Pamungkas Facebook: facebook.com/profile.php?id=100013036930879