Sahara Bella namanya, dia mempunyai seorang kakak bernama Laura Bella. Mereka mempunyai nama belakang yang sama, terkadang orang-orang menganggap mereka anak konglomerat karena menggunakan marga ‘Bella’. Padahal itu hanya pelengkap nama yang Ibu beri agar nama mereka tidak terlalu pendek.
Sahara dan Laura beda satu tahun. Laura sang kakak sudah memasuki semester awal perkuliahan sedangkan Sahara masih duduk di bangku SMA kelas 3.
Menurut Sahara, kakaknya itu sangat pintar. Terbukti dari dia yang masuk kuliah lewat jalur beasiswa. Sejak SMA Kakaknya menjadi siswa kebanggaan sekolah. Sebab, dia sering dipilih untuk mewakili sekolahannya untuk mengikuti lomba cerdas cermat, MIPA, dan perlombaan yang hanya mampu diikuti oleh orang berotak cerdas seperti Laura. Dia selalu membawa piagam atau piala setelah lomba. Jika tidak juara 1 pasti 2.
Tapi karena itu pula hidup Sahara penuh aturan seperti sekarang. Bundanya yang terobsesi dengan nilai memaksa dia untuk mengikuti semua les yang ia siapkan. Bundanya juga selalu menuntut dia untuk belajar, belajar dan belajar. Bunda ingin Sahara seperti Laura. Sahara selalu menolak, akademik bukan kemampuannya. Dia lebih memilih mendekam diri di kamar dan menulis naskah-naskah di blog pribadinya lewat laptop.
Seperti sekarang, Sahara sedang berkutat dengan laptop pemberian sang Kakak saat ulang tahunnya yang ke-14 tahun. Laura tau jika kemampuan Sahara ada di Sastra. Dia tau adiknya suka membuat atau mengarang cerita. Dia mendukung adiknya, berbeda dengan sang Bunda.
“Hey buka pintunya! Bunda sudah menyiapkan uang untuk membayar les matematikamu! Cepat keluar dan pergi ke tempat les yang sudah Bunda kasih tau!” Dari depan pintu kamar, Bunda berteriak. Tangannya itu memukul keras pintu jati itu.
Sahara bergeming, dia menulikan pendengarannya. Otaknya hanya fokus menulis karangan cerita yang akan dia publish di aplikasi pembuat cerita.
“Berhenti membuat tulisan-tulisan tak berguna itu Sahara! Cepat keluar dan pergi les!” Bundanya itu kenapa sih? Kenapa tidak mendukung Sahara untuk menjadi dirinya sendiri?! Dia hanya ingin tumbuh dewasa menjadi dirinya sendiri. Mengejar mimpinya dengan caranya sendiri. Tanpa harus kekangan atau aturan dari orang lain, termasuk Bundanya sendiri!
Dengan kesal dia melepas earphonenya. Menatap datar pintu yang bergetar karena pukulan dari luar. Dengan malas dia berjalan kearah pintu. Mendekatkan wajahnya kemudian berkata, “Dari pada menyakiti tangan sendiri mending Bunda fokus ke diri sendiri. Sampai kapan pun Sahara gak akan mau ikutin omongan Bunda. Ini hidup Sahara, Sahara mau ikutin kemauan sendiri.”
Bilang saja Sahara anak durhaka. Dia juga tidak mengelak itu. Tapi, bisakah kalian mengerti betapa frustasinya dia sekarang? Bundanya tidak tau perasaan Sahara. Mati-matian dia menahan emosi ketika mimpinya dihina oleh orang yang melahirkannya itu. Apa salahnya ingin mengikuti keinginan sendiri?
Besoknya, seperti biasa. Wanita berusia 40 tahunan itu mendiamkan Sahara. Dia bahkan tidak meliriknya sama sekali saat sedang makan bersama. Laura tau, ada masalah sebelum dia pulang.
Laura lebih memilih tinggal di kost-an yang dekat dengan Universitasnya. Selain agar jarak tempuh yang dekat, dia juga ingin menyatukan adik dan Bundanya itu.
“Kakak sudah kirim uang ke rekening kamu. Cukup-cukupin, ya.” Suara Laura memecahkan keheningan ruang makan ini. Pandangan Bunda teralih ke anak sulungnya itu, dia memandang tak suka Laura.
“Ngapain kamu ngasih uang ke anak itu? Lebih baik uangnya kamu tabung untuk keperluan kuliah kamu.” ucap Bunda dengan nada suara yang tak suka. Jelas, dia kesal dengan anak bontotnya yang tidak mau mengikuti ucapannya.
Laura tersenyum, gadis itu menatap Sahara yang lebih memilih diam. “Itu aku kasih bukan cuma-cuma, Bun. Aku membayar utang aku kepada Sahara bulan lalu. Dia meminjamkan aku uang untuk membeli stetoskop baru.” jawab Laura.
“Dapet uang dari mana kamu? Kerjaannya aja nyumpel di kamar. Kamu ngepet? atau jangan-jangan ambil uang simpenan Bunda? Iya?” tuduh Bunda menunjuk wajah Sahara.
Diam-diam Sahara mengepalkan tangannya dibawah meja makan. Dia menatap nyalang Bundanya yang dengan seenak hati menuduh dirinya sebagai pencuri.
“Jaga omongan Bunda!” Emosi, Sahara tak sadar jika nada bicaranya meninggi. Nafasnya memburu, dadanya naik turun karena emosi. Sungguh, dia tidak tahan dengan semua ini.
Tersulut emosi, Bunda menggebrak meja hingga lauk yang berada di piring tumpah. “Beraninya kamu membentak Bunda?! Saya ini orang yang telah melahirkan kamu! Sopan sedikit bisa tidak?! Dimana kesopanan kamu?! Saya tidak pernah mengajarkan kamu untuk seperti ini!”
Sahara tergelak. Ketawanya itu mengundang kemarahan Laura, “Sopan sedikit Sahara. Dia bundamu, tidak sepatutnya kamu membentak dia seperti tadi.”
Sahara terkekeh, “Udah?”
Keduanya terdiam. Sahara tertawa lagi, satu detik setelahnya tatapan dia menjadi dingin dan datar. Matanya menatap Laura dan Bundanya tajam.
“Selama ini aku sabar sama sikap Bunda. Bunda bilang apa? Sopan? Haha! Bunda bahkan gak pernah ngajarin aku buat sopan. Yang ada dipikiran Bunda cuma les, les, dan les. Bunda terlalu terobsesi dengan apa yang udah Kak Laura dapat sampai Bunda pengin aku jadi kaya dia!”
Menjeda sejenak hanya untuk mengatur emosinya. Dia tidak ingin berkata kasar yang nantinya akan menyakiti hati orang didepannya itu. Dia masih menyayangi Bundanya.
“Inget, Bun! Kami beda orang! Kak Laura ya Kak Laura, aku ya aku. Gak bisa disamain! Kita punya kemampuan sendiri-sendiri. Kak Laura pinter di akademik, nilainya yang bagus Sampai bisa masuk Fakultas Kedokteran di UI itu sebuah kebanggaan buat Bunda kan? Terus Bunda pengin aku jadi seperti kakak? Gak akan bisa! Kemampuan aku ada di Sastra! dan selamanya akan seperti itu. Mau sampai ratusan materi yang masuk kalo takdir aku udah di Sastra, ya gak akan bisa! Jadi stop kekang aku buat jadi kak Laura. Karena sekali lagi, kita beda! Kita memang sedarah, tapi bukan berarti takdir kita sama! Tuhan memberi kemampuan kepada hambanya berbeda-beda! Aku capek Bun!” Panjang kali lebar, Sahara harap Bundanya sadar. Sahara harap Bundanya introspeksi diri.
“Dan Bunda nuduh aku pencuri? Sakit, Nda.. Sakit.. anak mana yang tega nyuri uang Bundanya sendiri? Dan Bunda mana yang tega nuduh anaknya pencuri?” Tersenyum kecut, Sahara menghapus paksa air mata yang keluar membasahi pipinya.
“Ra..” Laura sama dengannya, gadis itu bahkan sudah terisak.
“Diem, Kak. Aku iri sama kakak. Kakak dibangga-banggakan sama Bunda karena kakak bisa masuk fakultas yang dimimpikan banyak orang di Universitas ternama di Indonesia. Gak pernah sedikitpun Bunda hina mimpi kakak yang pengin jadi dokter, tapi kenapa sama aku beda kak? Bunda hina mimpi aku yang pengin jadi penulis.”
Laura terdiam, begitupun Bunda. Dia menunduk, mencerna semua ucapan anaknya yang malang itu.
“Aku berdiam diri di kamar bukan untuk rebahan dan leha-leha doang, Bun. Aku nulis naskah atau cerita di blog, kalo sekiranya bagus dan aku butuh uang, aku jual karya tulis aku ke website online. Pas pertama nyoba gagal, cerita aku ditolak karena ga sesuai kriteria admin. Aku jadi gak punya tekad buat kirim cerita aku lagi, ditambah kekangan Bunda yang nyuruh aku buat ikutin kemampuan Bunda dan hina mimpi aku. Itu bikin aku overthinking. Tapi, aku gak nyerah, aku coba terus dan sampai salah satu admin nerima karya tulis aku. Aku dapet uang dari situ, Bun. aku jual karya tulis aku dan honornya lumayan. Aku kumpulin buat persiapan masuk Universitas.” lanjut Sahara menyadarkan sang Bunda.
“Kalo lewat tulis menulis aku bahagia dan bisa menjadi pribadi yang dewasa, kenapa Bunda ngelarang aku? Sekarang aku udah pasrah. Terserah Bunda mau masukin aku ke les mana, aku gak akan bantah lagi. Toh Bunda akan selamanya begitu kan?” Sahara menyeka air matanya. Ucapannya bukan semata-mata, dia benar-benar sudah lelah dengan semua itu. Lebih baik dia mengikuti kemauan Bunda kan? Karena, mau sebisa apa kamu, kalo tidak ada restu dari orangtua, maka akan sia-sia.
Bunda mendongak, menatap sendu anaknya yang ternyata rapuh. Dia perlahan mendekati Sahara, memeluk tubuh anaknya itu. Menyandarkan kepala Sahara di dadanya.
“Maafin Bunda, Nak.. Bunda gak tau mimpi kamu sepenting ini. Maafin Bunda yang selama ini nuntut kamu buat seperti Kakak.. Bunda minta maaf. Mulai sekarang Bunda akan dukung kamu buat raih mimpi kamu. Terserah kamu mau jadi apa, asalkan tetap jadi anak Bunda ya? Bunda bakal berhenti ngatur kamu, Bunda bakal bebasin kamu buat gapai cita-citamu sendiri..” bisik Bunda tepat di telinga kiri Sahara.
Sahara tertegun, dia kemudian membalas pelukan sanga Bunda. “Bener, Bun?” Bunda mengangguk, mengecup puncak kepala Sahara, “Bener sayang.. Maafin Bunda ya ..”
Sahara mengangguk. Dia sangat senang, Bundanya sudah merestui dirinya untuk menjadi dirinya sendiri. Sekarang, tidak ada lagi teriakan Bunda yang memaksanya untuk berangkat les. Sekarang tidak ada yang memukul-mukul pintu kamarnya. Sekarang Bundanya sudah berubah.
Laura ikut bergabung. Dia memeluk dua perempuan yang sangat dia sayangi. Laura terharu, perjuangan Sahara untuk mendapat restu dari Bunda tidak mudah. Berkali-kali wanita tua itu mematahkan semangatnya, namun tidak membuat keputusan Sahara goyah. Dia bangga mempunyai adik seperti Sahara, gadis yang kuat dan mandiri. Dia sangat menyayangi keluarganya yang sederhana ini.
Cerpen Karangan: Tanisa Putri Valencia Kelas: 10