Siang ini matahari bersinar dengan teriknya, seorang laki-laki sedang duduk di bawah pohon, laki-laki itu bernama Reno. Kemeja yang ia kenakan telah lusuh dan tak berbentuk lagi. Rambutnya acak-acakan, dahinya mengerut dan rahangnya mengeras. Masih teringat kejadian yang baru saja ia alami.
Laki-laki itu berjalan dengan santai memasuki sebuah rumah atau lebih tepatnya paviliun. Ketika tiba di ruang tamu, dia menghentikan langkahnya. Di sana, di depan laki-laki itu berdiri seorang laki-laki paruh baya yang memang telah menanti kehadirannya.
“Darimana saja kamu, Reno?” tanya laki-laki paruh baya itu. “Apa pedulimu?” jawabnya sinis. “Aku ini ayahmu, tentu saja aku peduli padamu.” Reno tersenyum sinis “Ayah sudah mengawasimu sebulan terakhir ini. Setiap hari kamu menghabiskan harimu dengan foya-foya. Kamu menghambur-hamburkan uangmu. Ah… bukan. Itu bahkan bukan uangmu, tapi uang ayah. Apa kamu tahu bagaimana sulitnya ayah mencari uang untuk menghidupimu?!. Ayah sudah putuskan, ayah akan menarik semua fasilitasmu, termasuk mobil dan kartu kreditmu.” Reno terbelalak “Apa?!. Ayah tidak bisa melakukan itu!” “Tentu saja bisa. Oh ya, mana kunci mobilmu?” Reno mengepalkan tangannya, menggenggam erat kunci mobilnya. “Serahkan kunci itu” “Tidak!. Aku tidak mau!” “Penjaga!!” seru Ayah Reno. Kemudian dua orang penjaga datang mendekati Reno hendak merampas kunci itu. “Lepaskan!. Hei lepaskan aku!!” teriak Reno. Penjaga itu akhirnya berhasil merampas kunci mobil Reno dan menyerahkannya pada Ayah Reno. “Pergilah.” Reno mengerutkan keningnya. “Apa ayah mengusirku?” “Tidak. Ayah hanya ingin menunjukkan padamu bagaimana sulitnya mencari uang di dunia luar. Pergilah.” “Aku tidak mau.” Langsung saja kedua penjaga tadi melemparkan Reno ke luar rumah, hingga Reno terjerembab di tanah. Reno menahan amarahnya, terlihat dari rahangnya yang mengeras dan muka yang merah padam.
Dan di sinilah dia sekarang, terduduk diam sambil memikirkan apa yang harus dia lakukan untuk membalas perbuatan ayahnya. Dia termenung sejenak kemudian dia tersenyum.” Dapat!”. Reno kemudian berdiri dari duduknya, lalu bergegas mencari tempat untuk nanti malam dan seterusnya tinggal.
Keesokan paginya, Reno sudah mengenakan pakaian yang rapi dan membawa sekeranjang penuh brownies kukus di tangannya. Dia mulai berkeliling menjajakan dagangannya. Namun hingga matahari telah berada di atas kepala tidak ada satu orangpun yang membeli dagangannya. Dia beristirahat sejenak di sebuah warung makan, karena perutnya sudah mulai berontak minta diisi makanan. Kerongkongannyapun juga terasa kering. Diapun memesan sepiring nasi rames dan segelas air putih. Setelah selesai ia merogoh sakunya dan mengambil dompetnya. “Ah… uangku hanya tersisa seratus ribu. Bu, saya sudah selesai. Berapa semuanya?” “Semuanya tiga puluh ribu.”. Reno menyodorkan selembar uangnya, ibu penjual menerima uang itu dan memberi kembaliannya. Tidak sengaja ibu itu melihat keranjang milik Reno. “Maaf, apa anda menjual brownies itu?” “Ah iya, saya menjual brownies. Apa ibu mau membeli brownies saya?” “Berapa harganya?” “Satunya lima ribu, Bu.” “Kenapa mahal sekali?. Tiga ribu saja bagaimana?” “Ehm… maaf bu, itu terlalu murah. Ibu boleh mencicipinya terlebih dulu.” Reno mnyodorkan browniesnya ke ibu itu. Ibu itu menerima kemudian mencicipinya.
“Ah… brownies ini bahkan tidak layak dijual seharga seribu.” Reno mengerutkan keningnya “Maksud ibu?” “Browniesnya bantat, tidak enak sama sekali. Kalau begitu aku tidak jadi beli.” Reno mendesis “Oh, ya sudah bu, tidak apa. Saya akan berusaha membuatnya menjadi lebih enak lagi. Permisi”. Reno keluar dengan wajah sebal. “Menyebalkan. Kalau tidak mau beli seharusnya tidak usah menhina browniesku. Ah… menyebalkan.” gumam Reno. Dia kembali melanjukan perjalanannya.
Lama dia berjalan tapi masih saja belum ada orang yang membeli dagangannya. Dia terduduk. “Ah… benar kata ayah. Ternyata memang sulit mencari uang.”
Tiba-tiba ada seorang gadis yang mendekatinya. “Maaf, apa anda menjualnya?” tanya gadis itu. Reno menengadah melihat wajah gadis itu. Dia terdiam sejenak. Cantik. “Maaf?” kata gadis itu lagi. “Oh… tentu. Ya, aku menjual ini.” “Bolehkah aku mencicipinya?” “Tentu”. Reno menyodorkan sebungkus brownies kepada gadis itu. Gadis itu mencicipinya, kemudian tersenyum. “Wow!. Ini brownies terenak yang pernah aku makan.” “Benarkah?. Tapi tadi ada seorang ibu-ibu mencicipi browniesku dan bilang bahwa browniesku bantat dan tidak enak.” “Ini bahkan sangat lembut, cokelatnya juga sangat terasa. Apa kamu membuatnya sendiri?” “Ya, aku sangat suka brownies kukus. Dan mendiang ibuku dulu selalu membuatkannya untuku, terkadang aku juga ikut membantu membuatnya.” ucap Reno dengan raut muka sedih. “Maaf aku mengingatkanmu pada mendiang ibumu.” “Tidak apa.”
“Ah… baiklah. Aku ingin membeli semua browniesmu. Dan maukah kamu bekerjasama denganku?. Aku memiliki sebuah toko kue, maukah kamu menjadi rekan bisnisku?” Reno terbelalak tak percaya. “Ehm… kamu bisa mempertimbangkannya terlebih dulu. Tidak usah terburu-buru.” Reno berpikir sejenak dan “Baiklah. Aku mau jadi rekan bisnismu. Tapi aku belum begitu familiar dengan dunia bisnis. Jadi maukah kamu mengajariku jika suatu saat nanti ada hal yang tidak kumengerti?” Gadis itu tersenyum. “Tentu. Tentu saja. Baiklah, jadi sekarang kita rekan bisnis. Tapi ngomong-ngomong kita belum tahu nama satu sama lain.” “Oh iya, namaku Reno. Kamu?” ucap Reno sambil mengulurkan tangannya. Gadis itu menyambut uluran tangan Reno. “Namaku Chyntia.” ucap gadis itusambil tersenyum.
Keesokan harinya Reno telah bekerja di tempat Chyntia. Dan dengan berjalannya waktu bisnis mereka berduapun berkembang pesat dan memiliki untung yang besar. Hasil keuntungan itu Reno tabungkan dan sekarang telah cukup untuk membuka sebuah toko kecil.
Reno berjalan mendekati Chyntia. Reno berdeham. “Chyntia, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.” “Oh, ya bicaralah.” “Aku ingin membuka toko sendiri. Bagaimana?” Chyntia terdiam. “Aku ingin mencoba membuka dunia usaha sendiri. Dan aku juga ingin menambah pengalaman di bidang kewirausahaan lebih banyak lagi.” “Kalau itu yang kamu mau. Tentu saja kamu boleh melakukannya. Bukalah tokomu sendiri” ucap Chyntia sambil tersenyum. Reno membalas senyum Chyntia. “Terimakasih. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu, Chyntia.” “Ehm.” Reno mengulurkan tangannya, Chyntia menerima uluran tangan Reno. “Senang bekerjasama denganmu.” “Aku juga. Senang bekerjasama denganmu, Reno.”. Mereka berdua tersenyum.
Satu tahun kemudian toko brownies Reno sukses, dan memiliki berbagai cabang di berbagai kota di Indonesia. Reno berjalan memasuki rumah itu. Tapi tiba-tiba pintu itu terbuka dan berdirilah Ayah Reno di sana. “Ayah”. Reno berjalan mendekat kemudian memeluk erat ayahnya. “Ayah, maafkan Reno. Sekarang Reno tahu bagaimana sulitnya mencari uang.” Ayah melepaskan pelukan Reno.
“Ayah dengar toko browniesmu sudah ada di mana-mana.” “Ya. Sejak hari itu, aku ingin membalas perbuatan ayah dan tidak tahu kenapa aku terpikir untuk menjual brownies kukus yang dulu selalu ibu buatkan untukku. Pertama aku bekerjasama dengan seseorang. Dan setahun terakhir ini aku mulai berwirausaha dengan cara membuka toko kecil-kecilan. Dan sampai pada akhirnya aku mencapai titik ini.” Ayah Reno mengelus kepala Reno lembut. “Sekarang kamu sudah tahu bagaimana rasanya kan?. Sulitnya menjual daganganmu, sulitnya memperoleh pembeli, sulitnya mencari rekan, sulitnya membangun usaha sendiri, dan sulitnya menjalankan dan mempertahankan usaha.” Reno tersenyum. “Sekali lagi maafkan Reno jika dulu Reno selalu menyusahkan ayah.” “Iya, ayah juga minta maaf karena telah mengusirmu.” “Ehm… aku sangat berterimakasih karena dengan ayah melakukan hal itu aku bisa berpikir lebih dewasa.” “Ayah bangga padamu, Reno.” “Reno juga bangga punya ayah kayak Ayah.” Mereka berdua kembali berpelukan.
Cerpen Karangan: Fanisa Ariestiara Blog / Facebook: FanisaTiara