Tidak seperti minggu-minggu sebelumnya, berkeliling sepeda di sepanjang persawahan desa dengan penuh sukacita. Dari mulai berangkat sampai sekarang menuju rumah, pikiranku tak bisa fokus menikmati udara segar di pagi hari. Sepanjang jalan hatiku cemas memikirkan nasibku yang sudah di ujung tanduk. Aku memutuskan untuk melipir di sebuah jembatan penghubung antar desa. Di bawah jembatan tampak sungai yang airnya masih jernih dan mengalir cukup tenang. Mataku tiba-tiba terhanyut di sana, tenggelam dan mengikuti arusnya.
Tak lama lagi mimpiku selama di bangku sekolah akan segera sirna. Mbak yuyun saudaraku satu-satunya itulah yang akan turut serta membuat semua bayangan kecemasanku menjadi nyata. Seperti deretan kalimat yang diucapkanya waktu itu, beberapa hari yang lalu sebelum aku menerima kelulusan dengan nilai terbaik di sekolah. Masih teringat jelas kata demi kata yang ditujukannya itu untukku. Rasanya mbak yuyun telah menjelma menjadi sosok Ibu ketika sedang menasehati anak bungsunya ini.
“Kasihan Ibu, Dek. Kamu masih ingin melihat Ibu sehat lagi kan? Ini demi kebaikan Ibu dan keluarga kita.” kata-katanya masih terngiang terus di telingaku. “Kasihan? Untuk kebaikan Ibu? Dengan menjebloskanya ke rumah sakit jiwa?” jawabku sekenanya tanpa melirik mbak yuyun saat berada di meja makan. “Itu satu-satunya jalan agar Ibu cepat sembuh, Dek. Supaya Ibu juga tidak bertemu dengan orang itu lagi. Dengan begitu Ibu akan sedikit lebih aman dan tenang di sana.” “Orang itu? lebih aman? Siapa yang mbak maksud? Apa hubunganya dengan Ibu?” sergahku bingung. “Kamu masih ingat, apa pesan terakhir bapak waktu itu?” mbak yuyun menarik napas lalu menatap Ibu yang termangu di kursi, “apa menurutmu ketidakwarasan Ibu itu karena hadirnya selingkuhan bapak yang muncul tiba-tiba di saat-saat kritis bapak di rumah sakit?” Otakku masih belum bisa mencerna, namun penuturannya itu cukup membuat raut di wajahku ini berubah tanya, “lalu?”
“Saat itu bapak sempat bilang kan kalau ibu punya masalah yang besar?” Dalam hati aku mengiyakan. Aku menangangguk. “Bukankah bapak meyuruh kita agar mau berjanji padanya untuk setia membantu menyelesaikan masalah Ibu?” Aku mengangguk lagi, pelan.
“Mungkin waktu itu bapak memang bilang supaya kita bisa membujuk dan membantu ibu untuk berbaik hati dengan bu Asni selingkuhan bapak. Tapi sekarang kamu harus tahu, Dek. Bukan cuma itu masalah ibu yang sebenarnya.” Aku kembali menatap mbak yuyun lebih penasaran, “terus kalau bukan karena bu Asni dan anaknya itu kenapa jiwa Ibu sampai terguncang seperti itu mbak?”
“Belum lama sebelum jantung bapak kambuh, sebetulnya bapak sempat membeberkan tentang tipu daya ibu selama ini sama mbak. Namun waktu itu bapak ingin merahasiakan masalah ini darimu, bapak hanya tidak ingin mengganggu kesibukan belajarmu menjelang ujian akhir sekolahmu.” Aku yang makin dihujani rasa penasaran masih belum bisa menebak kemana arah bicara mbak yuyun, “tipu daya? Tipu daya apa maksudnya mbak?”
“Diam-diam ternyata ibu mempunyai hutang yang jumlahnya cukup banyak sama pak Goni, Dek. Orang terkaya di kampung kita itu. Terlalu banyak malah, bahkan jika rumah ini dijual, belum tentu bisa menutupi semua hutang ibu. Dan kamu tahu kan apa yang akan terjadi jika kita tak bisa melunasinya?” Glekk.. Aku menelan ludah dan melongo tak percaya.
Selain dikejutkan oleh jumlah hutang Ibu yang entah berapa itu, aku benar-benar tak habis pikir dengan Ibu, bisa-bisanya Ibu mempunyai masalah yang berhubungan dengan orang macam pak Goni, Ckk…
Meskipun tak terlalu memperhatikan, tapi aku tahu betul siapa pak Goni itu. Dia cukup terkenal dengan profesi piciknya di desa. Berkedok kebaikanya dalam berbagi, demi mendapatkan seorang gadis yang sudah diincarnya. Aku jadi teringat cerita Mirna gadis dari desa sebelah. Mungkin dulu dia masih seumuranku saat ini. Sehari setelah lulus sekolah dia terpaksa harus menjadi istri ke lima pak Goni karena kedua orangtua yang tak mampu membayar hutangnya yang selangit.
“Itu sebabnya mbak ingin mengajakmu ke tempat mas subhan yang di kota. Kamu bisa bantu-bantu di warung milik ayahnya nanti. Meski memang pendapatanya tak seberapa, tapi bukankah itu akan lebih membantu mbak dan mas subhan untuk melunasi masalah ibu dengan pak Goni? Dan ini juga karena demi kebaikanmu, Dek. Mbak tidak akan rela jika kamu harus bernasib sama seperti mirna mirna itu.” mbak yuyun menatapku lama seolah berharap agar aku bisa mengerti maksud serta ucapanya itu padaku.
Aku yang tengah terpukau melihat tatapan itu, mulai menyadari sesuatu, tepat di kedua bola matanya, aku baru saja menemukan sebuah sinar keteduhan persis seperti yang Ibu miliki ketika masih sehat dulu, begitu tenang, begitu menentramkan. Aku seakan tak kuasa untuk memprotes atau menolak perintah mbak yuyun lagi. Aku tahu semua yang dilakukanya itu adalah bentuk dari upaya kasih sayang seorang kakak untuk melindungi adik satu-satunya ini.
Bagaimanapun juga aku, walau hanya sekedar untuk membayangkanya saja sungguh aku sudah merasa jijik dan ingin sekali muntah, apalagi jika harus menerima kenyataan kalau-kalau nasibku akan sial seperti Mirna dengan menjadi korban peristri pak Goni selanjutnya. Sungguh aku akan melakukan apapun demi masa depanku sendiri, demi kesehatan Ibu, juga demi nama baik keluarga. Meskipun dengan cara ikutnya aku ke kota bersama mbak yuyun, itu berarti juga mengharuskanku untuk menyadari satu hal, yaitu mungkin memang aku harus mulai belajar ikhlas dan sabar, setidaknya untuk beberapa waktu yang tak bisa kuprediksi dengan melupakan impian beasiswa kuliah gratisku yang sudah di depan mata itu. Aku yakin ini memang sudah jalan yang terbaik dari Tuhan untukku. Dan memang sudah sepantasnyalah aku mulai ikut bekerja untuk membantu mbak yuyun menyelesaikan masalah Ibu bersama-sama.
“Yeni!!” guncangan tangan dery menyentakku dari lamunan, “Walah.. ditungguin kok malah ngetem di sini, sambil melamun lagi, kalau tiba-tiba ada yang menarikmu dari bawah jembatan gimana kamu, Yen?” celetuk Dery asal. Aku hanya mencibir dan berlalu meraih sepedaku.
“Kamu ada masalah, Yen? Bukan masalah denganku kan? Apa jangan-jangan kamu marah gara-gara tadi aku tinggal? Lagian kamu sih naik sepeda kaya keong.” Aku menarik napas panjang lalu meringis kikuk, “Aku gak apa-apa Der. Cuma masalah dikit kok. Eh, aku mendadak ingin buru-buru nih, aku duluan, ya, daah..” Sekejap kemudian aku sudah melesat jauh meninggalkan temanku itu. Tak peduli lagi teriakannya yang sayup-sayup memanggil namaku dari belakang. Aku terus mengayuh sepedaku kencang-kencang.
Rasanya kepalaku kian berdenyut tak karuan. Pikiranku masih saja terusik oleh bayang-bayang obrolanku dengan mbak yuyun waktu itu. Betapapun sebenarnya aku masih belum sepenuhnya ikhlas dengan keputusanku sendiri untuk ikut bersamanya ke kota. Tapi ini demi kebaikan semuanya, aku juga tak mau dianggap egois oleh kakaku sendiri. Meski dengan berat hati, aku harus kuat menjalani ini, aku harus tetap ke kota lusa.
Sesampainya di rumah, kudapati mbak yuyun sedang sibuk memasukan baju-bajunya ke dalam tas, sedang Ibu masih duduk di kursi goyangnya.
“Dek, tolong siap-siapin baju Ibu sekarang. Mbak sama Ibu harus berangkat sore ini, lusa kamu berangkat sendiri gak apa-apa kan?” tanpa menoleh mbak Yuyun tetap sibuk sendiri, bahkan kulihat dia cukup terburu-buru seperti ada yang ingin dikejar, atau mungkin ada yang sedang ditakutinya? Padahal siang juga masih lama apalagi sore, bisikku dalam hati.
Namun seperti yang sudah-sudah, tanpa menunggu diperintah dua kali, akupun seperti tak kuasa untuk menolaknya lagi, “iya mbak gak apa-apa.” kuraih tas dan mulai mengemasi beberapa pakaian milik Ibu.
Malam semakin larut, entah mengapa mataku masih terus terjaga. Keberangkatan mbak yuyun dan Ibu sore tadi membuat rumah ini mendadak berbeda. Rasanya aku sedang tidak berada di rumah sendiri. Ada desir-desir angin tak enak yang entah itu apa. Ah, kupikir dengan segelas air putih mungkin akan sedikit membuatku lebih tenang. Syukur-syukur bisa melanjutkan malamku dan bisa tidur dengan nyenyak. Aku baru akan beranjak dari kamar ketika samar-samar kudengar decit seperti pintu yang terbuka. Dahiku berkerut, mataku berputar, aku ingat betul semua pintu telah kukunci sebelumnya.
Dengan degup yang tiba-tiba sudah memburu, perlahan aku melangkah menuju sumber suara itu yang ternyata menuju pintu belakang. Satu langkah, dua langkah, suara itu semakin dekat, kedengaranya cukup aneh, decitanya seperti sengaja di mainkan. Kemudian sampailah ketika mataku menangkap pintu itu yang sudah terbuka lebar. Ah, ternyata hanya karena angin dari luar yang membuat pintunya terus berdecit. Akupun segera menutup dan menguncinya.
Dan belumlah aku membalikan badan, aku baru sadar, Eh, tunggu! Bukankah sebelumnya pintu ini sudah kututup dan kukunci? Kok barusan bisa kebuka lagi? Jangan-jangan ada orang yang masuk? Napasku mendadak semakin memburu tak karuan.
Dan benar saja. Sekejap kemudian aku merasa seperti ada yang menubrukku dari belakang. Aku dibekap, napasku sesak, kain tebal yang baunya aneh itu menutupi hidung sekalian mulutku. Tubuhku semakin lemas, pandanganku semakin kabur. Dengan kasadaran yang tinggal secuil, susah payah kudongakkan kepala dan memandang sosok di belakangku. Setengah terpejam dan sedikit terlihat, aku berbisik dalam hati, dia.. dia.. pak.. Go.. Ni..? gelap.
Cerpen Karangan: Owy Ahmad Blog: owyachmadz.blogspot.com