Ketika aku menjenguknya, bapaknya sedang diam memandang anaknya yang sudah tersambung tabung infus. Dari tabung itu kulihat menetes butir perbutir cairan menuju tubuhnya yang tak berdaya. Tubuh kurus itu menjadi semakin kurus. Aku iba padanya.
Sesaat kemudian, mungkin ia merasakan kehadiranku, ia terbangun. Matanya memandangku, lalu memandang bapaknya. Bapaknya langsung berdiri, dan berucap, “Bapak keluar dulu sebentar, ini ada temanmu.” Bapak keluar, menyisakan aku dan Ardaf berdua saja. Aku lebih leluasa untuk bercengkrama.
“Aku sakit paru-paru Rif. Aku tak tau kenapa semua ini bisa terjadi. Padahal aku tak pernah sekalipun merok*k. Apa salahku?” Ucap Ardaf lirih dan ngos-ngosan beriring air mata yang bercucuran deras dari matanya. Aku tak mampu menjawabnya. Aku hanya diam. Ardaf memang tak pernah merok*k. Tapi semua teman Ardaf merok*k, termasuk aku. Apakah mungkin karena ini, karena Ardaf perok*k pasif yang menurut berita di tivi-tivi itu lebih berpotensi mengalami sakit daripada perok*k aktif.
Ardaf menarik nafas panjang, ia kembali bicara. “Apakah ini sebab salahku karena tak pernah mengeluhkan sakit yang selama ini aku rasakan kepada bapak? Ini salahku. Ini salahku Rif. Salahku.” Lagi-lagi aku hanya diam. Dia hanya butuh seseorang mendengar ucapannya. Rasanya aku berkewajiban untuk itu. Ia sedang sakit, raganya, tetapi lebih dari itu jiwanya. Mentalnya sekarang sedang rapuh-rapuhnya menyesali kondisinya sekarang. Ia butuh kekuatan.
Aku teringat, dua bulan lalu ia pernah utang kepadaku untuk membayar kegiatan kemah pramuka penegak. Ia bilang, ia terpaksa utang karena lupa meminta pada bapaknya. Sebenarnya bisa saja ia meminta hari itu juga namun tidak berani karena takut. Takut kalau kejadiannya seperti yang ia alami seminggu sebelumnya. Saat itu ia lupa bayar bulanan, barangkali karena saking sibuknya ngurusi kegiatan sekolah. Menunggak bayaran adalah hal yang dibenci bapaknya. Maka ketika ia berterus terang, bapaknya marah. Katanya, kenapa tidak ngomong dari kemarin-kemarin, kanapa ndadak!
Ardaf, ia temanku yang serba ribet. Bapaknya sangat ketat dalam mendidik. Hidup Ardaf penuh aturan, jam 04.30 ia harus sudah mandi, makan harus tepat waktu, dan tidak boleh keluar malam. Kalau aturan tadi dilanggar, bapaknya akan marah besar.
Dulu sewaktu SD, saya, Ardaf, dan teman-teman sering main bola di lapangan. Saat itu memang sedang ramai-ramainya karena ada perhelatan piala dunia. Kebiasaan main bola di kampung, belum akan berhenti jika salah satu tim belum mencetak 10 gol. Jadi, permainan bisa saja sampai maghrib. Apalagi ada aturan yang dibuat sendiri teman-temanku waktu itu, yaitu tidak boleh keluar kalau permainan belum selesai. Ardaf yang sudah terlanjur ikut dari awal mau tidak mau harus nurut. Sepulangnya main bola, Ardaf dimarahi habis-habisan oleh bapaknya, karena waktu itu permainan selesai tepat adzan berkumandang.
Minggu-minggu ini juga Ardaf saya lihat kerap dimarahi bapaknya. Ia selalu pulang maghrib karena ikut banyak ekskul sekolah. Ia sangat berbeda dengan temannya yang lain yang diberi kebebasan orangtuanya. Ardaf memang banyak aturan. Bagus sih. Tapi aku kasihan.
Tapi, pikirku, mungkin karena aturan-aturan itulah ia menjadi sosok yang pendiam, dalam hal apapun terutama pada bapaknya. Apa yang dirasakan ia pendam sendiri dan tak mau terbuka.
“Rif…” Dia menimpaliku. Aku sigap menyahut. “Iya Daf, kenapa?” Ia menarik nafas panjang lagi. “Aku memang tidak merok*k, tapi aku terkena penyakit paru-paru. Apa mungkin ini gara-gara do’a bapakku Rif?” “Maksudmu bagaimana Daf, do’a dari bapakmu?” Aku begitu penasaran. Kenapa justru karena do’a orangtua. “Iya Rif, Setiap bapak menasehati atau memarahiku, selalu ada do’a setelahnya. Seminggu lalu bapakku marah karena aku pulang maghrib, aku ikut ekskul pencak silat. Setelah marah itu bapak ngomong begini Rif, kalau kamu begini terus, nanti sakit! Aku menyebutnya itu do’a Rif.” Ia diam sejenak, mengatur nafasnya. Lalu melanjutkan kembali.
“Bukan cuma itu Rif, bapakku rajin menasehatiku begini: jangan lupa makan, nanti sakit. Mungkin karena itu Rif, karena itu. Kamu kan tau sendiri Rif, aku ini pengurus OSIS, sibuk mengurusi ini itu, karenanya aku jadi jarang makan. Secara tidak langsung aku mengiyakan do’a bapakku Rif. Aku menyesal Rif.” Ia jeda lagi. Mengambil nafas panjang. Sekaligus mengusap air matanya yang bergelimangan sedari tadi.
“Ada satu lagi Rif,” Ardaf melanjutkan. “Bapakku pernah bilang: kalau kamu sakit, yang repot siapa! Dan benar Rif, sekarang aku sakit dan bapakku begitu repot mengurusku. Aku menyesal Rif. Benar-benar menyesal. Bapakku sebentar lagi mungkin akan marah juga Rif. Pasti nanti begini: tuh kan sakit, makanya kalau bapak ngomong itu nurut, sekarang siapa yang repot, bapak juga kan! Aku harus ngomong apa sama bapak Rif?”
Sebentar kemudian, bapaknya datang membawa makanan. Menghampiri Ardaf. “Daf. Makan dulu nak. Dari tadi kamu belum makan. Bapak tau kamu tidak doyan makanan dari sini. Makanya bapak belikan yang lebih enak. Ayo makan. Perutmu harus diisi.”
“Kamu makan juga Rif. Ini.” Disodorkan tangannya yang memegang sebungkus nasi itu padaku. Tapi aku menolak. “Terimakasih pak. Saya sudah makan.”
Tiga detik kemudian hapeku berbunyi. Ternyata sms dari bapakku. “Arif pulang! Kamu belum makan. Nanti sakit!” Aku langsung pamit dan bergegas pulang.
Cerpen Karangan: Anam Sy Blog: anampecinta.blogspot.com Saya Anam. Sedang belajar menulis. Mohon untuk dikomentari cerpen ini. Saya nggak peduli siapapun kamu, mau pribumi, orang awam, atau apa ajalah. Pokoke komentari