Di malam yang sangat sunyi. sangat gelap, dan sangat dingin, aku berkumpul bersama teman-teman SMP ku. meminum suatu minuman yang membuatku tak sadarkan diri, menyalakan musik sekencang-kencangnya hingga terdengar sampai tetangga sebelah.
“lanjuuuut!!!” itu kata-kata yang sering kami ucapkan ditengah-tengah dugem. hingga jam 2 malam, kami belum juga usai berpesta-pesta. hingga segerombolan polisi datang dan mengepung kami. kami berusaha untuk berlari, namun percuma, kami sedang dalam keadaan mabuk. “woi! tetap disana! jangan lari!!” teriak para polisi-polisi itu yang mengiang-ngiang di kepalaku.
Tiba-tiba, terdengar suara ledakan. BOOOM!!! aku sempat menoleh sebentar, namun seketika mataku terasa pedih dan panas. pengelihatanku buram dalam hitungan detik. tiba-tiba, tubuhku terjatuh lemas, tak bisa bergerak, kaku. aku pun tak sadarkan diri.
Kenangan lama itu masih saja terukir di dalam benakku. aku mengedipkan mataku sampai beberapa kali untuk menghilangkan kenangan lama itu. masih teringat wajah teman-teman ku yang telah meninggal dunia, karena meminum-minuman keras yang dulu pernah aku minum juga.
Aku mengingat mimik wajah kedua orangtuaku, ketika melihat diriku dan beberapa temanku masuk ke dalam penjara. wajah mereka terlihat sangat kecewa, dan menahan kesedihan yang begitu mendalam. aku begitu menyesal ketika melihat wajah sedih mereka.
Aku ingin merubah sifatku, namun aku butuh bantuan seseorang yang ikhals menolongku. tapi… tak ada satupun orang yang mau mendekat denganku. menyapa saja tak mau, dan… kedua orangtuaku sudah murka terhadapku. aku ingin minta maaf, tapi, aku butuh orang yang bisa mangajariku caranya meminta maaf dengan tulus.
Aku hanya bisa meratapi nasibku yang seperti ini. namun… hingga suatu hari, aku mengenal seseorang wanita cantik yang sholehah, yang bersedia mengajariku agar aku bisa bersikap lebih baik lagi.
KRIIIING… Jam bekerku berbunyi sangat nyaring, bertepatan dengan azan shubuh. pertamanya, aku malas sekali bangun untuk menjalankan sholat shubuh. namun, Hanira memaksaku berkali-kali untuk bangun dari tidurku. akhirnya, aku terbangun, dan melaksanakan sholat shubuh bersama Hanira.
Usai sholat shubuh, Hanira mengajarkanku caranya membaca al-quran. terkadang, aku tertidur di saat Hanira sedang mencontohkan caranya membaca al-quran, namun Hanira tetap sabar mengajariku. Hanira sudah seperti kakak kandungku sendiri. aku senang diajarinya.
Jam 06. 00 WIB, “Rebecca… ayo cepat sarapan! 10 menit lagi kamu harus berangkat!!” pinta Hanira dengan sangat lembut. aku mengiyakannya, lalu segera berangkat ke ruang makan. “Rebecca, nanti di sekolah kalau ada waktu sholat dhuha, ya!!!” pinta Hanira lembut padaku. sangat lembut, sampai aku mengingat Ibunda tercintaku. aku tertunduk, menyesali perbuatanku dahulu kala, yang sering kusebut masa jahiliyah, yang membuatku terpisah dengan Ibuku. Aku meng-iya kan perintah Hanira. aku sudah berjanji pada diriku sejak lama akan berubah, dan inilah saatnya untuk merubah sikapku, untuk ber-hijrah.
Hanira mengantarkanku ke sekolah. sepanjang perjalanan, Hanira bernyanyi sebuah nyanyian berbahasa arab. ketika aku bertanya, “itu lagu apa?” namun dia menjawab, “itu bukan lagu. itu adalah sebuah do’a yang sering aku bisikkan di telingamu saat tidur. hanya saja, kau tak menyadarinya.” jelasnya. memang, aku tak pernah menyadari akan hal itu. aku selalu mengira bahwa itu adalah sebuah nyanyian penenang tidur. Aku teringat, Ibu juga pernah menyanyikan do’a itu ketika sedang tidur. seketika air mataku menetes mengingat wajah indah ibu. aku menyesal membuatnya kecewa atas perbuatanku.
“Rebecca…” panggil Hanira membuyarkan lamunanku. aku menoleh. otomatis Hanira melihat mataku yang sembab. “lho, kamu nangis?” Tanya Hanira lembut sambil mengusap pipiku. aku segera memalingkan wajahku darinya. “hayo… sudah SMP kok masih nangis?” Tanya Hanira sambil membalikkan kepalaku ke arahnya. Hanira tersenyum. “aku gak papa kok Han” ujarku. aku menoleh ke arah pagar. terlihat pak satpam yang ingin menutup pagar. “eh, Hanira. aku masuk dulu, ya!” pintaku. Hanira mengangguk, tandanya iya. aku segera mencium tangan Hanira, mengucapkan salam, lalu berlari kencang menuju kelas.
Sesampainya di kelas, aku duduk di banku paling pojok. tak ada satupun teman yang menyapaku. aku pun tertunduk, mengingat masa kelamku, ketika aku mendapatkan banyak teman karena kenakalanku. tiba-tiba, muncul wajah ibu di pikiranku. aku meneteskan air mata lagi, karena mengingat ibu. tak tersadar, ustadzah Nani, wali kelasku datang. dia mengabarkan bahwa nanti sore akan ada ujian praktek sholat. aku terbelalak. aku belum hafal caranya sholat.
Sekolah sudah selesai. aku melihat kesana-kemari untuk mencari Hanira. TIIIN… TIIIN… bunyi klakson motor terdengar sangat nyaring. aku menoleh. “Hanira!!!” panggilku. Hanira tersenyum, lalu melambaikan tangannya. aku segera berlari ke arahnya, lalu menaiki motornya. “hai, Hanir!!!” sapaku riang. Hanira hanya tersenyum. “Hanira, besok, aku ada ujian praktek sholat. aku belum hafal bacaannya. ajarin aku dong Han!!!” pintaku. lagi-lagi Hanira hanya tersenyum dan mengangguk. “Han, kamu marah sama aku ya?” tanyaku pelan. Hanira hanya menggeleng. Hanira mengegas motornya agar bisa melaju dengan cepat. aku cemberut. aku takut Hanira diam-diam menyembunyikan rasa kesal denganku. akhirnya, aku diam selama perjalanan, tidak menanyakan apa-apa.
Sesampainya di rumah… Hanira memarkirkan sepedanya. “Hanira, kamu ngomong kek… kenapa kamu diam saja?” tanyaku melas. Hanira hanya diam, lalu memegangi kepalanya. “Hanira?” gumamku. tiba-tiba badannya terjatuh, mulutnya terbuka dan mengeluarkan banyak darah dari mulutnya. “AAAAAAHHH!!!!” teriakku sangat kencang hingga menggema.
Seluruh tetangga keluar dari rumahnya dan menghampiriku. semua orang terkejut ketika melihat kondisi Hanira. ada yang langsung menelepon dokter, ada yang menutup mulutnya, ada yang berlari sambil berteriak minta tolong, dan lain-lain. mataku sudah tak sanggup menahan air mata. seseorang yang selama ini berada di sisiku, melindungiku, dan menjagaku, sekarang sudah terkapar tak berdaya di garasi rumah. Aku hanya bisa menangis. orang-orang memelukku erat. “jangan menangis… sebentar lagi dokter akan datang. sabar ya… semoga kakakmu tidak apa-apa.” kata Bu Nani, salah satu tetangga terdekatku.
Tak selang beberapa lama, ambulan datang, membawa 5 dokter di dalamnya. “di mana yang sakit?” Tanya salah satu dokter dengan raut wajah yang panik. aku menggandeng tangannya, menariknya ke garasi rumah. “ya allah!” pekik dokter tersebut sambil menutup mulutnya. “Dokter… ayo obati Hanira. please…” pintaku dengan nada memelas. Dokter itu mengangguk. dokter itu segera meluruskan posisi tidur Hanira. beberapa Dokter membawa sebuah tempat tidur rumah sakit. Dokter-dokter itu mengangkat Hanira ke atasnya. “kita harus membawanya ke rumah sakit segera, untuk melakukan pemeriksaan. apakah nona mau ikut?” Tanya Dokter itu. aku mengangguk mantap. “nama saya dokter Nani. nona boleh menaiki motor bersama saya, karena mobil ambulannya tak cukup.” kata Dokter Nani. aku mengangguk, “asalkan saya bisa ikut.” ujarku. aku terbelalak, pertama kalinya aku menggunakan kata ‘saya’. aku teringat pesan Hanira kepadaku…
Flashback on… Minggu pagi, aku dan Hanira berjalan-jalan di taman kota, dari jam 6 pagi sampai jam 10. waktu itu, kita dalam keadaan belum sarapan. jam 10 pagi, perut kami sudah keroncongan. kebetulan, ada kakek tua yang menjual nasi kuning. kami pun mampir ke sana. “kek, saya mau beli nasi goreng 2. cepat sedikit, ya kek. perut kami sudah keroncongan,” pesan Hanira sopan. aku mengangkat alisku, lalu berkata. “Hanira, kenapa harus pakai kata ‘saya’?” tanyaku. Hanira hanya tersenyum. “Rebecca… kita harus sopan kepada orang tua, seperti perlakuanku kepada kakek tua ini.” jawabnya lembut. aku hanya mengangguk-angguk. Flashback off…
Aku teringat dengan hal itu. alhamdulillah, aku sudah bisa mempraktekkan beberapa hal yang diajarkan Hanira. aku melihat Hanira yang tergeletak di kasur Ambulan. tak terasa, air mataku menetes. Hanira, yang sudah kuanggap seperti kakak sendiri, yang biasanya menolongku, berada di sampingku, dan menjaga kebahagiaanku agar tidak musnah, kini sudah terkapar lemah tak berdaya. dia tak lagi di sampingku, merangkulku erat.
TIIIN… bel motor terdengar sangat keras, sehingga menggema di telingaku. aku menoleh. ternyata itu dokter Nani. “ayo cepat naik! kita harus segera berangkat. kakakmu sedang dalam keadaan kritis, dan harus dibawa ke IGD secepatnya. ayo cepat naik!” serunya. tanpa A-B-C-D, aku segera menaiki motor Dokter Nani. motor dokter Nani melaju dengan sangat kencang.
Cerpen Karangan: Ardelia Nasywa Ardhani