Kami sudah sampai di Rumah sakit healty city. Hanira segera dipindahkan ke kasur rumah sakit yang telah disediakan di depan gerbang. Hanira segera dibawa ke IGD. aku menyertai di samping kasurnya, ikut mendorong kasur Rumah Sakit yang ditiduri Hanira. di depan pintu IGD, aku dilarang masuk. terpaksa, aku menunggu kabar dari dokter sambil duduk di kursi samping pintu IGD.
1 jam berlalu. aku menunggu dengan sangat sabar, sambil membaca buku do’a-do’a pilihan yang diberikan Hanira kepadaku tadi sepulang sekolah.
KREEEK… pintu IGD terbuka. dengan sigap, aku langsung berdiri di samping pintu untuk menyambut dokter. “dok, bagaimana keadaannya?” tanyaku. dokter menghela nafas. keaadaannya sangat kritis. kami harus melakukan tindakan khusus.” jawabnya datar. “dok, sakit apa dia?” tanyaku lagi. dokter menghela nafas lagi, menatapku sangat tajam. “dia terkena leukimia. itu sebabnya, kita harus melakukan tindakan khusus, sebelum terlambat. karena, diperkirakan, jika kita tidak segera melakukan tindakan khusus… telah diperkirakan, dia tidak akan bisa bertahan hidup lebih lama lagi. untuk biaya pengobatannya, sekitar 20 juta,” jelasnya. aku terbelalak ketika mendengar tentang penyakit Hanira, dan biaya pengobatannya. mataku seketika mengeluarkan butiran-butiran air. “dok, jika dia berhasil diselamatkan…” “tetap saja. dia hanya bisa bertahan hidup satu-dua tahun. maaf.” ujarnya singkat. aku benar-benar tak percaya dengan kenyataan ini. ingin rasanya aku melampiaskan tangisku yang sedari tadi kutahan, “maaf, kami hanya bisa melakukan ini, untuk kebahagiaan teman terdekatnya, walaupun hanya sementara…” ujarnya. dia menghela nafas, “saya permisi dulu.” katanya, lalu kembali ke IGD. aku pun menangis sekencang-kencangnya. beberapa orang mendatangiku, menenangkanku, menanyakan bagaimana nasib Hanira, dan ada juga yang melihatku dengan heran, dan melihatku dengan rasa kasihan.
Aku terus menerus menangis, hingga akhirnya aku tertidur. saat aku tertidur, aku bermimpi, aku melihat Hanira yang memakai gamis putih cerah, dan jilbab syar’i putih cerah. wajahnya sangat cantik, bercahaya, dan berseri-seri. berbeda dengan keadaannya tadi siang, di garasi rumahku. aku tersenyum, dan tertawa dengan riang ketika melihat Hanira yang sudah sehat. aku memeluknya, lalu mencium ke dua pipinya. dia hanya tersenyum, seperti yang dilakukan tadi siang sepulang sekolah. “Hanira…” panggilku pelan. dia tersenyum, lalu memegang bahuku. “Rebecca, besok, aku tidak lagi ada di sampingmu, mengangajarkanmu sesuatu, dan lain-lain. rebecca, bacalah buku-buku yang telah kuberikan padamu. bacalah, praktekan, dan amalkan. jangan jadi anak yang nakal. tirulah beberapa hal kebaikan yang pernah kulakukan. rebecca, aku pergi dulu. semoga kita bisa bertemu di surga,” jelasnya. aku menganga, tak tahu apa yang dia maksudkan. perlahan-lahan, dia menjauh dariku, dan menghilang ditelan oleh cahaya putih. “HANIRAAAA!!!” teriakku. aku berlari untuk mengejarnya. tapi, bukannya aku menjumpai Hanira, aku malah menemukan sebuah pintu besar berwarna emas. aku melihat, Hanira sedang menaiki tangga di dalam pintu itu. “HANIRA!!!!” aku memanggilnya lagi. dia menoleh ke belakang, melihatku, lalu melambaikan tangannya. tiba-tiba, pintu itu tertutup oleh awan-awan yang sangat indah, dan berkilau. tak lama kemudian, awan itu menghilang bersama pintu emas itu. “HANIRAAAA!!!”.
Perlahan-lahan aku membuka mataku. aku melihat beberapa orang sedang mengerumuniku. aku segera bangun dari posisi tidurku. “Rebecca, kamu baik-baik saja?” Tanya dokter Nani. aku mengangguk. “tadi kamu berteriak sangat kencang, meneriakkan nama temanmu itu.” kata Dokter Nani. “ya, aku bermimpi buruk tentang aku dan dia,” ujarku lemah.
Seketika, aku teringat Hanira. “dokk, dimana teman saya dok?” Tanyaku pelan. Dokter Nani menunduk, lalu menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. “dok…” gumamku. “kamu mau tahu dia ada di mana?” Tanya Dokter Nani. aku mengangguk mantap. “ikuti aku” ajaknya. aku pun mengikutinya.
Kami berjalan menyusuri koridor. koridor yang sangat gelap. kami berhenti di suatu ruangan. aku melihat tulisan yang tertempel di pintu itu. KAMAR MAYAT. aku terbelalak. ingin rasanya aku menangis, tapi aku tahan. “gak mungkin…” gumamku, dengan nada seakan-akan ingin menangis. aku berharap, sangat berharap, ini pintu yang tidak akan Dokter Nani bukakan untukku. aku berharap, sangat berharap, Dokter Nani hanya berhenti sejenak untuk mencari kamar Hanira. aku sangat berharap akan hal itu. namun, perlahan-lahan, Dokter Nani membuka pintu itu. tampak kasur-kasur yang di tempati mayat-mayat tersusun rapi. aku sangat berharap, Dokter Nani tidak mempersilahkanku masuk kamar ini. aku sangat berharap begitu. aku harap, Dokter Nani hanya ingin mengecek kamar ini, lalu menutup kamar itu, dan menyuruhku melanjutkan perjalanan. tapi, tiba-tiba Dokter Nani membukakan jalan untukku. mataku melebar. wajahku pucat seketika.
“Ayo… ini… kamar, temanmu, maaf,” ujarnya. aku sudah tak sanggup membendung air mataku. butir-butir air mata mengalir dari mataku. “HANIRAAAA!!!” teriakku sangat keras, sehingga orang orang yang berada di kamar rawat inap keluar untuk melihat, siapa yang berteriak. “shuuuut…” aku melirik mereka dengan tatapan sedih. mereka pun berhenti menegurku, da nada beberapa orang yang menghampiriku, lalu menenangkanku.
Mataku tertuju pada seorang wanita yang masih diam mematung di ambang-ambang pintu. aku seperti mengenal wanita itu. tapi, siapa? kulihat matanya berkaca-kaca. dia menatapku, seakan-akan dia mengenaliku. aku juga merasa, kalau, aku pernah melihatnya. dan… tiba-tiba, teringat sosok ibu, dan, dia adalah… “ibu…” gumamku sambil menatapnya tajam, sangat tajam. dia berjalan pelan dan lunglai ke arahku. semakin dekat, dan dekat. orang-orang memberinya jalan. ketika sudah sampai tepat di depanku… “Rebecca… ini kau kan nak…?” tanyanya memastikan. air mataku semakin deras mengalir. aku mengangguk, lalu memeluknya. dia pun membalas pelukanku. pelukan hangat, yang sudah lama tak kurasakan. “ibu… hiks, maaf…” pintaku. “hiks… iya, nak… ibu dan ayah sudah menunggu kamu selama berbulan-bulan… mengharap kan kamu kembali pulang… ibu menyesal telah mengusirmu dari rumah. sangat… menyesal…” katanya.
Ibu melepaskan pelukannya. “Kamu kenapa tadi teriak kencang banget?” Tanya ibu. aku menunduk. tangisanku bertambah keras. “itu… Hanira, temannya, telah meninggal dunia..” kata Dokter Nani. ibu melihatku yang sedang menangis. “tak apa nak… ini adalah takdir yang telah ditetapkan oleh allah swt. kita tidak bisa merubahnya, nak… terimalah semua yang telah terjadi. nanti, kita juga akan dijemput ajal kita, seperti Hanira, temanmu itu,” jelas ibu. aku mengangguk, lalu mengusap air mataku. “iya, bu… aku terima… tadi malam, Hanira sudah mengucapkan salam selamat tinggal kepadaku lewat mimpi,” ujarku pelan, dan lemas
Usai pemakaman Hanira, aku pulang ke rumahku yang lama bersama kedua orangtuaku dan adik bayiku (dia baru lahir). cklekkk… pintu rumah dibukakan oleh Bibi Hani, pembantu rumah yang sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. “bibi!!!” seruku sambil memeluknya erat. bibi membalas pelukanku. “bibi, maaf, ya…” pintaku. tanpa terasa, air mata mengalir dari mata kami.
“Alhamdulillah… anak yang sangat kita manja dan sangat kita sayangi telah kembali ke pelukan kami…” ujar Ayah. aku tersenyum haru. “Rebecc, kamarmu telah direnovasi lho… mau lihat?” Tanya Ayah. “wow!!! iya, yah,” ujarku. Kami pun masuk ke kamarku. kamarku yang dulu dicat warna hijau gelap, sekarang menjadi warna pink cerah, warna kesukaanku. boneka-bonekaku disusun rapi di atas ranjang pink-ku. “subhanallah…” ucapku. Ayah dan Ibu sontak kaget ketika mendengarku mengucapkan kata itu. ya… mereka tak pernah mendengarku berkata demikian. “Alhamdulillah…” ucap mereka setelah mendengarku mengucapkan tasbih. keluargaku sangat senang ketika melihatku telah berubah. dari masa kelamku, yang biasanya aku menghabiskan malamku dengan berpesta khamr, sekarang aku menghabiskan malamku dengan I’tikaf di masjid bersama keluargaku.
3 hari setelah kedatanganku… “oooweeek…” tangis adikku terdengar sampai ke teras belakang rumah. “Rebecca… tolong temenin adek tidur ya, nak… ibu masih masak makanan untuk makan siang!” pinta ibu. tanpa A-B-C, aku langsung bergerak menuju kamar adikku. “hai dek… kenapa nangis? cup cup…” kataku pada adik bayiku. dia langsung berhenti menangis, dan tampak senyuman kecil di wajahnya. aku tertawa saat melihatnya tersenyum. sangat lucu.. tawaku sangat keras dan berisik, membuatnya menangis lagi. “eeeh… kok nangis lagi? aduuuh…” keluhku.
“Eh, Rebecc… dia memang gitu… dikit-dikit nangis, dikit-dikit nangis…” lagak Bibi. aku tertawa kecil mendengarnya. “eh, kamu sudah gak sedih lagi, kan?” Tanya Bibi memastikan. aku tersenyum, lalu menghela nafas. “sudah enggak kok bi. mungkin… hanya merasa kehilangan, tapi kan, ini adalah takdir yang sudah ditetapkan allah, bi. aku gak bisa merubah takdir itu bi,” jawabku dengan nada yang menyenangkan. Bibi tersenyum, lalu memelukku erat.
“Akhirnya kau kembali… sebelum kamu kembali kesini, rumah penuh dengan kesedihan. ibumu merasa tidak tenang. dia takut, terjadi sesuatu padamu di luar sana, dan… Ayahmu juga merasa tidak tenang,” jelas Bibi. air matanya sedikit demi sedikit mengalir. “terimakasih, ya allah…” ucap Bibi. aku memeluknya erat. “iya, terimakasih ya allah…” ucap Ibu yang datang ke kamar adikku. dia memelukku juga, memelukku dengan saaaangat erat. air mata mengalir dari mata Kami.
Suasana bahagia memenuhi rumah Kami karena kedatanganku. bertahun-tahun aku tak bertemu mereka, dan bertahun-tahun mereka tak bertemu denganku, dan menciptakan kesedihan diantara Kami, ditambah ketika Hanira meninggal. namun, allah memberikan kami sebuah nikmat yang sangat indah. yaitu… allah mempertemukan kami, dan menciptakan kebahagiaan di rumah kami. terimakasih ya allah…
Cerpen Karangan: Ardelia Nasywa Ardhani