Mungkin kehadiranmu di antara kami akan sedikit mengangkat derajat kami di hadapan keluarga besarmu. Iya, keluarga besar yang bangga membesar besarkan permasalahan, bangga membesar besarkan kebaikan. Ayah, aku tahu ini semua takdirku tapi apa aku salah jika aku merindukanmu? Aku rindu berada dalam dekapmu. Sentuhan tangan yang membelai rambutku seakan berkata, “sabarlah sayang, kau gadis kuat”.
Aku mengaku lemah Ayah, aku sering menangisi kekecewaanku, aku sering menyalahkan Tuhan atas perginya dirimu. Ketahuilah Ayah kau pergi tanpa memberikan kami harta warisan seperti Ayah Ayah yang lain. Kau pergi dengan memberi beban Ayah, beban yang membuat anakmu berantakan, istrimu berjuang sendirian. Aku bukan tak bersyukur atas takdir ini Ayah, aku hanya sedang kecewa. Lagi dan lagi. Terus menerus. Tak henti keluargamu memberi sambil mengungkit dikemudian hari. Aku seperti diterbangkan, dibangga-banggakan, lalu dijatuhkan dengan pelantara kemunafikan. Sakit Ayah, rasanya seperti tenang dalam pelukan sang pengkhianat.
Kau mungkin tak paham apa yang aku bicarakan, dan apa yang kami rasakan. Jika Tuhan telah di sampingmu sekarang, tanyakan pada Nya seberapa banyak aku meneteskan airmata sambil mengeluhkan kekecewaan tentang ini. Bukan sekali dua kali Ayah, aku beruntung Tuhanku Maha Mendengar, Tuhan tak lelah mendengarkan keluhan yang sama pada waktu berbeda.
Ayah ketahuilah, kami korbanmu Ayah. Keluargamu selalu menghinakan keluarga kami. Seperti tak bersyukur atas apa yang telah kami raih. Memudahkan apa apa yang kami ketahui sulit dilakukan. Mereka hanya melihat apa yang kami hasilkan Ayah, bukan melihat usaha yang kami lakukan.
Ayah, aku putrimu yang ke-3. Terimakasih atas hadiah ulangtahun darimu saat itu (21-08-2004), aku sangat suka. Nafsu makanku bertambah karena hadiah piring darimu. Ayah, aku ingin seperti temanku yang lain, yang melanjutkan pendidikan sarjana. Aku ingin menjadi hebat, membayar semua caci dan makian keluarga besarmu. Aku ingin bebas dari sakit hati yang tak perlu. Tapi melihat keluargaku sendiri, harapanku menjadi turun Ayah, bahkan aku telah mengubur semua mimpiku demi menghidupkan mimpi-mimpi adikku, kakakku dan juga istrimu.
Aku mengaku lelah Ayah, aku lelah menjalani apa yang seharusnya menjadi kewajibanmu. Ya.. Menafkahi keluargaku. Kau tahu Ayah, putrimu masih menjadi tanggung jawab kedua orangtuanya sebelum ia menikah. Jika aku tak memiliki hati nurani, mungkin aku akan berontak keras saat hasil kerja kerasku dirampas adikku dan juga istrimu. Karena aku masih memiliki hak untuk dibiayai Ayah. Beruntung Tuhan menguatkan, hingga aku memiliki hati yang luas untuk tetap ikhlas.
Ayah, aku takan memintamu kembali, karena aku tahu permintaanku mustahil Tuhan wujudkan. Aku hanya memintamu untuk hadir dalam tidurku malam ini, banyak yang ingin aku sampaikan padamu, cerita suka dan duka. Saat tangis dan tawa. Datanglah Ayah, dengarkan, lalu beri aku dekapan yang menguatkan. Itu saja Ayah, hanya itu. Aku mohon. Maaf, aku mengganggu tidur panjangmu. Selamat istirahat Ayah.
Cerpen Karangan: Muzdalifah Agustina Facebook: facebook.com/muzdalifah.agustina