Terlihat kerinduan dari wajah Nabil yang tengah memeluk erat tubuh ayahnya. Delapan tahun yang lalu, sejak ayah dan ibunya bercerai Nabil tidak pernah tahu bagaimana keadaan ayahnya bahkan walau hanya sebatas kabar.
“Ayah kemana saja? Nabil rindu yah..” ucap Nabil yang mulai melepas pelukannya. “Waktu ayah tidak banyak nak.” Jawab ayahnya dengan singkat.
Sejak detik pertama pertemuan mereka hanya didominasi dengan suara Nabil. Mulai dari melontarkan pertanyaan hingga bercerita tentang neneknya yang murka ketika tahu bahwa Nabil rindu ayahnya.
“Ayah tahu? Terakhir kali aku rindu ayah adalah saat lebaran tahun lalu. Saat itu aku lebih banyak murung, aku tidak ingin bertemu dengan banyak orang karena aku hanya ingin bertemu ayah. Ibu kesal denganku yang tidak ingin diajak keluar rumah. Ibu melaporkanku ke nenek, ibu bilang aku sedang rindu ayah. Nenek menghampiriku dan menyeretku keluar rumah. Aku diseret yah, sakiiit. Lenganku sakit, belum lagi ditambah menahan malu karena aku diperlakukan seperti itu di depan banyak orang. Sejak saat itu aku tidak berani lagi untuk menunjukkan betapa aku rindu pada ayah. Karena aku takut nenek marah lagi padaku. Ngomong-ngomong ayah juga rindu padaku kan?.”
Nabil tampak kesal dengan ayahnya, karena ayahnya lebih memilih untuk bungkam bahkan pada saat Nabil telah banyak bercerita dan melontarkan pertanyaan.
“Ayah kenapa diam saja? Apakah tidak ada hal yang ingin ayah sampaikan kepadaku? Bukan satu atau dua hari kita tidak bertemu, delapan tahun yah! Delapan tahun kita tidak bertemu. Dan sekarang saat bertemu denganku ayah lebih banyak diam? Aku benci ayah!.”
Anehnya ayahnya tetap diam. Pertemuan mereka larut dalam keheningan, karena Nabil sudah kehabisan akal untuk membuat topik agar ayahnya mau bicara banyak.
Setelah lama menunggu, akhirnya ayah Nabil mau berbicara.
“Sudah satu jam lebih, nak. Ayah pamit ya. Jaga dirimu, ibu, dan adikmu. Ayah sayang kalian.” “Ayah mau kemana? Ayah mau pergi lagi? Kapan kita akan bertemu lagi yah?” “Kita akan bertemu setiap kali kamu rindu ayah nak”
Ayah Nabil berjalan pergi, bahkan saat Nabil tengah menangis sejadi-jadinya. Nabil meringkuk, melipat tangan dan kakinya berdekatan, sambil menyembunyikan wajahnya.
Terdengar suara langkah kaki yang mendekati Nabil dan suaranya berhenti tepat di belakangnya. Pemilik suara langkah kaki itu menepuk bahu Nabil sambil menggoyangnya. Mencoba memanggil Nabil dengan suara lembutnya, dan sepertinya Nabil mengenal dengan baik suara siapa itu.
“Nabil, bangun nak. Kenapa kamu menangis? Kamu mimpi apa sayang?.”
Cerpen Karangan: Witri Syakinah