Kesedihan masih terpampang jelas di wajah bunda. Kehilangan ayah membuat kami terpukul, bunda menangis sejadi-jadinya. Tidak berhenti, kini hanya ada aku, bunda dan dik Rena.
Sebelum lanjut, namaku Zacheya Audrina. Kalian boleh memanggilku Sheya. Dengan ketiadaan ayah, hidupku tak bisa tergambarkan.
“Sudah Sya, ini hari ke tujuh ayahmu tiada, kamu masih sedih aja! Kamu harus semangat!” Aisya berkata dengan penuh emosi. “Aisy sayang, kalau kamu mau pergi silahkan, aku mau disini ya..” “Lha?! Aku tuh nyemangatin kamu biar kamu semangat! Gak sedih! Malah diusir, gimana sih?!” Celotehnya. “Sudah deh, kasihan juga Sheya.” Gaudrina membawa kedamaian kembali. “Ih, aku terus yang salah!” Aisya pergi bersama Shara dengan kesal.
Aku dan Gaudrina memandang gumpalan awan yang indah di atas sana. Tak terasa, air mataku jatuh melihat keindahan alam semesta.
“Dri, terima kasih ya! Kamu sudah menyadarkanku! Sekarang, aku harus berusaha sebaik mungkin untuk membahagiakan bunda, makasihhh… kamu sahabat terbaikku!” “Iya… iya… lepas deh, geli nih.” “Maaf Dri, ke kantin yuk! Nyusul Aisya…” “Nah gitu dong, ayo!”
Pulang sekolah… “Bunda, Sheya pulang!” “Sheya? Tolong jaga dek Rena ya! Bunda mau ke makam ayah.” “Makam ayah? Lagi? Bunda harus ikhlasin ayah bun, memang takdir ayah harus begitu!” “Sudahlah, kamu diam di rumah!”
Bunda keluar rumah dan menaiki motor matic di garasi. Aku berjalan menuju kamarku, aku berganti baju lalu pergi ke kamar dek Rena.
“Dek Rena ternyata tidur, aku masak kali ya? Telepon Gaudrina deh! Pinjem tabletnya Rena!” Gumamku.
Aku pencet nomor telepon Gaudrina dan aku tekan call. Tililit! “Halo Rena, ada apa?” Suara seberang sana memulai percakapan. “Halo, ini Sheya, pakai tabletnya Rena.” “Oh… Sheya, ada apa?” “Kamu ke rumahku ya?” “Maaf Sya, aku harus belajar nih… maaf banget.” “Ya udah gak papa, da…” “Da…” Aku tutup telepon dan segera meletakkan tablet Rena di tempat semula.
Tililitt! Tablet Rena berbunyi setelah kuletakkan. “Lho? Jangan jangan Gaudrina mau ke sini… angkat ah!” Aku bergembira, “Halo,” “Oh halo, ini bulek Fatin, ibumu kecelakaan Sheya! Om Hamam perjalanan jemput kamu! Siap-siap ya, sudah dulu,” “Bulek… bulek… kok mati?”
Aku terkaget dan segera membangunkan dek Rena. Kami bersiap siap, setelah itu menunggu di teras rumah. “Anak-anak, ayo masuk!” Seru seseorang dari dalam mobil sedan. “Om Hamam? Ayo Rena!” Kami masuk dan mobil segera meluncur ke rumah sakit. “Bunda kalian ada di ICU, nanti jangan berisik ya?” “Iya om!”
Kami gelisah, tidak lama kemudian kita sampai. Bulek Fatin menunggu di kursi tunggu. Aku dan dek Rena menghampirinya. “Bulek.. bunda nggak kenapa-kenapa kan?” Dek Rena mulai menangis. “Iya, bunda kalian nggak kenapa-kenapa, berdoa ya?” Bulek menahan air mata.
Do’a kami terus mengalir tanpa henti. Tetapi semua terlambat! Bunda sudah tidak bisa diselamatkan karena terbentur tepat di bagian jantung. “Maafkan kami…” dokter hanya bisa meminta maaf. Kini hanya tangis yang ada, sungguh aku akan selalu mengingat hari itu! Hari kesedihan yang terlalu!
Cerpen Karangan: Refaluna A.Z Blog / Facebook: Refaluna Aurum Zahra Hai, namaku Refaluna, suka ceritaku? Kalau ada kesalahan mohon koreksi!