Aku seorang anak dari tiga bersaudari. Namaku mia. Aku memiliki kakak perempuan yang bernama Dian dan adik perempuan yang bernama Anggraini. Aku anak kedua, aku memiliki orangtua yang begitu tegas dengan anaknya. Ini bukan tentang aku yang tidak suka dengan sikap tegas mereka terhadap anak-anaknya. Tapi aku sangat menyayangi kedua orangtuaku. Sungguh tidak bersyukur jika aku tidak bahagia karena memiliki seorang ayah dan umi yang begitu mencintai anak-anaknya. Ayah selalu memberikan apa pun yang kami inginkan, dan umi pun selalu mencukupi apa yang kami butuhkan.
Ketika aku lulus SMA umi bertanya akan jenjang kuliahku selanjutnya. Tapi baru kali ini umi mengucapkan keinginannya padaku. Umi berkata padaku “mia, umi tau mia ingin sekali kuliah keguruan. Tapi umi ingin sekali melihat mia menjadi seorang perawat” aku pun menjawab “umi maaf sebelumnya, umi kan tau mia tidak suka dengan rumah sakit. Mia lebih suka seperti teteh yang berprofesi guru. Apa gak bisa umi kalo mia juga jadi seorang guru?” umi pun terdiam mendengar jawabanku.
Rasanya aku sedih melihat permata hidupku terdiam karena keinginan pertamanya kutolak. Rasanya begitu pilu melihat umi kecewa dengan jawabanku. Aku pun memeluk umi seraya berkata “umi, maafin mia karena udah nolak permintaan umi yang pertama untuk mia. Tapi izinin mia untuk berfikir ulang malam ini. Mia harap apa pun keputusan mia besok umi tetap sayang ya sama mia?” tanpa aku sadari umi menangis dan berkata “mia ngomong apaan sayang, umi memang ingin sekali melihat mia berseragam putih-putih dan bekerja di rumah sakit nantinya. Tapi umi bisa apa kalau anak umi gak mau menjadi seorang perawat” aku terdiam mendengar jawaban umi. Tapi terasa sekali kehangatan cinta umi padaku. Aku masih dalam pelukan umi, rasanya aku berada dipilihan yang membuatku sulit bernafas. Tapi pelukan umi sungguh membuat aku merasa tenang.
Ada hal yang membuatku tidak ingin melanjutkan kuliah perawat, aku sangat membenci rumah sakit. Karena dulu umi hampir saja tidak tertolong saat melahirkan anggraini. Aku sangat takut melihat umi sangat lemah di ruang observasi setelah melahirkan. Selain itu aku tidak ingin kuliah di kampus pilihan umi karena disana aku harus tinggal di asrama tiga tahun. Meski umi bilang aku tetap bisa pulang ke rumah seminggu sekali tapi tetap saja rasanya aku enggan meninggalkan ayah dan umi.
Keesokan harinya. Aku menghampiri umi yang sedang duduk di teras rumah sambil menyulam. Umi tersenyum melihatku “kenapa sayang? Kok kelihatan banyak beban gitu? Kalo anak umi keberatan buat kuliah perawat umi gak apa-apa kok sayang. Buat umi apa pun keputusan mia itu yang terbaik buat mia. Karena umi yakin kalo mia yang nentuin sendiri pilihannya mia pasti bisa jadi yang terbaik”. Aku bahagia melihat umi tak lagi diam. Bahkan umi malah memberiku pilihan untuk menentukan apa yang aku inginkan. Tapi hari ini aku sudah memiliki keputusan dan aku akan membuat umi senang dengan pilihanku.
Aku duduk di samping umi dan memegang tangan umi seraya berkata “umi, sekarang mia sudah punya pilihan untuk melanjutkan kuliah mia. Mia mau kuliah perawat. Mia mau kuliah di kampus pilihan umi, mia yakin umi pasti punya alasan yang terbaik sampai-sampai umi minta mia jadi seorang perawat” umi tersenyum melihatku dan umi memelukku dan berkata “alhamdulillah Allah mengabulkan doa umi. Mungkin saat ini terasa berat untuk kamu sayang tapi umi yakin mia pasti nanti akan suka dengan profesi perawat” aku menjawab dengan senyum dan yakin atas apa yang umi ucapkan “mia yakin pasti akan banyak keberkahan di depan sana, karena mia yakin doa umi pasti akan membawa mia dalam keberkahan dari Allah”
Selama beberapa minggu aku sibuk mengurusi persyaratan masuk kuliah perawat dan persiapan tes akademik. Aku tidak diantar oleh umi untuk mengurusi persiapanku kuliah. Aku mengurusnya sendiri, karena aku ingin umi melihat usahaku, bahwa saat ini aku bersungguh-sungguh dengan pilihanku. Aku pasti bisa lolos di kampus pilihan umi, dan aku akan membuat umi bahagia saat pengumuman nanti namaku terpampang di papan pengumuman. Aku bukan sedang berusaha masuk perguruan tinggi negeri, tapi aku berusaha masuk perguruan tinggi swasta. Umi memang sengaja memilih kampus swasta untukku, karena umi tau di kampus itu aku akan menjadi anak yang mandiri dan disana aku bukan hanya mempelajari tentang ilmu keperawatan tapi juga ilmu agama. karena disana bukan hanya akademi keperawatan tapi juga pondok pesantren.
Akhirnya pun aku sampai dihari pengumuman. Aku berhasil membuat umi dan ayah bangga pada apa yang sudah aku pilih. Aku lulus menjadi mahasiswi di kampus yang umi pilihkan untukku, bahkan aku mendapatkan nilai terbesar urutan kedua. Aku bersyukur karena akhirnya aku tidak membuat umi kecewa.
Ayah memelukku dan berkata “ayah bangga sama mia. Mia bertanggung jawab dengan apa yang sudah mia pilih. Mia udah buktiin sama ayah sama umi kalo mia bener-bener serius dengan kuliah ini. Ayah doain mia semoga kuliahnya lancar dan ilmu yang mia dapetin di kampus ini membawa keberkahan untuk hidup mia”. Tanpa ragu-ragu aku langsung memeluk ayah. Aku larut dalam tangis bahagiaku karena akhirnya aku berhasil memilih jalan awal dalam hidupku.
Kini aku belajar menjadi seorang perawat yang amanah dan juga peduli dengan apa yang dirasakan oleh pasien. Dulu aku selalu berfikir akan menjadi hal buruk karena aku tak lagi tinggal bersama ayah dan umi setiap hari. Tapi saat ini aku mulai menikmati semuanya. Suasana asrama, rutinitas asrama, peraturan-peraturan asrama, semua matakuliah, dan saat ini aku menyukai rumah sakit. Yang awalnya aku berfikir kalau rumah sakit itu adalah tempat yang membuat banyak orang bersedih.
Sekarang aku sadar bahwa betapa mulianya seorang yang berprofesi perawat. Tetap siaga perawat meski sudah tengah malam, tetap memberi senyum dan sentuhan tanda kepedulian meski sering dimarahi karena keadaan pasien yang mungkin memburuk. Berusaha menahan tangis ketika melihat pasien yang meninggal dunia. Dan banyak hal lain yang membuatku bangga dengan profesiku saat ini.
Aku sering sekali memeluk umi dan berterimakasih karena telah membantuku menentukan pilihan yang begitu mulia. Kini aku sadar seperti apa yang umi ucapkan dulu bahwa aku akan menyukai profesiku saat ini. Meski terkadang aku suka iri melihat teteh dian berangkat mengajar ketika aku sedang libur kuliah. Tapi aku tidak menyesal dengan pilihan ini. karena ada rasa bahagia tersendiri ketika melihat pasien pulang dengan sehat, Merawat pasien yang sedang kritis kemudian perlahan mulai membaik. Kini aku lebih menghargai nikmat sehat yang Allah berikan.
Tiga tahun masa kuliah kupun berakhir. Kini aku telah sah menjadi seorang perawat, dan hari ini aku menjadi seorang wisudawati. Aku bahagia sekali melihat ayah dan umi bangga karena ku mampu menyelesaikan DIII keperawatanku dengan tepat waktu. Teh dian dan anggraini adikku memelukku dan berkata “alhamdulilah anak umi ada yang jadi ibu suster” sambil tertawa bersama. “Ya Allah nikmat mana lagi yang aku dustakan sedangkan engkau memberikan banyak kebahagiaan dalam hidupku. Memberikan keluarga yang selalu mendukungku. Memberikan kelancaran dalam setiap urusanku. Sungguh merugi jika aku tidak mensyukuri itu dalam hidupku” gumamku dalam hati.
Umi mendekatiku dan berkata “umi bahagia memiliki putri-putri yang pandai menjaga auratnya. Yang pandai menghormati orangtuanya. Yang menyayangi satu sama lainnya. Umi juga bangga karena kalian selalu memberikan hasil yang baik atas apa yang sudah kalian pilih untuk masa depan kalian”. Kami pun pindah pelukan, kami langsung memeluk umi dengan penuh cinta. “umi tapi kan anggraini belum pernah bikin umi bangga kaya teteh dian dan ayuk mia. Raini iri sama teteh dan ayuk, karena sudah mencuri rasa bangga ayah sama umi duluan” celotehan anggraini membuat ayah dan umi tersenyum. “anggraini, ayah sama umi masih punya stok bangga yang banyak kok buat anak-anak ayah dan umi. Karena ayah dan umi yakin kalo anak-anak ayah dan umi akan terus membuat orangtuanya bangga” jawab ayah pada anggraini.
Setelah hari wisuda dua minggu yang lalu. Aku dan tiga sahabatku (April, Suci dan Lina) membuat surat lamaran pekerjaan untuk beberapa rumah sakit di kota kami. Dan setelah enam bulan kami nganggur tanpa memiliki pekerjaan kami pun akhirnya bekerja di satu rumah sakit yang sama. Aku bersyukur karena kami bekerja di satu rumah sakit yang sama.
Saat kami pulang dinas pagi dihari pertama kami kumpul di kosan lina sambil tidur-tiduran di kasur dan menatap ke arah jendela kamar april berkata “ternyata dunia kerja itu lebih capek ya dari pada waktu kita peraktek dulu?” keluh April pada kami. “iya aku capek banget hari ini, pasien aku di ruangan banyak tindakan. Belum lagi kalo ada pasien baru ngaskep dululah, ngelapor ke dokter kalo ada pasien baru, terus belum lagi kalo dokter spesialisnya udah visite, pasti ada obat baru” sahut suci dengan ekspresi capek yang memuncak. “haha sama aja aku juga gitu kali cii, tapi nikmatin aja lah. Inget gimana kepinginnya kita untuk kerja dirumah sakit ini, gimana kita capeknya mondar-mandir nyebar lamaran kerja. Gimana sedihnya kita nganggur selama enam bulan, dan akhirnya kita kerja disini kan? Di rumah sakit yang udah nerima kita jadi perawat kaya sekarang. Terus sekarang kita malah ngeluh lagi? Jadi kapan kita bisa bersyukurnya kalo kita terus ngeluh? Iya kan?” jawaban lina mencoba menyemangati kami.
Aku pun terdiam memahami setiap kalimat yang lina ucapkan. Rasanya aku jadi ingin memeluk umi “pasti rasa lelah ini jadi hilang karena ada umi yang memberikan senyum menenangkan dan pelukan kehangatan” gumamku dalam lamunan. Sejam berlalu aku pun pamit pulang “udah jam setengah 4 nih, aku pamit pulang duluan ya”. “buru-buru banget sih mii pulangnya” jawab lina “iya abis umi minta aku pulang sekarang katanya ada hal penting yang mau teh dian sampein. Jadi aku pulang duluan ya, assallamualaikum” sahut ku pada mereka. Mereka pun menjawab dengan bersama “waalaikumsallam”.
Cerpen Karangan: Elinda Puri My name is “Elinda Puri .T”