Berlin, 9 Juni 2015 Kota Berlin tengah mengalami akhir musim salju dan musim gugur, bagi sebagian penduduk mereka lebih memilih berdiam diri di rumah mereka masing-masing menghangatkan tubuh dengan menyalakan tungku-tungku api yang asapnya dapat terlihat menyembul dari balik cerobong asap rumah mereka. Tak heran jika di malam harinya Berlin jatuh hingga di bawah titik bekunya.
Setiap akhir musim gugur dan musim dingin Berlin selalu memiliki festival yang selalu menjadi daya tarik wisatawan mancanegara walaupun dalam negeri seperti festival perayaan natal, festival lampu Berlin dan juga festival-festival lainnya yang kerap ada di setiap akhir musim dingin ini.
Akan tetapi berbeda dengan lelaki berbadan atletis ini di sebuah bangunan raksasa kota kosmopolitan dengan fasihnya ia menyampaikan bagian-bagian presentasi hasil rancangan perusahaanya. Pada kurun waktu akhir tahun ini ia akan menghadiri seminar ke berbagai negara sehingga harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Perusahaan miliknya tergolong perusahaan yang bisa dibilang sukses dalam mengadakan beberapa investasi, ia juga memiliki beberapa cabang usaha di berbagai belahan dunia tak heran jika lelaki ini banyak dikagumi bahkan disegani oleh berbagai kaum adam maupun kaum hawa karena kecerdasan yang ia miliki.
“Bagaimana, sudah selesai?” tanya lelaki itu pada salah seorang pegawai kantornya. “Hanya tinggal menggabungkan beberapa berkas lagi pak setelah itu bapak bisa bawa segera” jawab salah seorang pegawai perempuan itu dengan sopan. “Baik setelah itu segera serahkan kepada saya, saya akan berangkat ke Melbourne besok” “Baik, pak”
Alister Daylon Atmajaya sebuah papan nama kayu berdiri tegak menghiasi meja kerjanya saat ini. Ruangan berdesain mewah serta interior yang mungkin tak terduga jika harus dinilai dengan nilai dollar manapun. Ya, Alister merupakan anak dari Dirga Atmajaya salah satu pengusaha yang telah merajut kesuksesan di usia muda akan tetapi seluruh aset perusahaan Dirga ia serahkan pada ankanya Alister lantaran ia menganggap bahwa Alister telah mampu dan sanggup untuk menggarap bisnis yang telah ia geluti selama 10 tahun terakhir ini. Dan terbukti! bahwa Alister mampu melakukan semua itu ia mengembangkan seluruh bisnis milik ayahnya hingga terkenal di berbagai belahan dunia.
Lelaki itu duduk bersandar sambil sesekali menyelami alam khayalan yang selama ini menjadi kegemarannya. Entah apa yang ada di pikirannya akan tetapi terlihat dia sangat menikmatinya. Samar-samar bibirnya membentuk lengkungan bulan sabit dengan lesung pipit yang segera timbul mengikuti arah kemana ia tersenyum. Seperti membayangkan sesuatu yang sempat ia alami, ia seolah hanyut dalam khayalannya.
“Papa, aku ingin itu…” rengek bocah kecil berbadan kurus kepada seorang lelaki separo baya yang tengah berdiri di sampingnya. Ia terus berjinjit-jinjit sambil meremas serta menarik-narik ujung kemeja yang dimiliki lelaki separo baya itu akibat remasan tangan bocah kecil itu ujung kaos yang lelaki itu kenakan menjadi kusut. Bocah itu tak peduli akan dimarahi oleh lelaki itu yang ada ia hanya ingin mobil remote control yang menghiasi matanya ada di hadapanya saat ini. “Papa, Alen ingin itu..” rengek bocah itu lagi
Lelaki yang semula berdiri menunggu antrian gajinya itu akhirnya berjongkok dan tersenyum ke arah putra kecilnya “Sebentar sayang, tunggu sebentar lagi ya nanti Papa belikan, tunggu satu menit lagi ya, Alen main aja dulu nanti kalau sudah selesai Papa temui Alen oke” lelaki itu mengelus pipi mungil Alen sesaat sebelum akhirnya bocah itu berlari meninggalkan sang ayah.
Setelah ia selesai mengantri untuk menunggu bosnya membayar jerih payahnya selama satu bulan ini ia segera pergi menuju putranya berada. Tampak dari kejauhan ia dapat melihat putranya sedang melukis di atas tanah menggunakan ranting pohon yang berserakan di sekitarnya. Lelaki itu tersenyum, peluh yang membanjiri wajahnya tak ia hiraukan akan tetapi di lain situasi ia merutuki nasibnya gaji yang ia terima sepertinya tidak cukup untuk membelikan Alen mobil remote control karena sebagian besar dari gajinya harus ia gunakan untuk membayar kontrakan dan untuk makan sehari-hari saja itu sangat pas-pasan.
Dengan langkah menipu laki-laki itu berjalan seolah-olah tak terjadi apapun seulas senyum tercetak jelas di raut wajah tuanya ia menghampiri putra kecilnya. “Alen..” sapanya. Sepertinya Alen marah karena terlalu lama menunggu. Lebih dari 30 menit ia menunggu hingga bosan, lelaki itu mengatakan tak sampai lima menit ia akan datang menemui putranya akan tetapi lebih dari 30 menit lelaki itu baru datang menghampirinya. “Alen marah ya sama papa? Maafin papah deh tadi ngantrinya panjang banget, Alen mau kan maafin Papah?” bujuk lelaki itu. Masih saja sama bocah itu masih asyik berjongkok menggoreskan mahakaryanya di atas pasir yang entah apa jadinya.
Sedetik kemudian bocah itu mendongak “Papah Alen mau mobil-mobilan itu katanya tadi Papah janji mau beliin Alen” bocah itu mengerucutkan bibirnya ia menyangka bahwa lelaki itu akan membohonginya. Ia menjejakkan ujung ranting yang ia genggam ke atas tanah sekuat-kuatnya hingga secuil-cuil pasir berterbangan akibat ulah bocah itu.
Sang ayah tak kuasa memandang putra kecilnya harus bersedih mau tak mau ia menggendong Alen ke punggung belakangnya membawa putra kecilnya ke toko mainan yang selama ini ia inginkan tak peduli dengan uang sisa gajinya yang menipis, untuk makan dirinya besok ia bisa berhutang dengan rekan kerjanya, yang terpenting kebahagiaan putranya saat ini.
“Alen mau mobil yang mana” tanya lelaki itu. “Yang itu” telunjuknya mengarah ke mainan mobil remote control berwarna emas memiliki desain rapih yang bisa dibilang itu adalah mainan mobil mahal di daerahnya pada masa itu. Lelaki itu segera menghampiri salah seorang pegawai dari pemilik toko dan dengan segera pegawai tersebut menyambar mobil mainan dan segera menyerahkan kepada lelaki itu.
“Berapa harganya mbak?” tanya lelaki tersebut. “200 ribu pak” jawab pegawai wanita berkacamata itu dengan ramah. Buru-buru lelaki itu segera merogoh sakunya untuk mengambil lembaran rupiah berkat jerih payah yang ia dapatkan. Ia mengeluarkan 4 lembar 50 ribuan di dalam amplop itu sekilas muncul di benaknya bagaimana untuk makan besok bahwa uang yang ia dapatkan saat ini tersisa selembar saja. Ia mengulas bibirnya sejenak lalu segera memberikan lembaran tersebut kepada pegawai toko.
Bocah itu teriak kegirangan sepanjang jalan ia terus meronta digendongan ayahnya, sepertinya ia sangat bahagia dengan mainan remote control barunya. Bagai tersengat listrik hati sang lelaki itu merasakan kebahagiaan yang tak terhingga, secercah cairan bening hampir menetes di pelupuk matanya entah perasaan bahagia, sedih maupun haru yang jelas telah bercampur aduk menjadi satu dalam kebahagiaannya saat ini.
Meski tenaga yang ia miliki semakin menyusut langkah kaki yang perlahan semakin memelan tak mengurangi semangatnya untuk menggendong sang buah hati yang berada di punggungnya menuju kediamannya di pedalaman kota metropolitan yang menjadi ajang beradu nasib siapapun yang berada disana.
Cerpen Karangan: Aulia Widya Prastuti Blog / Facebook: Aulia widya