Tok.. tok.. tok.. Suara ketukan pintu membuat lelaki berdarah jerman tersebut tertarik ke dunia nyata. “Masuk..” perintah lelaki itu. “Ini pak berkas hasil meeting hari ini” ucap salah seorang gadis pegawai kantor lelaki itu. “Taruh saja di meja” perintahnya “Baik, pak” tutur gadis itu dengan sopan.
Perlahan tangan kekarnya melepas kacamata berbentuk kotak yang bertengger di atas hidungnya, lelaki itu tidak minus plus atau semacamnya kelainan mata yang biasa dialami seseorang pada umumnya. Ia hanya senang ketika meeting, membaca buku atau pada saat jam kerja berlangsung menggunakan kacamata karena menurutnya ia akan terlihat seperti orang cerdas ketika mengenakan benda berlensa persegi itu. Telunjuk serta ibu jarinya memijat perlahan pelipisnya serta meraba bekas jahitan yang ada di kepala bagian belakangnya. Kecelakaan semasa 18 tahun lalu membuat kepalanya sering sakit ketika mengingat atau berfikir semacam hal yang terlalu berat.
Semenit kemudian ia mengangkat benda persegi berlogo apple nya guna menelepon sekretarisnya. “Halloo sepertinya seminar akan saya laksanakan bisa pesankan saya tiket pesawat ke melbourne sekarang?..” “…” “Ya sekarang sekitar pukul” ia melirik benda Alexander Cristie yang melekat di tangannya itu sekilas “7 malam. Segera ya” “….”
Tidak sampai seharian lelaki itu telah sampai ke kota tujuannya Meulbourne ia dikawal oleh tiga bodyguard bawaannya, akan tetapi sebelum ia meeting ia sengaja memilih untuk menikmati pemandangan dan hiruk pikuk kota Melbourne kota yang pernah menjadi impiannya semasa kecil dahulu. Sengaja ia memilih untuk tak ditemani oleh bodyguardnya kala itu karena ia ingin leluasa untuk menikmati indahnya kota Meulbourne sebelum ia kembali ke meja kerja dan mengadakan seminar bersama clientnya.
Dibalik keindahan dan kemewahan kota Meulbourne siapa sangka disana lelaki itu mendapati seorang pengemis tua yang berusaha mengerahkan seluruh kekuatannya demi mendapat sisa-sisa makanan yang telah dibuang di tong-tong besar oleh penduduk disana. Lelaki itu mempercepat langkah kakinya ketika melihat pengemis tua hampir jatuh ketika tengah mengais makanan di dalam sebuah tong besar.
“uncle, are you alright?” tanya lelaki itu cemas, pandangannya tertuju pada lengkukan tulang yang tercetak jelas di bawah lehernya sangat terlihat jika pengemis tua itu sangat kelaparan. “Wait… wait a minute”
“Hallo, tolong meetingnya ditunda dua jam lagi saya ada urusan penting yang harus diselesaikan” ucap pria itu itu cepat sambil menaruh telepon genggamnya ke dalam saku jaket hitamnya
“Sss…saya tii..daakk apa-apa” nadanya terdengar merintih. “Anda orang indonesia?” tanya pria itu tak percaya untuk apa ia datang jauh-jauh dari indonesia ke Melbourne hanya untuk mengemis? atau ia bangkrut?, dan ia tak memiliki sanak saudara. Sedetik kemudian pengemis tua itu jatuh tertelungkup untungnya dengan cepat lelaki itu menangkapnya. “Paman… pamann” bahkan tepukan pria itu tak mampu menyadarkan pengemis tua itu.
“Helpp… helppp somebody help?!” teriak pria itu cemas.
—
“Bagaimana dokter keadaannya?” “Keadaanya baik-baik saja dia sudah siuman Anda bisa melihatnya” sahut dokter tersebut. “Baik terimakasih dok” lelaki itu perlahan-lahan masuk ke dalam ruangan tempat pengemis itu berada, bibirnya tersenyum ketika melihat sang pengemis tua itu membuka matanya.
“Paman tidak apa-apa?” tanya lelaki itu lembut. Pengemis tua itu tampak bergeming sesaat kemudian ia bersuara “Kau..” telunjuknya mengarah ke wajah lelaki itu. “iya?” “Galen..” sapa pengemis tua itu lagi “Oh maaf nama saya bukan Galen nama saya Allister” sergah lelaki itu cepat. “Luka itu..” tangan sang pengemis itu mulai meraba kening Allister ia meraba bekas jahitan yang berada disana. “Tidak salah lagi kau Galen..” Allister semakin bingung “Maaf tetapi saya Allister bukan Galen yang paman maksud” protesnya. “siapa nama ayahmu?” “Dirga Atmajaya” balasnya
Pengemis tua itu mengambil tas lusuhnya lalu mengeluarkan sesuatu yang berada di dalamnya, sebuah foto “Apa dia ayahmu?” perlahan lelaki itu mengambil selembar foto yang berisikan gambar ayahnya ya benar itu memang Dirga ayah dari Allister. Tapi bagaimana mungkin bisa ada bersama pengemis tua itu. Ada hubungan apa dengannya.
“Iya benar dia orangnya, tapi mengapa foto ini bisa ada bersamamu, ada hubungan apa paman dengan ayahku?” Allister keheranan.
Sewaktu kecil Allister dibesarkan dan dirawat oleh seorang pengusaha kaya raya yang kekayaannya tak terhitung jumlahnya ia juga tidak pernah merasa kekurangan, di dalam hidupnya kemewahan selalu berada di sekelilingnya waktu itu ia berumur 10 tahun seperti anak pada umumnya ia menginginkan sebuah mainan branded dengan harga yang tak kalah fantastisnya terbeli hanya dengan sekali ucapan olehnya. Ia juga tidak menyadari bahwa selama ini ia hanyalah seorang anak titipan yang telah menjadi pewaris tunggal di keluarga Atmajaya tak pernah terbesit sedikitpun sehingga hal tersebut dapat terjadi di dalam kehidupannya.
Pengemis tua itu terus menceritakan bagaimana ia dapat berada di sana “Perusahaan kami bankrut dan rumah pemberian ibumu terbakar habis..” Dia Roni seorang pengusaha yang tak kalah kayanya dengan Dirga akan tetapi musibah kebakaran yang melandanya membuatnya harus menyerahkan anak semata wayangnya Galen kepada sahabatnya Dirga awalnya ia tidak ingin menyerahkan putra kesayanganya kepada orang lain akan tetapi hatinya berkata lain demi menyelamatkannya dan memberi masa depan yang lebih baik ia harus melakukanya.
Tidak mungkin jika ia akan membawa Galen terus dalam kehidupannya mau jadi apa dia, ia ingin putra kesayangannya menjadi seorang yang hebat, sukses tidak seperti dirinya pengemis. Oleh karena itu ia menitipkannya kepada Dirga untuk menjaganya sampai ia kembali dan melihat putranya menjadi seorang yang sukses “Itulah sebabnya Ayah menitipkanmu kepada Dirga sahabat Ayah..”
Mengenai luka yang membekas di pelipis Galen karena sebatang kayu yang terbakar menggores pelipisnya dan menimpa sebagian kepalanya membuatnya tak sadarkan diri untung saja Roni cepat menyingkirkannya dan beralih menggendong dan membawa Galen pergi menjauh dari kobaran api yang telah membabat habis apartemennya.
“Kau masih ingat nak ketika kamu ngambek karena nunggguin ayah terima gaji lama padahal kamu ingin dibelikan mobil-mobilan?” Sahut lelaki itu mengingatkan kejadian masa lalu Galen berharap ia masih mengingatnya.
Perlahan kepala Galen terasa berputar ketika mengingat sesuatu yang memberatkan saraf sensoriknya akan tetapi ia memaksa agar dapat membuktikan kebenaran itu “Aku masih mengingatnya” sahut Galen cepat ketika mendapat sekelebat bayangan yang sempat melintas di otaknya, pada saat ia di kantor ya bayangan itu! Persis seperti pengemis itu katakan.
“Oh iya nak” Roni nampak mengeluarkan sesuatu “Selamat Ulang tahun Galen anak Papa” sebuah album foto tipis yang berisikan foto-foto kenangan almarhumah. Anita, Roni sengaja membawa setiap hari dan tak pernah lepas dari genggamannya ia percaya suatu saat ia akan bertemu dengan anaknya kembali mengingat Galen sangat ingin mengetahui wajah asli sang ibu perihal ibunya telah meninggal saat bersusah payah membuat Galen hadir ke dunia.
Raut wajah Galen tampak pias perlahan ia meraih album foto tipis itu, Seluruh ingatannya telah pulih kembali ia dapat mengingat semuanya. Pada lembaran pertama ia melihat dirinya sewaktu kecil memakai seragam TK yang tengah digendong oleh Roni ketika hendak berangkat sekolah. Ia sama sekali tak dapat menahan air matanya papa yang selama ini menghilang dari hidupnya mengorbankan segala kepentingan hidupnya untuk Galen hadir kembali untuk menemui malaikat tercintanya.
Tanpa sadar kedua lengannya merengkuh pria berumur itu sudah sekian lama ia kehilangan hal itu, hal yang sangat berharga dalam hidupnya “Papa.. Alen sayang Papa”
Cerpen Karangan: Aulia Widya Prastuti Blog / Facebook: Aulia widya