Cuaca sangat dingin hari ini. Membuatku harus menyilangkan kedua tanganku di dada. Jaket hitam pemberian kakek tidak bisa melawan kedinginan ini. Terus kulangkahkan kakiku menyusuri pinggir jalan kota. Aku melihat jam tanganku. Sudah pukul 07:15. Gawat, sebentar lagi ujian akan dimulai!. Aku mempercepat langkahku menyusuri jalan kota. Tak peduli berapa banyak orang yang menegurku untuk jalan lebih lambat dan hati-hati, namun aku tidak peduli. 5 menit lagi ujian akan dimulai! Siapa yang peduli tentang jalanan di waktu seperti ini?.
“Maaf, aku terlambat!”, seruku saat sampai di depan pintu kelas. Bu Ida, pengawas ujian menghampiriku. “Kenapa kau terlambat? Cepat ambil kertas ujian dan kerjakan!”, serunya tegas. Aku mengangguk dan pergi ke arah meja guru untuk mengambil soal. Setelah itu, aku melepas jaketku dan mulai mengerjakan soal dengan teliti.
“Kenapa bisa telat sih, Mir?”, tanya Agnes saat istirahat. Monik yang sedang kesulitan menyeruput minuman jelly-nya mengangguk. Aku menghela napas. “Ya, kau pasti tahu, Nes. Aku kan harus berjualan roti dulu pagi-pagi”, jawabku sambil mengaduk es jeruk pesananku yang sudah ada tepat di depan mataku. Agnes mengangguk mengerti. Monik masih kesulitan menyeruput minuman jelly di sebelahnya.
Bel pulang sudah berbunyi. Dengan agak tergesa-gesa, aku memasukkan semua barang-barangku ke dalam tas. Setelah yakin semua barang sudah dimasukkan, aku segera melangkah pergi keluar kelas.
“Mira!”, panggil seseorang. Aku menoleh. “Ah, Agnes. Ada apa? Dimana Monik?”, tanyaku. Agnes tersenyum. “Dia sudah pulang duluan. Oh iya, kamu jalan kaki? Dimana sepedamu?”, tanyanya balik. Aku menghela napas. “Sepeda itu rusak. Baru kemarin aku membawanya ke bengkel. Mungkin akan selesai hari ini”, aku tertawa kecil. Agnes mengangguk. “Ya sudah, aku duluan ya! Jemputanku sudah datang! Daah!”, Agnes melambaikan tangannya padaku dan pergi menjauh menuju jemputannya. Aku tersenyum dan kembali melangkah pulang menuju rumah.
Tik! tik!. Gerimis mulai turun. Langit yang cerah mulai berubah warna menjadi kelabu. Aku cepat-cepat mencari tempat berteduh. Aku menatap sekeliling. Kutemukan sebuah pohon yang cukup besar, cukup bagus untuk berteduh. Aku berlari kecil menuju pohon itu. Drrrsss. Hujan turun semakin deras. Aku memutuskan untuk menunggu sampai hujan benar-benar berhenti. Aku sabar menunggu selama beberapa menit. Namun, hujan tak kunjung berhenti. Hingga akhirnya seorang anak perempuan dengan gaun coklat menepuk pundakku pelan. Aku menoleh dengan agak kaget. “Hai! Kau pasti Mira, kan?”, sapa gadis itu. Aku terdiam sebentar dan akhirnya mengangguk dengan agak heran. Kenapa dia bisa tahu namaku? Setahuku, aku tidak seterkenal itu hingga dia tahu namaku. “Jangan kaget, aku tahu karena aku dulu mengenalmu. Oh iya, kau ingin pulang?”, tanyanya. Aku mengangguk pelan. Apa yang dimaksudnya ‘mengenalku dulu’?. Dia tertawa kecil. “Kau pasti bosan, kan? Aku akan membantumu pulang. Asal kau harus berjanji, jangan beritahu siapa-siapa tentang diriku ini. Oke?”, ia mengangkat jari kelingkingnya. Aku berpikir sebentar. Ia orang yang baru kukenal. Tapi, rasanya dia mirip seseorang. Siapa, ya?. Ah, tak usah dipirkan. Kenapa juga aku harus memberi tahu identitasnya pada orang lain?. Aku melilitkankan kelingkingku di kelingking anak itu. Anak itu tersenyum dan memegang tanganku. “Tutup matamu”, ujarnya. Aku menelan ludah. Apa yang terjadi?. Namun, aku cepat-cepat menutup mataku mengikuti perintah gadis itu.
Aku mulai membuka mataku pelan-pelan. Aku melihat sekeliling. Ini, rumahku!. Aku menatap sekitar. Rumah sepi. Sepertinya, nenek pergi. Aku berkeliling rumah. Dia sudah tidak ada. Si gadis misterius itu. Siapa dia sebenarnya?. Wajahnya tak asing bagiku. Tapi, aku tak bisa mengingatnya. Siapa dia?.
“Kau sudah pulang, Mira?”, terdengar suara seseorang dari luar pintu. Aku menoleh. Ah, nenek. “Iya, nek. Baru saja pulang. Nenek habis darimana?”, tanyaku saat melihat nenek membawa tas hitam kesayangannya masuk ke dalam rumah. Nenek tersenyum sambil menaruh tas hitamnya di meja makan. “Habis dari luar. Kau sudah makan?”, tanyanya balik. Aku menggeleng pelan. “Ah, nanti saja nek. Aku tidak lapar”, jawabku. Nenek hanya mengangguk. “Kalau begitu, nenek masuk kamar dulu ya?”, nenek membelai kepalaku pelan. Aku mengangguk. Nenek pun pergi menjauh menuju kamarnya.
Aku merebahkan diriku di sofa. Ah, iya!. Aku baru ingat sesuatu!. Aku merogoh saku bajuku. Uang hasil penjualan rotiku tadi pagi masih tersimpan di sakuku. Aku menaruh uang itu di meja makan dan kembali merebahkan diriku di sofa. Aku menatap langit-langit. Siapa gadis itu sebenarnya?. Tak lama, mataku mulai terpejam pelan-pelan.
“Mira! Bangun! Sudah jam 2! Kau tidak les?”, seseorang mengguncang bahuku pelan. Aku membuka mataku pelan-pelan. “Jam 2?”, aku mengucek mataku. Aku menatap jam dinding. Ah, benar! Sudah jam 2!. Aku cepat-cepat bangun dan berganti baju. Aku menyambar tasku dan cepat-cepat pergi ke ruang tamu. “Mira pergi dulu, nek! Assalamualaikum!”, aku mencium tangan nenek. “Waalaikumsalam! Hati-hati, Mira!”, seru nenek. Aku cepat-cepat memakai sandalku dan pergi menuju tempat les.
“Ya ampun, Mira! Sudah berapa kali kau terlambat hari ini?”, tanya Agnes. Aku menghela napas. “Hh.. gak tau, deh… aku… hh… tadi… ketiduran..”, jawabku sambil ngos-ngosan. Agnes menggelengkan kepalanya. Aku menaruh tasku dan duduk di kursi. Tak lama, Mr. Brown datang dan mulai mengajar.
“Daah!”, Agnes melambaikan tangannya dari kejauhan. Aku membalas lambaian tangannya. Setelah Agnes menjauh, aku kembali melangkahkan kakiku pulang ke rumah. Aku berjalan melewati lapangan. Ada banyak orang disana. Ada yang bermain bola, dan ada juga yang bermain basket. Aku tersenyum melihatnya. Ingin rasanya aku ikut bergabung, tapi aku harus sampai di rumah secepatnya. Atau nenek akan khawatir.
Aku mempercepat langkahku. Hingga seseorang berteriak padaku. “Kau yang disana! AWAS!”, teriak seseorang. Aku menoleh dengan agak kaget. Terlihat sebuah bola mendekat ke arahku. Bola itu melaju dengan sangat cepat. Aku merasa, bola itu tak dapat dihindari. Aku menutup mataku bersiap untuk dihantam oleh bola keras itu. Namun, tak terjadi apa-apa. Aku membuka mataku pelan-pelan. Gadis yang tadi siang menyapaku saat hujan melindungiku dari bola itu. Karena ia yang melindungiku, maka peran korbannya beralih ke dia. Kepalanya terhantam bola dengan keras. Hingga ia terjatuh tak sadarkan diri. Darah mengucur deras dari kepalanya. Aku terdiam. Tidak… mungkin..
Aku mengguncang bahunya pelan. “Kau, bangun! Ayo bangun! Kau tidak apa-apa, kan?”, aku menepuk pipinya pelan. Ia masih terdiam kaku. Air mata mulai mengalir di pipiku. “Kau! Jangan bercanda! Ayo bangun!”, aku mengguncangkan tubuhnya lebih keras. Sia-sia. Dia masih terdiam kaku. Aku berteriak memanggil si pemukul bola. Pemukul bola itu datang dan akhirnya membawa gadis itu ke rumah sakit terdekat.
“Mira, dimana kau sekarang?”, tanya nenek khawatir di ujung telepon. Aku menyeka air mataku. “Aku, di rumah sakit nek”, jawabku. “Rumah sakit? Apa kau terluka?”, tanya nenek makin khawatir. “Ah, tidak, tidak. Bukan Mira, nek. Tapi, si anak yang melindungiku dari sebuah kecelakaan. Sekarang dia sedang ditangani oleh dokter”, jawabku sedikit sesenggukan. Nenek tampak kaget disana. “Baiklah, nenek akan kesana. Tunggu, ya!”, nenek memutus telepon. Aku menghela napas duduk di kursi tunggu sambil mengusap air mataku. Siapa kau sebenarnya?. Mengapa aku merasa kau sangat dekat denganku, padahal aku tidak tahu siapa dirimu?. Siapa kau sebenarnya?.
Dengan agak tergesa-gesa, nenek berlari kecil ke arahku. Aku yang menyadari nenek datang, langsung berdiri memeluknya. Nenek membelai kepalaku pelan. “Untunglah kau selamat. Dimana anak yang kau ceritakan itu?”, tanya nenek. Aku megusap air mataku yang sudah membasahi bajuku. “Dia.. di dalam. Aku tidak tahu siapa dia, nek. Tapi, entah mengapa ia sangat dekat denganku bahkan menolongku..”, jawabku sesenggukan. Nenek memelukku dengan lembut. Kubiarkan tangisku pecah dalam dekapannya.
Tiba-tiba, dokter keluar dari ruang periksa. Aku segera menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana, dok?”, tanyaku. DOkter itu menghela napas. “Ia.. terhantam bola dengan sangat keras. Tulang tengkoraknya retak. Dan, maaf.. ia tak bisa kami selamatkan”, jawab dokter itu pasrah. Aku terdiam menatap dokter tersebut. Mataku membelalak tak percaya. Tidak… mungkin… dia.. meninggal?. Aku menabrak dokter tersebut dan menerobos masuk ke dalam ruangan. Kulihat jasad gadis itu sudah diselimuti kain putih. Air mataku mulai mengalir. Mengapa aku menangis? Aku saja tidak mengenalnya? Tapi, mengapa hatiku terasa hancur? Padahal aku tidak tahu siapa dia?.
Aku berjalan mendekati tubuh itu. Kubuka kain yang menutupi wajahnya. Wajahnya membuatku rindu akan seseorang. Aku yakin pernah melihat wajah ini. Tapi, dimana?. Sekilas, kulihat bayangan ibu di pikiranku. Aku terdiam kaget. Mana mungkin.. mana mungkin ibu hidup kembali?. “Mira, kau jangan asal menerobos!”, seru nenek mengejarku di belakang. Ia tampak kelelahan mengejarku. Nenek berjalan mendekatiku dan jasad gadis itu. Nenek terdiam sebentar di depan jasad gadis itu. Tiba-tiba, nenek terjatuh lemas. Aku cepat-cepat menolongnya. Nenek menangis keras. Aku heran menatapnya. Apakah nenek kenal dengan gadis ini?.
Akhirnya, dokter menyuruh kami keluar ruangan. Dokter menyediakan air putih di depan. Aku mengangguk dan menuntun nenek yang masih lemas keluar ruangan. Aku membantunya duduk di kursi. Nenek masih sesenggukan. Aku menunggunya tenang. Saat nenek sudah mulai tenang, aku pun menanyakan suatu hal.
“Siapa gadis itu, nek?”, tanyaku. Nenek mengusap air matanya pelan dan membelai kepalaku lembut. Ia menatap wajahku dengan penuh kasih sayang. “Kau tahu? Ibumu dulu, sangat suka dengan gaun coklat. Ia juga suka menolong orang yang butuh bantuan. Hingga ia dijuluki penjaga kecil”, tutur nenek. Aku masih bingung. Kenapa tiba-tiba nenek bercerita tentang ibu? Kan, aku bertanya soal gadis itu, bukan ibu?. Nenek menyeka air matanya kembali.
“Kau ingin lihat foto ibumu dulu?”, tanya nenek. Aku mengangguk. Nenek mengeluarkan sebuah foto kecil dari dompetnya. Nenek menyerahkan foto itu padaku. Aku menerimanya dan melihat sebuah wajah yang tak asing di foto itu. Aku membelalak kaget. Wajah ibu dulu, sangat mirip dengan anak itu!. Aku menatap nenek kaget. Nenek mengangguk. Air mataku mulai berjatuhan. Jadi, gadis itu.. dia, ibu?. Aku menangis keras.
Ibu, walaupun dia sudah meninggal, dia masih melindungiku. Ibu, apa yang harus kulakukan?. Aku merasa bersalah tidak bersikap baik padanya. Aku memeluk nenek erat. Nenek membelai kepalaku. Nenek tahu perasaanku sekarang. Dia lah pengganti ibu.
Akhirnya, ibu kecil disemayamkan dengan layak di pemakaman dekat rumahku. Aku menatap jendela kecil di kamarku. Kulihat, burung-burung kecil terbang dengan riang di langit. Aku tersenyum. Ibu, dia pasti sudah tenang disana. Aku menghela napas. Ibu, kau tidak usah melindungiku lagi. Aku bisa menjaga diri. Yang penting, ibu harus jaga diri disana. Ibu harus tenang disana. Jangan merasa terbebani karenaku. Aku menyayangimu, ibu.
Cerpen Karangan: Dhira Lyzzah Ini cerpen yang ke… (aku lupa). Dukung terus, ya!. Cerpenku belum terlalu bagus, jadi mohon maaf atas ketidaknyamanannya!. Sekali lagi, terima kasih para pembaca!.