Kenalkan, namaku Nikolas Surya. Teman-temanku biasa memanggilku Surya. Bisa dibilang aku adalah anak yang populer di sekolahku. Ratusan prestasi yang telah kudapatkan dari perlombaan bergulat nasional maupun internasional. Selama 17 tahun aku hidup, sudah kujalani banyak suka dan duka bersama teman-temanku. Kita berpergian tiap paginya dan berpesta setiap malam. Meskipun aku adalah anak tunggal yang dibesarkan oleh seorang ibu, tidak ada memori yang spesial selama aku berada bersamanya. Keseluruhan hidupku dikelilingi sama teman-temanku dan kebetulan ibuku berjasa sebagai pemberi uang.
Aku pulang jam 2 pagi setelah berpesta di klub malam bersama teman-temanku, seperti biasa. Pintu rumah kubuka dengan harapan tak ada orang yang akan menggangguku saat aku masuk kamar tidurku. Ternyata, lampu ruang tamu masih menyala. Ibuku duduk di sofa dengan selimut dan sepertinya ia menungguku pulang.
Perkiraanku betul. “Nak, kamu dari mana saja? Ibu menunggumu dari jam 10 malam, ibu khawatir.” Sahutnya dengan terkantuk-kantuk. “Sudah jangan pusingkan aku, kenapa ibu nggak tidur? Aku sudah ngantuk jangan membuang waktuku untuk tidur.” Ujarku sambil menahan emosi. “Ibu hanya ingin bicara sebentar, karena tampaknya waktu kita berbicara sangatlah sedikit-” “Aku mau tidur! Sudah nggak usah bahas hal ini. Nggak penting!” Potongku sambil jalan masuk ke kamar tidurku. “Tapi nak-”
DAR! Kubanting pintu kamarku tanpa mendengar permohonan ibuku.
Selama 3 tahun selanjutnya, waktu yang kuhabiskan dengan ibuku berkurang. Dari awal memang sudah jarang berbicara, namun kali ini aku tidak menganggap ibuku sama sekali. Kejadian malam itu membuatku muak dengan ibuku, aku tidak ingin mendengar keluhan orangtua saat aku sudah menunjukkan prestasi bergulatku kepada dunia. Ibuku selalu berusaha mencari mukaku, tapi aku selalu membuang muka.
Dalam 3 tahun ini, aku mendapatkan beasiswa di salah satu universitas terkenal di Jakarta, tempatku lahir dan bertumbuh. Karena jarak universitas dan rumahku jauh, aku tak lagi tidur di satu atap dengan ibuku. Alangkah bahagianya diriku, jauh dari segala omelan orangtua.
Karena aku mendapatkan beasiswa untuk prestasi bergulat, tentunya selama hidupku di universitas aku masih mengikuti pertandingan bergulat. Saat ini, aku berada jauh dari Indonesia, di Tokyo, Jepang untuk bertanding di tingkat internasional. Seperti biasa aku pulang malam bersama teman-temanku dari klub malam.
KRING! KRING! Telepon kamar hotel tiba-tiba berdering pukul 3 pagi. Ada apa tiba-tiba menelepon selarut ini? Aku bangun dari ranjangku untuk mengangkat telepon tersebut.
“Siapa ini?” Tanyaku. “S-Surya, aku minta maaf..” Tangis Rori, kawan lamaku yang tinggal di Jakarta untuk menemani ibuku di rumah. “Ngapain minta maaf? Ada apa?” Tanyaku dengan bingung. “Ibumu Sur..” “Kenapa ibuku?” “Meninggal 10 menit yang lalu.”
Hatiku jatuh. Seakan-akan jantungku berhenti berdetak. Tubuhku lemas namun tidak dapat bergerak, kaku bagaikan patung. Ibu meninggal? Nafasku tersengal-sengal karena aku tak mampu mempercayai kenyataan ini. Aku tidak ingin percaya. Tidak ingin!
“Makasih Ri.” Ujarku lembut sambil menutup telepon. Aku tidak ingin mendengarnya lagi.
Aku lari keluar hotel, ke tengah jalan kosong pukul 3 pagi. Aku paksa kakiku berlari tanpa henti hingga tubuhku tak kuat lagi. Aku berhenti untuk mengambil napas. Jalanan begitu sunyi, yang dapat kudengar hanya detak jantungku yang masih berdetak. Sedangkan ibuku tidak.
“AAAAAHHHH!” Teriakku. Aku berteriak sekencang mungkin, rasanya ingin membunuh semua yang ada di hadapanku. Hatiku hancur, begitu sakit setiap kali berdetak. Dari situ aku sadar, bahwa tak akan ada yang dapat membangkitkan ibuku dari kematiannya. Begitu bodohnya perilakuku berteriak di tengah jalanan kosong.
Seketika juga, rasa penyesalan yang besar membanjiri seluruh tubuhku. Kakiku berlutut lemas di tengah jalan. Air mata bagaikan air terjun jatuh membanjiri mukaku. Aku menangis, karena aku tidak pernah memberi waktu untuk ibuku yang telah memberikan seluruh hidupnya untuk membesarkanku. Aku menangis karena tidak bisa menjadi anak yang pengertian untuk ibuku yang sudah mengucurkan kerja kerasnya demi masa depanku. Begitu banyak hal yang berjasa telah ia lakukan, dan ia tidak pernah meminta apa-apa dariku. Satu-satunya yang ia minta adalah, waktuku untuknya. Aku gagal untuk memberi sejumput waktu untuk ibuku.
Aku baru sadar apabila aku bisa berdiri disini dengan banyak prestasi karena usahaku ibuku sendiri, yang telah membesarkan aku dengan cinta yang begitu tulus untuk diriku. Memang betul peribahasa, cinta anak sepanjang bambu namun cinta ibu sepanjang jalan. Cintanya yang begitu besar untuk diriku, namun tak pernah aku syukuri.
Aku tidak pantas menangisi kematian ibuku. Menangis tidak akan mengubah apa-apa. Aku putuskan, untuk mengubah diriku. Aku tak mau orang lain mengalami penyesalan yang datang terlambat. Aku ingin anak-anak sepertiku mampu mensyukuri adanya cinta yang orangtua berikan kepada anak-anaknya.
Aku berjalan balik ke hotel dan tertidur, bertemu dengan ibuku untuk terakhir kalinya di dalam mimpiku.
Aku balik ke Jakarta, ke rumah ibuku untuk mengurusi barang-barang ibuku yang tersisa. Keputusanku sudah bulat, untuk mengubah diriku dan orang lain menjadi orang yang mampu memprioritaskan keluarga dari yang lain. Karena saat teman-temanmu meninggalkanmu, satu-satunya orang yang masih berada di sisimu hanyalah orangtuamu, seperti ibuku.
Terima kasih ibu, maafkan anakmu yang berdosa ini. Terima kasih karena telah memberikan kasih yang begitu besar untukku, meski aku tidak pernah menyadarinya. Kuharap ibu tinggal dengan tenang di atas sana. Terima kasih ibu.
Cerpen Karangan: Nadia Iman Instagram: @nadiaiiman Halo, ini cerpen resmi pertamaku. Terima kasih ya sudah luangkan waktu untuk membaca cerpenku. Maaf kalo tidak sesuai dengan harapan pembaca ya. Terima kasih sekali lagi.