Seorang wanita paruh baya yang saat ini sedang duduk tak jauh dariku sedang tersenyum melihatku menggunakan busana yang diidam-idamkan setiap Ibu kepada anak perempuannya. “Sah?” “SAH!!!” “Alhamdulillah” Dengan mengeluarkan air mata bahagia akhirnya perjuangannya selama ini terpenuhi.
Aku yang hanya memiliki seorang Ibu karena Ayahku telah tiada saat aku berusia 12 tahun. Saat itu Ibu benar-benar mendidikku sendiri, menjadikanku sebagai wanita yang alim, baik dan tidak terjerumus ke dalam pergaulan maksiat. Walaupun aku hidup tanpa sesosok Ayah yang mendidik tapi aku tak pernah merasa kekurangan kasih sayang.
“Sesi selanjutnya adalah sungkeman dengan orangtua lelaki dan wanita” Seru mc pernikahannya. Saat sungkeman dengan Ibu rasanya air mata ini tak dapat dibendung mengingat kerja kerasnya selama ini. Aku jadi teringat saat pertama kali disuruh Ibu membersihkan rumah dan mencuci piring. Berkat itu sekarang Aku jadi rajin dalam membersihkan rumah…
“Syfa sini nak!, Ibu mau bicara sesuatu sama kamu” seru Ibu dari depan pintu. Meninggalkan temanku yang masih asyik bermain, akupun cepat cepat berlari menuju Ibuku. Saat itu usiaku menginjak 13 tahun. “Ada apa Bu” tanyaku polos. “Ibu mau kerja dulu ya, kamu cuci piring sama beresin rumah ya, tau kan caranya udah Ibu ajarin waktu itu” ucap Ibu dengan suaranya yang lembut. “Tapi kan ini hari minggu Bu” keluhku sambil bertanya. “Ibu harus kerja nak, kan buat jajan kamu juga, buat biaya sekolah kamu. Kalo bukan Ibu yang nyari duit siapa lagi.” jelas Ibu dengan lembut. “Oh iyaya, ya udah aku masuk dulu ya, Ibu hati hati” ucapku… Saat itu aku masih polos, belum tau apa apa, sebagai anak smp yang ngertinya cuma main saja, tapi dengan cara ibu berkata itu dapat menggugah hatiku.
Saat sungkeman Aku mendegar bisikan Ibu sambil menangis. “Jadi istri yang baik ya nak, jangan lupain Ibu, sering sering berkunjung ke rumah. Sepi rumah tanpa kamu” seketika ucapan Ibu membuatku semakin tersedu-sedu, aku tak mampu membalas ucapannya karena sudah tak sanggup lagi. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala pertanda bahwa aku mengerti. “Jangan nakal-nakal disana ya anak kecil Ibu” Ibu langsung memelukku erat seolah-olah tidak mau berpisah denganku. Teringat saat aku mulai bandel dan nakal saat SMA kelas 2…
“Syfa kamu gimana sih nilai rapornya bisa turun gini” bentak Ibu padaku. “Cape bu belajar mulu, aku juga mau main-main” ucapku sepeleh. “Ibu udah cape cape biayain kamu les ke tempat yang bagus tapi kamu selalu bolos dan ga datang, kenapa kamu kayak gini Syifa..” ucap Ibu dengan nada gemetar. “Udah ah Ibu aku cape!” saat itu pertama kalinya aku membentaknya, membentak sosok bidadari lembut, saat itu aku terkena pengaruh buruk oleh temanku karena Ayahku yang telah tiada. Aku dijauhi oleh mereka karena tidak tau dimana Ayahku berada, padahal sudah jelas aku katakan bahwa Ayahku sudah meninggal tapi mereka tidak percaya.
Pagi harinya saat aku bangun dan berjalan menuju dapur aku melihat Ibuku sudah tergeletak di lantai dengan masih menggunakan celemek dan kompor belum dimatikan, seketika aku panik. “Ibu!!!” seruku panik. “Ibu bangun, maafin Syifa kemaren udah bentak Ibu, Ibu bangun jangan tinggalin Syifa, Syifa sayang sama Ibu” teriakku sambil berlinang air mataku, warga yang lewat depan rumahku masuk ke dalam dan membantuku untuk membawanya ke rumah sakit.
Aku menunggu dengan gelisah di depan ruang IGD dengan harapan tidak terjadi apa-apa pada Ibuku. Beliau satu-satunya yang aku punyai. Dokter akhirnya keluar dan mengatakan bahwa Ibuku hanya kelelahan dan kebanyakan pikiran.
Dengan segera aku masuk ke ruangan dimana tempat Ibu dirawat. “Ibu, Ibu gapapa kan” tanyaku sambil memegang tangan Ibu, namun Ibu mengalihkan pandangannya dariku. “Ibu masih marah ya ama aku kemarin maafin aku Bu, kemarin aku lagi cape kesel” jelasku. “Tapi gak seharusnya seorang anak membentak Ibu kandungnya dengan perkataan kasar, kamu kemarin ada masalah apa?” tanya Ibuku dengan nada kesal. “Ibu, aku kesel ama temenku, mereka selalu bertanya dimana Ayahku, aku.. aku udah bilang kalo Ayah udah.. meninggal.. hiks tapi mereka ga percaya, mereka terus ngeledek aku, kalo aku anak yang ga punya Ayah.. hiks.. hiks maka dari itu ak..aku gak mau masuk kelas, sering bolos karena aku cape sama mereka yang selalu meledekku bu” curhatku sambil menangis. Ibu yang melihatku mengelus-eluskan tangannya ke rambutku. “Ya ampun nak, maafin Ibu, Ibu ga tau kalo penderitaan ini kamu tanggung selama beberapa minggu, nanti Ibu ke sekolah kamu, biar Ibu jelasin ke temenmu yang suka ngeledekkin kamu itu” ucap Ibu dengan nada kesal dan langsung memeluk kepalaku di dadanya.
Esoknya Ibu ke sekolahan dan benar saja dia menemui temanku yang selalu meledekku, dengan terharu aku melihat bahwa Ibu benar-benar wanita pemberani… Dari situ aku menyimpulkan bahwa Ibu adalah pahlawan sejatiku bahkan sampai saat ini, saat aku sudah sebesar ini beliau tetap saja menjagaku seperti pahlawan. Aku bangga mempunyai wanita paruh baya yang penyayang dan pekerja keras.
“Ibnu jaga Syifa ya, anggap dia sebagai teman hidupmu dan ingetin dia kalo salah, tolong bimbing anak semata wayang Ibu ya, jangan lupa sering sering berkunjung ke rumah Ibu” nasehat Ibu pada suami sah ku saat sungkeman. Setelah selesai Acara pernikahanku, Ibu menghampiriku dan memberikanku sebuah liontin berbentuk love yang isinya adalah foto Ibu dan Alm. Ayahku. Aku terharu. “Jaga liontin ini ya nak, tetap inget Ibu dan Alm. Ayahmu, jangan segan-segan kalo mau main ke rumah ya, Ibu mau cucu dari kalian” ucap Ibu dengan senyuman lalu pergi. “Ibu!” seruku sambil berlari menujunya. “Terimakasih sudah menjadi pahlawan dalam hidupku, engkau adalah Ibu yang terbaik di dunia ini. Love youu muachhh, besok aku ke rumah Ibu ya, tunggu akuu” ucapku sambil memeluk Ibu dan menciumnya. “Iya baik-baik ya, Ibu pamit pulang” ucap Ibu. “Dianterin aja Bu sama mas Ibnu” seruku “Ga usah nak, kasian dia cape” “Gapapa kok Bu, ayoo saya anterin” suara berat itu datang diantara Aku dan Ibu, ya Mas Ibnu yang sekarang sah menjadi Suamiku.
Saat dalam mobil kami bertiga sama sama flashback tentang perjuangan mas Ibnu dalam mendapatkan saya. Ya, karena waktu itu Ibu mengajukan beberapa syarat, khususnya saat syarat kedua yaitu harus bisa bela diri, sedangkan Mas Ibnu tidak bisa. Butuh latihan beberapa bulan dan akhirnya Mas Ibnu bisa bela diri. Lebih terkejutnya aku ternyata Ibu sendiri yang menguji sejauh mana ilmu bela diri Mas Ibnu. Selama ini aku tidak tau bahwa Ibu bisa bela diri. Alhamdulillah Mas Ibnu dapat melengkapkan syarat-syarat dari Ibu.
Sepulang dari mengantarkan Ibu, tinggal kami berdua dalam mobil. “Ibu kamu hebat, kamu beruntung punya pahlawan sejati, dan aku beruntung mendapatkan anak dari seorang pahlawan sejati” Ucap Mas Ibnu yang membuatku tersipu malu.
Cerpen Karangan: Wayau Utami Blog / Facebook: Wahyu Stya Utami Assalamualaikum, perkenalkan saya biasa dipanggil wayau. Saat ini saya menjadi maba di salah satu Institut di Indonesia. Setelah lama vacum menulis, saya mencoba memulai hobi lamaku ini.