Aku masih saja berdiri di samping tukang penjual es krim keliling di taman. Menunggu es krim pesananku. Aku terdiam mengamati keadaan sekitar. Anak-anak bermain di taman itu bersama ibunya. Aku tak ingat, kapan terakhir kali aku melakukan hal yang sama seperti mereka. Jari tangan ini tak akan cukup untuk menghitungnya. Aku melangkah sedikit menjauh dari penjual es krim setelah pesananku datang, duduk di sebuah bangku taman dengan ukiran-ukiran di bagian sandarannya. Aku menyadari, warna bangku ini semakin pudar, sejak dulu saat aku pertama kali menduduki bangku ini.
Waktu terus berjalan. Es krimku sudah habis. Aku masih ada di sini, meangkat tangan kiriku. Sudah satu jam aku duduk di bangku ini. Bangku yang tak pernah protes meski berkali-kali aku mendudukinya hanya untuk menunggu hal yang tak pasti. Mama. Setiap hari aku duduk di sini hanya untuk menunggu mama.
Saat itu, aku masih mengenakan baju seragam merah putih, lengkap dengan dasi, topi, sepatu, juga tas gendong di punggungku. Semuanya masih tampak seperti biasa. Tapi hari itu, adalah awal dari semua kejadian mengerikan yang pada akhirnya terus menghantuiku hingga detik ini.
Aku keluar gerbang sekolah. Mama belum datang. Aku berjalan ke taman, tempat di mana aku biasa menunggu mama sambil membeli jajanan ketika mama belum datang. Aku mengeluarkan uang dari dalam saku untuk membeli somay. Mama belum juga datang sampai somayku habis. Aku terduduk di bangku yang sama seperti saat ini. Sampai seseorang memanggilku dari belakang. Aku kira itu mama. Tapi saat aku menoleh… “Tante Rosma?”. Tante Rosma adalah asisten papa di kantor. Dia pernah datang ke rumah. Aku heran. Mengapa justru tante Rosma yang datang? “Mama kamu sedang ada urusan penting. Makanya, papa kamu nyuruh tante buat jemput kamu. Ayo kita pulang!”. Awalnya aku ragu. Tapi pada akhirnya aku mengikuti ajakan tante Rosma.
Semenjak saat itu, aku merasa semuanya berubah. Mama tak pernah pulang ke rumah. Setiap aku tanya papa, jawaban papa selalu sama seperti kata tante Rosma. Papa bilang, suatu saat mama pasti akan pulang. Aku mencoba percaya. Tapi, kepercayaanku hilang, saat aku menyaksikan papa mengikat janji suci dengan tante Rosma melalui sebuah pernikahan. Aku memang masih kecil, bahkan usiaku belum genap sepuluh tahun. Tapi semenjak saat itu, aku tahu, mama tak akan pernah kembali lagi ke rumah ini.
Keluargaku bukan seperti keluarga teman-temanku lainnya. Keluargaku lebih ‘istimewa’. Aku tak pernah dekat lagi dengan papa. Papa selalu sibuk, jarang ada di rumah. Pun dengan tante Rosma. Aku tak pernah mau memanggil tante Rosma dengan ‘mama’, karena mama tak akan pernah tergantikan dengan siapa pun.
Aku selalu menunggu kedatangan mama di sini, di taman ini, di bangku ini. Dari dulu hingga sekarang. Dengan satu harapan, mama akan datang menjemputku. Tapi tetap nihil. Mama tak pernah datang.
Aku kembali mengangkat tangan kiriku. Sudah hampir dua jam. Aku hanya punya waktu dua jam untuk menunggu mama, sebelum aku harus kuliah dan bekerja menjaga sebuah toko kue. Kuambil tasku, dan beranjak pergi. Handphoneku berbunyi. Ada teman mengirim pesan padaku. Dengan menyeberangi jalan, aku membalas pesan itu. Tanpa kusadari, sebuah klakson mobil terdengar begitu keras ke arahku. Setelah itu semuanya menjadi gelap, tanpa cahaya.
Aku membuka mata, mengamati keadaan sekitar. Ini di rumah sakit. Aku merasa sedikit pusing, kemudian memegangi kepala yang ternyata dibalut perban. Tak ada siapa-siapa di sini, selain aku terbaring di atas ranjang. Dari kaca jendela, terlihat seorang wanita tengah berbicara dengan seorang dokter lelaki. Siapa dia? Apa dia yang menyebabkan aku berada di rumah sakit ini?.
Tak lama kemudian dokter itu pergi, dan wanita itu mulai masuk ke kamarku. Aku memperhatikannya baik-baik. Ia menutup pintu, lalu berjalan dan memandang ke arahku. Aku terdiam, mataku berkaca-kaca. Aku sangat mengenali wanita itu. Wanita yang dari dulu aku rindukan kehadirannya. Mama. Air mataku tak dapat lagi dibendung. Setelah sekian lama aku menunggu mama untuk menjemputku, sekarang mama ada di sini, di hadapanku.
“Mama? Aku rindu mama.”. “Mama?” tanyanya balik. Apa mama tak tahu jika aku putrinya? Apa mama tak mengenaliku? Aku takut mama melupakanku.
Tiba-tiba mama tersenyum. “Bercanda. Tentu mama juga rindu sama Alisha, anak mama yang paling cantik.” mama memelukku. Aku tersenyum. Rupanya, papa pernah mengirimkan fotoku ke mama waktu aku berulang tahun beberapa tahun yang lalu. Setelah lebih dari sepuluh tahun aku menunggu, akhirnya mama menjemputku. Aku sangat bahagia.
Cerpen Karangan: Ria Puspita Dewi Blog / Facebook: Elfa Ria Puspita