Suara adzan mengalun indah, memanggil hamba Allah untuk menjalankan kewajibannya yaitu sholat subuh. Sejenak sang surya menampakkan cahaya terangnya. Suara kokok ayam dan kicauan burung memeriahkan suasana pagi itu, suasana yang indah untuk mengawali sebuah perjalanan kehidupan.
Hidup itu sebuah dramatisme atau cerita yang tak ada habisnya sebelum hembusan nafas terakhir. Penuh dengan suka cita dan duka nestapa. Hidup itu seperti halnya sebuah lilin yang akan habis sumbunya karena kita bakar.
“enggak kerja, Nduk?” Suara Mamak mengagetkanku yang tengah duduk dikuasai, menatap keluar kamar dari jendela yang telah kubuka. Mamak mendekatiku. “Nanti, Mak. Ini mau mandi dulu.” Jawabku. “Yaudah, Mamak berangkat ke ladang dulu ya. Nanti bangunkan dedekmu.” “iya Mak. Hati-hati ya Mak.” Kataku seraya tersenyum. Mamak menjawab dengan anggukan. Tubuh kurusnya menghilang dibalik pintu.Aku bergegas bangkit untuk mandi, berganti pakaian lalu membangunkan dedekku yang kini duduk di bangku kelas 6 SD.
“Dedek, bangun. Sudah siang.” Pelan suaraku seraya mengelus lembut rambut Dedek. Dan perlahan Dedek membuka kedua matanya kemudian tersenyum padaku. “Selamat pagi, kak.” Samanya. Aku hanya menganggukkan kepala dan tersenyum. Lantas Dedek bergegas mandi dan berganti pakaian seragamnya. Setelah kami sarapan bersama, kemudian kami berangkat ke aktivitas masing-masing.
Aku terbiasa mengantar Dedek untuk ke sekolah, kemudian aku berangkat ke tempat kerjaku. Sebuah toko sembako yang berada diantara sekian banyak toko yang berjejer di pinggir jalan. Pekerjaan sebagai karyawan toko tidaklah menuntut pendidikan yang tinggi, jadi beruntunglah aku yang hanya lulusan smp. Aku nekat kerja lantaran tak ada uang masuk dalam kehidupanku selain uang hasil ladang yang digarap Mamak. Itupun kalau berhasil, kalau tidak? kami berdua hanya makan nasi pada waktu pagi hariuntuk menambah energi, siang dan sorenya kadang tidak makan apapun. Namun bagi Dedek, Mamak tetap memperhatikan asupan gizinya. Meskipun dulu Mamak tidak pernah mencicipi pendidikan di bangku sekolah, tapi Mamak bukanlah wanita kampung yang bodoh. Bahkan Mamaklah guruku yang mengajariku tentang kehidupan dan pelajaran sekolah hingga aku dapat menyelesaikan studi Smpku.
Hari ini aku cukup lelah. Pekerjaan di toko sungguh menguras tenagaku. Banyak sekali pelanggan yang berbelanja. Aku bersyukur karena dengan begitu uang jajanku bertambah dan aku tak perlu mengutak-atik gaji bulananku. Dengan uang tambahanku ini, aku bisa membelikan lauk buat makan malam Mamak dan Dedek. Bisa menyisakan sedikit uang untuk berobat Mamak yang semakin hari batuknya semakin parah, bahkan kini mulai mengeluarkan bercak darah. Aku melihat ketika Mamak terbatuk di depan tungku dapur dan aku di belakangnya, berpura-pura tidak melihat dan tidak tahu menahu. Aku tak berani menegur Mamak karena Mamak akan selalu terlihat baik-baik saja di depan anak-anaknya.
“Assalamualaikum” “Waalaikumsalam, kok sampai sore sekali Nduk?” tanya Mamak. Terlihat gurat kekhawatiran dijajah tuanya. Kucium tangannya seraya menjawab pertanyaannya “iya Mak. Tadi rame banget ditoko. Oh iya, Dedek mana? ini Ifa beli lauk untuk makan malam kita.” “Dedek lagi belajar dikabarkan.” Jawabku mamak.
“Kak ifaaaa.. dedek datang.. huuum beli lauk apaa?” tanya Sarah, Dedekku. “Ayo tebaakk.. Lauk apaa?” “Waahhh ayam goreng.. Sarah suka kak. Ayo Mak kita makaan” kata Sarah seraya membawa bungkusan lauk ke ruang tengah dimana kami biasa gunakan untuk makan dan bersantai.
“Nduk, alangkah baiknya kalau uangmu ditabung, jangan terlalu sering membeli lauk pauk yang mewah, kita kan masih bisa makan dengan tahu dan tempe serta sayuran dari kebun.” Nasihat Mamak seraya berjalan mensejajariku masuk ke dalam mengikuti Sarah. Aku hanya menganggukkan serta tersenyum semanis mungkin.
“hmmm… enak sekali kak, kak Ifa kok tahu sih kalau Dedek lagi kepengen maem sama lauk ayam.” kata Dedek seraya menyantap makanan. “Dedek… ingat tidak, kalau maem tidak boleh sambil bicara, sayang.” tegur Mamak dengan senyuman, Dedek tersenyum kemudian menganggukkan kepala.
Selesai makan, aku bergegas membersihkan diri kemudian sholat isya bersama Mamak dan Dedek. Untung tadi aku sholat maghrib ditoko.
Aku mendekati Mamak yang sedang melipat pakaian. “Mak, apakah batuk mMamak sudah mendingan?” Tanyaku khawatir. Mamak tersenyum. Senyum yang hambar bagiku. “Mamak tidak apa-apa, Nduk.” “Tapi Ifa pengen Mamak periksa. Ifa takut batuk mamak semakin parah. Ini Ifa ada rezeki, lumayan buat nambah biaya periksa Mamak.” kataku seraya menyodorkan uang kepada Mamak. Mamak menatapku tajam. Lama sekali. Aku menunduk. Kami sama-sama terdiam cukup lama. Kulirik Mamak, Beliau masih menatapku sayu, dan kini terlihat genangan air di mata tuanya. Tak secuil pun mamak sentuh uang yang aku berikan. Aku takut, aku gemetar, Mamak tiba-tiba bersuara, tangannya menyodorkan uang itu kembali kepadaku, kegenggamana tanganku. Seraya berkata bijak padaku, “Nduk, hidup itu butuh pendidikan, ibarat kata, ketika kamu dituangkan yang gelap maka kamu butuh lentera buat memerangimu. Mamak tau, meski sedikit tapi kamu sudah memiliki lentera buat hidupmu. Namun alangkah lebih baiknya kalau uang ini kamu simpan, kamu tabung biar tahun depan dapat melanjutkan sekolah. Mamak yakin kamu bisa Nduk, jangan risaukan Mamak.” kata Mamak, beliau berhenti berkata, menarik nafas dalam, sementara aku masih menundukkan kepala hingga beliau meneruskan dhawuhnya. “Mamak tahu kalau kamu sebenarnya melihat ketika Mamak terbatuk dan mengeluarkan bercak darah, tapi percayalah Nduk, Mamak tidak apa-apa. Kamu simpan uang ini dan kamu tabung buat sekolah. Bahagiakan Mak dengan prestasimu.” Mamak mengakhiri ucapannya seraya memelukku erat. Tangis kami pecah. “Ifa pengen besok Mamak periksa ke Puskesmas. Ifa masih punya tabungan, Mak.” Lirih suaraku, bergetar. Kami sama-sama menangis. Kurasakan Mamak mengangguk pelan.
Tiba-tiba suara Dedek menyela tangisan kami, “Kak Ifaaaa.. Dedek pengen punya krayon buat mewarnai gambar ini.” kata Dedek seraya menunjukkan gambar beruangnya. Indah sekalii. “Iya Dek, Waahhh gambarnya cantikk sekalii.. besok Kakak belikan krayon yaa, sana Dedek belajar lagi.” “iya kak, terimakasih Cantikk” katanya tersenyum manja.
—
“Mak, Ifa berangkat kerja ya, Mamak benar bisa periksa sendiri?” “Iya, Nduk. Nanti Mamak bisa naik becak. Sudah sana kamu berangkat.” “Iya Mak. Assalamualaikum” “Waalaikumsalam” Kulangkahkan kakiku keluar rumah. Hari ini sangat cerah. Semoga banyak pelanggan lagi, batinku Lirih. Kukayuh sepeda cepat-cepat menuju sekolah Dedekku, lalu beralih ke toko.
Alhamdulillah hari ini cukup ramai meski tak seperti kemarin. Namun perasaanku enggak enak. Tiba-tiba aku teringat Mamak. Ahh.. bayangan Mamak melintas di fikiranku. Aku langsung meminta izin untuk pulang lebih awal, bersyukur karena sang pemilik toko kenal baik dengan keluargaku dan yaa memang baik.
Mendekati lorong kecil menuju rumahku, hatiku semakin cemas. Dari kejauhan terlihat orang-orang ramai di depan rumahku. Kukayuh sepeda semakin cepat. Semakin dekat semakin tak karuan rasanya. Kusenderkan sepedaku segera ketika sayup-sayup kudengar isak tangis Dedekku dan suara orang yang melafalkan surat yasin.
Aku menyeruak masuk di kerumunan orang-orang yang bertakziah. orang-orang memberiku jalan untuk masuk. “Sabar ya Fa.. Kamu harus tabah dan kuat.” Kata Bu Suci menjemputku seraya menahan isak tangisnya. “Mamak, bu.. apakah ituu Mamak?” Mataku panas.. kurasakan sungai kecil telah tercipta disana. Kulihat anggukan Bu Suci, dan segera aku menyeruak dan kupeluk erat jasat Mamak yang terbujur kaku di dipan. Dedek memelukku dari belakang. Kurasakan rembesan air mata dedek mengenai pakaianku hingga kulit punggungku. “Mamak kak.. Mamak meninggalkan kita” Kupalingkan wajahku, memeluk dedek. tak tahan rasanya melihat mendung di wajah ayunya. “Tenang dek.. Sabar.. Masih ada kakak. Ikhlaskan Mamak.”
Dengan sigap para tetangga membantu prosesi pemakaman Mamak. Kini rumah itu lengang. Hilang Lentera, Mamak tiada. Hanya aku dan Dedek, berdua menempati rumah kecil itu. Duhaiiii… kenapa dunia tidak berbelas kasih… kenapa dua anak kecil ini harus ditinggal sang pelidungnya.. kepada siapa gerangan mereka akan menyadarkan diri mereka untuk mengais kasih sayang?… Duhaiii.. apakah tidak boleh kami menawar usia kami tuhan.. agar kami selalu bersama Mamak hingga kami mampu membahagiakan Mamak.
“Kak, Dedek lapar. Dedek pengen maem.” “Dedek bisa mengambil sendiri, kan?” “Di dapur tak ada makanan lagi, kak. Sudah habis kemarin sore.” “Astagfirullah, berarti sejak pagi dedek tidak makan apa-apa?” Tanyaku kaget. Dedek hanya menggeleng lemah. Kurasakan pipiku membasah.
“Kakak kenapa menangis? maafin Dedek kalau Dedek sudah mengganggu kakak.” Aku menggeleng. “Maafin Kakak ya Dek.. Kakak telah melalaikan Dedek. Kakak tidak memperhatikan Dedek.” “Sudahlah kak, dedek tidak apa-apa kok. Seharusnya Kakak juga jangan melalaikan diri kakak. Tuh lihat, Kakak jadi kurus kayak lidi. kerjaan kakak hanya di kamaar mulu. Gak mau makanlah.. kan kasian cacing di perut kakak, gak ada asupan gizi yang masuk.. hehe” katanya tersenyum. Kutemukan erat dedek. kukecup ubun-ubunnya. “Dedek beli nasi ke warung ya, ini uangnya” “Baik, bos. hehe..” Dedek tersenyum, aku pun tersenyum. Dedek meninggalkanku sendiri.
“Kak, makan yaa.. Aku siapin. Biar kakak bisa gemuk kayak dulu lagi. biar kakak sehat. Buat berfikir dan bersedih juga butuh tenaga loh kak.. hehe” Aku tersenyum mendengar gurau dedekku. akupun menuruti Dedekku. Aku menjerit dalam hati. Seharusnya bukan aku yang disuapin. Tapi Dedek lah yang aku suapin. Tak terasa air mata telah menyeruak membasahi pipi.
“Dek, Kakak perhatikan dedek kok enggak pernah berangkat sekolah sih.” Tanyaku suatu hari. Ini memasuki minggu ke empat sejak Mamak tiada dan selama itu pula aku baru keluar kamar dan duduk diberantas rumah menikmati seminar angin segar bersama Dedek, tepat sehari setelah bos tokoku datang dan memintaku kembali bekerja. “Alhamdulillah, Kakak sudah bisa bangun ya.. Sudah sehat?” “iya dek, Alhamdulillah. jawab pertanyaan Kakak dek, Apa karena Dedek merawat Kakak jadi enggak bisa berangkat sekolah?” Tanyaku. Dedek bungkam. Pandangannya menunduk, Kakinya berayun-ayun. Lama sekali dedek terdiam.
“Dek, Sekolah itu penting loh. Dedek harus sekolah biar pintar biar bisa menggapai cita-cita dedek, biar bisa sukses dan membuat bangga Mamak dan Ayah.” kataku. Dedek hanya diam menunduk semakin dalam. Kulihat tetesan air jatuh ke lantai semen rumah. “Dedek kenapa? kenapa nangis? Cerita sama kakak.” pintaku.
Perlahan dedek memandangku. “Kak, Maafin dedek enggak bisa bahagiain kakak. Dedek…” Kutunggu kelanjutan katanya. kutunggu dedekku menjelaskan perihal ini dengan sekuat tenaga membendung air mataku yang siap tumpah. “Dedek sudah tidak diizinkan masuk sekolah oleh bu guru. Sudah enam bulan ini biaya sekolah dedek tidak dibayar kak. Tau sendirilah penghasilan mamak dari kebun hanya cukup untuk biaya makan kita. Mamak selalu mengatakan kepada kakak kalau Mamak sudah membayar agar kakak bisa menabung buat sekolah kakak. Mamak ingin kakak mewujudkan impian kakak.” Aku terpaku. Bagai tergambar petir disidangkan hari ketika mendengar penuturan dedekku. “Seminggu yang lalu, aku juga mendapat surat peringatan kedua dari sekolah. Dan sejak itulah dedek tidak masuk sekolah sampai minggu depan. Jika minggu depan Dedek bisa membayar biaya sekolah maka dedek boleh berangkat lagi ke sekolah jika tidak maka dedek didrop out dari sekolah. Maafin dedek ya kak.. maafin dedek..”
Kutemukan dedek. Tangisku pecah. “Bukan salah kamu dek, Bukan salahmu. Ini salah kakak yang tak menghiraukanmu. Besok kakak akan ke sekolah dan kakak janji akan melunasinya agar dedek bisa sekolah lagi dan bisa menggapai impianmu.” “Jangan kak. itu untuk biaya masuk sekolah kakak tahun depan.” “Besok dedek akan tetap sekolah dan kakak janji, kakak akan berusaha agar tahun depan kakak masuk sekolah. kita akan sama-sama sekolah dan menggapai impian kita. mewujudkan harapan Mamak dan Ayah.” Jawabku tegas dan penuh semangat. “Terimakasih kak, terimakasih. Terimakasih Ayah, terimakasih Mamak, yang telah memberikan kakak sebaik kak Ifa, terimakasih ya Alloh yang telah menciptakan dan menghadirkan Kak Ifa untukku.”
Mataku dedek berbinar. Dedek memelukku erat seperti tak ingin melepaskan. Kuala pelukan itu.
Sejak saat itu, Aku kumpulkan kekuatan, tekad, semangat, dan cinta Lillah untuk melangkah bersama Dedekku, menapaki jalan kehidupan meski penuh dengan onak dan duri untuk meniti masa depan yang indah. Karena dedekku permataku. Maafkan aku dindha, maafkan aku yang pernah melalaikanmu.
Cerpen Karangan: Mufidatul Qiroati Blog / Facebook: Ukhtiy Qiiy