Malam yang dingin dengan hebusan angin yang membuat daun menari, diiringi alunan suara gemricik air sungai yang mengalir deras dan bunyi dentuman hewan hewan. Ku sendiri menatap handphone Huawei milikku sendiri, Dengan dibanderol harga yang relatif murah yaitu Rp. 500.000 yang kubeli dari hasil keringatku sendiri. Kutatap dan kuketik beberapa kata untuk menemani disetiap detik malamku.
Perkenalkan namaku Andrianto berumur 20 Tahun berbadan tegap dengan tinggi badan 170 CM serta berat badan 55 Kg, Berasal dari desa terpencil di kota Purwokerto.
Di ruangan kamar yang kecil ini hanya berukuran Lebar 2,5 M X 2,5 M ini aku tidur tertelungkup, dengan rasa tak nyaman, Karena menahan rasa sakit memar yang kudapat tadi pagi. Dengan luka memar dibagian kaki, punggung, dagu, serta di tangan. Luka yang membuat aku benci akan keluargaku sendiri. Mereka semua hanya memikirkan harta yang tak seberapa serta meributkan hal sepele yang tak ada artinya.
Aku ingat betul peristiwa tadi pagi, tepatnya jam 7 pagi di rumah nenekku. Disaat itu aku barulah bangun tidur, tanpa sadar sebuah ocehan dari mulut bibir ibuku terdengar sampai ke telingaku. Beliau menuduhku mengambil emas berbentuk cincin bermotif bungan miliknya yang hilang entah kemana. Aku pun masih bisa bersifat wajar, kujawab denga halus “Saya tidak tahu bu” jawabku. Bahkan tak sampai habisnya mulut ibuku mengeluarkan caci maki terhadapku agar aku mengaku. Lagi-Lagi aku menjawab “Aku tidak tau bu” jawabku tegas. Ibuku tak percaya atas semua perkataanku malah dengan lantangnya berkata kepadaku “Kamu berani disumpah pocong kalo kamu tidak mengambil?” Tanya ibuku. Serentak dengan hati yang agak emosi karena perkataan tadi aku pun dengan tegas menjawab “Ya aku berani melakukan sumpah itu” Karena aku sangatlah kesal dituduh dengan semena-mena tanpa ada bukti yang nyata dan bukan atas kesalahanku sendiri. Berakhirlah kata-kata itu tanpa ada tindakan dari beliau.
Kusibukkan dengan dengan baca chatting dengan rileks di hpku. tak lama dengan seiring waktu aku dipukul meggunakan sapu oleh omku (adik ibuku). Seketika diriku pun jatuh terkujur di lantai beralaskan keramik sambungan kamarku itu. Dengan rasa kesal dan emosi yang menjadi nafsu aku melawan beliau, Namun apa boleh buat alhasil aku pun tak mampu mengimbangi kekuatan fisik milik omku karena badanku yang kurus beradu melawan tubuh besar omku. Dengan pukulan kasar yang menjalar dari tubuh bagian kepala hingga kaki kurasakan dengan sakit yang begitu perih hingga merasuk kedalam tulang belulangku. Dipukulilah aku menggunakan tangan kasarna, dicekek leherku, dipukuli kakiku menggunaka sapu sampai patah pegangan sapu tersebut. Apalah daya aku hanya bisa menutupi bagian kepala, muka, dan perut saja yang dapat aku lindungi, dengan ganasnya dia memukuliku sampai tak ada seorang pun yang menolongku.
Bahkan ibu kandungku hanya berdiri menyaksikan seorang anak kandungnya dipukuli di depannya tanpa melindunginya. Hingga keluarlah ucapan tegas dari mulut omku “Enyahlah kau dari rumah ini dan jangan pernah kembali lagi, Aku sudah memendam rasa marah ini dari dulu!!!” aku pun hanya menjawab “Ya aku akan keluar secepatnya dari rumah ini” dengan suara yang gemetar bercampur tangis sengsara serta badan yang memar di sekitar beberapa bagian tubuh, lalu aku pun beranjak pergi kekamarku dan merapikan baju yang akan aku bawa.
Kumasukan satu persatu bajuku, barang-barang yang aku perlukan seiringan dengan ibu yang sedang mencari ulang emas di lemarinya. Alhasil tak lama kemudian hanya membutuhkan waktu 12 menit 47 detik aku pun selesai membereskan bajuku seiringan dengan ketemunya emas milik ibuku di lemarinya sendiri. Beliau tanpa rasa malu, tanpa punya rasa bersalah hanya berkata santai terhadap ibunya (nenekku) “Emasnya udah ketemu bu di dalam lemariku”. Langsung dengan seketika kugoyangkan kakiku melangkah keluar dari rumah itu tanpa ada yang mempedulikan diriku. Terlintas dalam hatiku berkata “Apa salahku ya Allah hingga aku difitnah sekeji ini oleh ibu kandungku sendiri”
Mulai saat itu aku tekatkan bahwa aku sudah tak mempunyai saudara dari ibuku, bahkan aku pun tak mau menganggap ibuku sebagai ibu kandungku.
Cerpen Karangan: Ronia Putra Vandana Blog / Facebook: Putra Vandana