Pagi itu, jam dinding menunjukkan pukul 03.30. Udara yang dingin, begitu terasa di kulit. Di saat itu tarqim berkumandang. Menggema di seluruh penjuru desa. Disaat itulah, seluruh orang sedang bersiap. Bersiap untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya.
Terlihat dari sebuah rumah sederhana, tampak seorang Ibu sedang terbangun dari tidurnya. Ibu tersebut bergegas pergi mengambil wudhu, yang kemudian melaksanakan sholat shubuh di musholla rumahnya. Bu Anik. Begitulah orang memanggilnya. Bu Anik adalah seorang produsen kerudung. Selain itu, beliau juga seorang guru ngaji di sebuah musholla.
“Risko, ayo bangun. Ibu sudah menyiapkan sarapan untukmu.” Teriak Bu Anik kepada putranya. “Iya Bu” Jawab Risko sambil berlari menuju dapur.
“Masak apa Ibu hari ini?” Tanya Risko dengan penasaran. “Tentu nasi goreng dengan telur dadar kesukaanmu dong” Jawab Bu Anik. “Ayah dimana Bu?” Tanya Risko. “Ayah sudah berangkat ke musholla. Selesai sarapan nanti, kita langsung mengaji di musholla ya Risko” Ajak Bu Anik. “Iya Bu” Jawab Risko mengakhiri percakapan.
Maka, berangkatlah mereka berdua ke musholla yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Kebetulan hari itu adalah hari Minggu. Jadi, Risko dapat lebih berkonsentrasi dalam mengaji. Risko dan teman-temannya mengaji dengan dibimbing oleh guru yang tak lain adalah orangtuanya sendiri. Yakni Bu Anik dan Pak Hadi.
Pada waktu istirahat, seorang penjual es krim tiba-tiba melintas di depan musholla. “Bu Anik, kami ingin beli es krim” Teriak anak-anak hampir bersamaan. “Iya. Ayo kita beli es krim bersama-sama” Ajak Bu Anik. “Asyik… terima kasih ya Bu Anik” Kata anak-anak penuh kegembiraan. Begitulah Bu Anik. Beliau memang sangat baik terhadap anak-anak didiknya.
Hari bergulir dengan begitu cepat. Sinar matahari terasa semakin panas. Bu Anik, Pak Hadi, Risko dan teman-temannya pulang ke rumahnya masing-masing. Sesampainya di rumah, Bu Anik kembali menjalankan rutinitasnya sebagai produsen kerudung. Bu Anik pun segera merapikan diri, yang kemudian bekerja dengan dibantu oleh suaminya, Pak Hadi. Dalam seminggu, Bu Anik dapat memproduksi hingga puluhan kerudung. Kerudung-kerudung tersebut kemudian dijualnya ke kota-kota besar seperti Mojokerto dan Surabaya.
Hari itu, seperti biasa, Bu Anik menjual kerudungnya ke kota Mojokerto dengan mengendarai sepeda motor. Sementara itu, Risko menunggu di rumah dengan ditemani oleh ayahnya, Pak Hadi. Akan tetapi, dalam perjalanan, sepeda motor yang dikendarai oleh Bu Anik ditabrak oleh sebuah truk hingga mengakibatkan Bu Anik terjatuh dan terluka cukup parah. Walaupun Bu Anik sempat dibawa oleh warga sekitar ke rumah sakit terdekat, namun nyawanya tetap tidak tertolong.
Hari berganti hari, namun Bu Anik belum juga kembali pulang. Itulah yang meresahkan Risko selaku putra semata wayangnya. “Ayah, Ibu kemana? Kok Ibu belum pulang juga?” Tanya Risko dengan penuh rasa khawatir. “Tenang ya Risko. Ibu sebentar lagi pulang kok” Kata Pak Hadi berusaha menenangkan.
Begitulah. Risko dan ayahnya terus menunggu. Namun, orang yang ditunggu, belum juga kembali pulang. Hingga terdengarlah kabar oleh keduanya, bahwa orang yang selama ini dinantikannya, tak mungkin pernah kembali. Orang tersebut telah pulang menghadap sang pencipta.
Segeralah, Risko dengan berlinang air mata diantar oleh ayahnya ke rumah saudaranya. Tempat dimana jenazah Ibunya dimandikan. Ditataplah wajah Ibunya untuk yang terakhir kalinya. Terbayang olehnya, segala kenangan indah bersama orang yang dicintainya tersebut. Ia tak menyangka, bahwa hari ini adalah hari terakhir Ibunya bersamanya.
Cerpen Karangan: Hengky Fairuz Busthomy Saya Hengky Fairuz Busthomy. Saya murid SMPN 1 PURI. Saya sekarang duduk di kelas IX-F. Inilah cerpen terbaru saya. Selamat membaca.