Pagi ini cuaca tampak kurang bersahabat. Awan mendung berjejer menghiasi langit. Jam sudah menunjukkan pukul 6.30 dan itu menandakan gerbang sekolah akan ditutup 30 menit lagi. Salha beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi dengan tergesa-gesa. Telat mungkin sudah menjadi kebiasaan baru bagi gadis itu. Semenjak kepergian ibunya, Salha menjadi kurang terurus. Gadis itu sekarang tinggal bersama ayahnya, namun ayahnya jarang pulang ke rumah karena urusan pekerjaan. Mau tidak mau mereka harus menyewa pembantu untuk mengurus rumah dan pekerjaan lainnya.
Setelah berpakain rapi gadis itu segera berangkat ke sekolah menggunakan taksi. Entah apa yang dibawanya di dalam tas, yang jelas tas yang kini dikenakannya tampak sedikit lusuh. Bulan lalu, ayah Salha sudah membelikannya tas baru yang bisa terbilang bagus dan bermerek. Namun, gadis itu enggan menggunakan tas pemberian dari ayahnya dan lebih memilih meggunakan tas lusuhnya itu. Meskipun lusuh, namun menurut Salha tas ini sangatlah berharga karena merupakan hadiah terakhir dari ibunya.
Beberapa saat kemudian, gadis itu sudah berdiri di depan gerbang bercat merah gelap. Gadis itu berdiri sambil berkacak pinggang. Sesekali ia menatap ke arah jam tangan yang sedang dikenakannya. “Telat 20 menit. Seharusya gue tadi nggak perlu buru-buru” cetus gadis itu malas. Berbeda dengan siswa-siswi pada umumnya, keterlambatan bagi salha bukanlah sesuatu yang menakutkan atau sejenisnya. Siswa yang terlambat seharusnya tidak boleh dihukum, mereka terlambat karena pak satpam terlalu cepat menutup gerbang. Setidaknya itulah pendapat Salha.
Beberapa saat kemudian seorang pria paruh baya menghampiri Salha yang masih berdiri di depan gerbang. Pria itu lalu membukakan gerbang untuk Salha. Sesekali ia mendengus kesal. “Salha, kamu tau ini jam berapa? ini sudah yang ke sekian kalinya. Kamu tidak boleh seenaknya datang terlambat seperti ini. Sekarang kamu langsung ke ruangan bapak” Salha sama sekali tidak mengubris omelan dari guru BK nya itu. Gadis itu hanya diam membisu. Tanpa aba-aba gadis itu segera melangkahkan kakinya menuju ruang BK.
Setelah sampai di dalam ruangan tersebut. Salha duduk di salah satu kursi yang terletak tidak jauh dari meja guru. Gadis itu sesekali mendengus kesal ketika beberapa orang siswi memberikan tatapan tidak suka. Di sekolah, Salha terkenal sebagai anak yang menyebalkan dan selalu membuat masalah. Tidak jarang gadis itu mendapatkan skorsing atau bahkan hukuman dari pihak sekolah.
“Salha, sejujurnya bapak sudah tidak tau harus berbuat apa lagi agar kamu jera. Telat, bukanlah kebiasaan yang baik, terutama bagi seorang pelajar. Orangtua kamu pasti benar-benar kecewa. Sekarang bapak sudah membuat keputusan. Ini adalah surat panggilan untuk orangtua kamu. Jadi-” “Orang tua saya nggak bisa dateng” sahut Salha cepat. Sontak hal tersebut membuat pak puji sedikit terkejut. pria paruh baya itu memperhatikan wajah Salha, gadis itu terlihat seperti menyembunyikan sesuatu. Di wajahnya tergambar jelas perasaan benci, kecewa, dan amarah yang hampir meluap. Air muka Salha mulai berubah sejak pak puji menyebut kata orangtua.
“Salha. Apa kamu punya mimpi?” Salha hanya diam mematung dan tidak mengubris pertanyaan dari gurunya itu. Ia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan tersebut karena guru itu pasti sudah tau jawabannya.
Mimpi, satu kata yang terdengar asing bagi Salha. semenjak kepergian ibunya. Seluruh dunianya terasa hancur. Seluruh mimpi yang dulu pernah dibangunnya kini sudah sirna dan yang tersisa sekarang hanyalah rasa benci dan putus asa. Mata salha mulai berkaca-kaca. Gadis itu sesekali mengusap air matanya yang mulai terjatuh. Dengan sigap ia mengambil surat di atas meja tersebut dan berjalan keluar.
Setelah bel pulang berbunyi, gadis itu lebih memilih segera pulang ke rumah karena hari ini perasaanya benar-benar kacau dan tidak karuan. Sesampainya di rumah, Salha langsung membaringkan badannya di atas ranjang. Semua permasalahan ini membuat kepalanya pusing. Perlahan rasa kantuk mulai menghinggapi gadis itu dan beberapa saat kemudian ia sudah memasuki alam mimpinya.
Seberkas sinar menyilaukan mata Salha, perlahan gadis itu membuka matanya dan mendapati hari sudah sore. Gadis itu bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan ke dapur karena perutnya mulai meronta-ronta minta diisi. Setelah mengambil beberapa makanan gadis itu berjalan menuju ruang TV.
Untuk beberapa saat gadis itu sempat terkejut ketika mendapati seorang pria dengan wajah familiar sedang duduk di sofa. Pria itu menyadari kehadiran Salha, ia lalu menyambut putrinya itu dengan senyuman manis. “Salha, duduk sini nak. Ayah mau bicara” “Ayah ngapain disini? bukannya ayah sibuk kerja, yang aku tau ayah nggak punya waktu untuk ngelakuin hal-hal nggak berguna kayak gini” Reza tidak bisa membela diri, pria paruh baya itu sudah memaklumi sikap dingin putrinya itu. Ia lalu bangkit dari sofa dan menarik tangan Salha untuk duduk di dekatnya. Salha bukannya ingin menerima, tapi jujur di lubuk hatinya yang paling dalam gadis itu merasa benar-benar merindukan sosok ayahnya itu.
Reza tiba-tiba mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah kotak kecil berwarna putih dan selembar kertas kosong. Ia lalu menyodorkan benda tersebut pada Salha. Gadis itu tampak kebingungan “Apa ini?” tanyanya dengan nada datar “Kamu lihat kotak ini, ini adalah peninggalan terakhir dari mama kamu dan kertas ini, ayah mau kamu menuliskan cita-cita atau mimpi kamu di atas kertas ini”
Seketika ucapan Reza membuat luka di hati Salha kembali menganga. Seberkas memori lama kembali bermunculan di benak Gadis itu. Memori yang membuat hidupnya seperti ini, kenangan buruk tentang dia dan orangtuanya. “Semua ini gak berguna. Buat apa ayah bawa semua ini. Buat apa ayah tiba-tiba peduli sama aku. Acuhin aja aku. Sama kayak yang ayah lakuin sama mama”
PLAKKK Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Salha. Gadis itu tampak tidak percaya dengan semua yang terjadi, begitu juga Reza. Pria paruh baya itu tampak menyesali perbuatannya.
“Ayah udah puas. Kalo ayah belum puas, bunuh aku. Karena dengan begitu aku bisa ketemu sama mama dan nggak akan pernah ngeliat wajah ayah untuk selamnya. Satu hal yang perlu ayah tau, ayah nggak perlu lagi ngurusin hidup aku. Aku benci ayah, karna disaat-saat terkahir mama, ayah malah ngacuhin mama dan lebih milih wanita jal*ng itu. Nikmatin hidup ayah sendiri dan jangan pernah campurin hidup aku lagi” Dengan langkah cepat Salha kembali ke kamarnya. Reza hanya bisa menatap punggung putrinya yang perlahan mulai menghilang. Tiba-tiba reza memegang dadanya dan meringis kesakitan, pria paruh baya itu segera mengambil sebuah botol dari dalam tasnya dan menyikat habis pil yang ada di dalamnya. Dalam hatinya pria itu menangis. Andaikata Salha tahu kenyataan yang sebenarnya. Mungkin ia akan sangat menyesal.
Keesokan harinya, seperti biasa Salha berangkat ke sekolah menggunakan taksi. Namun kali ini ada yang berbeda. Gadis itu sudah berangkat pagi-pagi sekali. Hal ini dilakukannnya untuk menghindari Reza. Kejadian kemarin masih membekas di kepala dan hati Salha. Hal itu membuat mood Salha hari ini benar-benar buruk.
Sesampainya di sekolah, Salha langsung menuju ruang kelasnya. Gadis itu masih duduk mematung di bangkunya. Seakan-akan jiwanya sedang tidak ada di tempat.
Setelah jam istirahat tiba, Salha segera berjalan menuju taman belakang, salah satu tempat favorit yang sering dikunjunginya jika ia sedang banyak masalah. Entah kenapa rasanya ada yang aneh. Kenapa perasaan Salha sejak tadi pagi tidak tenang. Seakan-akan sesuatu yang buruk akan terjadi. Sebuah sentakan kecil tiba-tiba menyadarkan gadis itu dari lamunannya.
“Sal… Lo lagi mikirin apaan sih? Kok dari tadi bengong mulu?” “Leon? Lo ngapain disini? Pergi sana. Gue lagi pengen sendiri” “Sal, kalo lo punya masalah cerita aja sama gue. Yaaa… Siapa tau gue bisa bantuin elo, apa ini masalah bokap lo lagi?” “Leon. Nggak usah sok tau deh. Emangnya lo tau apa soal gue. Nggak usah sok peduli” “Sal, gue sahabat lo sejak kecil, gue tau semua tentang elo. Sekarang gue cuma mau ngasi tau elo aja sebelum terlambat. Lo harus jangain bokap lo, cuma dia keluarga lo satu-satunya. Terkadang apa yang kita ucapin nggak sama dengan apa yang sebenarnya kita rasain. Gue rasa lo ngerti maksud gue” Mendengar ucapan Leon membuat celah di hati Salha mulai terbuka. Gadis itu kini mulai kebingungan dengan jalan fikirannya sendiri. Dalam hati ia mulai bertanya, apa ia benar-benar membenci ayahnya?
Tiba-tiba ponsel Salha berbunyi dan kembali menyadarkannya dari lamunan singkat, dengan sigap gadis itu langsung mereject panggilan tersebut. Selang beberapa saat ponsel itu kembali berbunyi dan membuat Salha menjadi sedikit geram. Gadis itu lalu menonaktifkan ponselnya.
Salha memutuskan untuk kembali ke kelas dari pada berlama-lama di taman, terlebih lagi ada Leon di dekatnya. Semua itu semakin membuat mood Salha jelek. Selang beberapa saat setelah Salha sampai di kelas. Leon tiba-tiba berlari dan menghampirinya, ekspresi pria itu terlihat sedikit cemas. “Sal… Lo kenapa nggak angkat telfon bokap lo? Barusan bik Minah nelfon gue, katanya bokap lo masuk rumah sakit dan bentar lagi dia bakal dioperasi” Rasanya tubuh Salha baru saja disambar petir. Entah mengapa kalimat yang diucapkan Leon membuat sendi Salha lemas seketika. Dengan tergesa-gesa gadis itu berlari keluar dari ruang kelasnya menuju rumah sakit untuk menghampiri ayahnya.
Salha sedari tadi berlari kecil sembari menunggu taksi. Namun hari ini ia sedang sial, tidak ada satupun taksi yang berhenti. Leon tiba-tiba menghentikan mobilnya dan membukakan pintu untuk Salha “Cepet naik, gue anterin” cetus pria itu pada Salha Tanpa pikir panjang, Salha segera masuk ke dalam mobil.
Jalanan di Jakarta benar-benar macet. Perjalanan dari sekolah ke RS Permata bisa memakan waktu satu jam jika jalanan sedang macet. Selama perjalanan perasaan Salha tidak tenang. Gadis itu benar-benar gelisah. Sesekali ia melirik jam di pergelangan tangannya. “Ayah maafin Salha” gadis itu mulai menangis. Ia sudah tidak sanggup lagi menahan beban hatinya. Leon mengenggam tangan Salha, mencoba menenangkan gadis itu dari rasa cemasnya.
Setelah hampir satu jam berkendara. Mereka akhirnya tiba di RS Pelita. Tanpa diberi aba-aba Salha segera turun dari mobil dan berlari masuk. Gadis itu seperti orang yang kehilangan arah, tidak tahu harus melangkah kemana. Leon tiba-tiba menarik tangan Salha. “Lo mau kemana? ruangannya di sebelah sini”
Setelah sampai di ruang oprasi. Salha melihat seorang wanita paruh baya sedang duduk di salah satu kursi tunggu. Begitu menyadari kehadiran Salha, wanita itu segera bangkit dan mengampiri Salha “non, maafin bibik. Maafin bibik” “Ayah gimana bik? Ayah baik-baik aja kan?” tanya Salha dengan nada cemas.
Beberapa saat kemudian seorang pria jangkung keluar dari ruangan tersebut, ekspresi pria itu terlihat musam dan wajahnya ditekuk. “Kami minta maaf, kami sudah melakukan yang terbaik. Tapi pasien tidak bisa diselamatkan, waktu kematian pukul 11.15” “Waktu kematian, waktu kematian, waktu…” otak Salha rasanya sulit untuk mencerna kalimat yang diucapkan dokter tersebut. Seketika dunianya terasa kosong, semuanya berubah menjadi gelap dan kini Salha sudah tidak sadarkan diri.
Selang beberapa minggu setelah kematian ayahnya. Salha memberanikan diri untuk masuk ke kamar ayahnya. Sungguh, gadis itu kini benar-benar merindukan sosok ayahnya itu. Sesal, perasaan itulah yang kini setia menemani gadis itu.
Salha perlahan berjalan menuju meja kerja ayahnya. Ketika ia membukan laci meja tersebut, ia mendapati sebuah kotak kecil dan selembar kertas yang tampak tidak asing. Gadis itu mengambil kotak tersebut dan membuka penutupnya. Di dalamnya terdapat sebuah pena dan sebuah buku diary. Salha membaca isi buku tersebut dan perlahan butiran air mata mulai membasahi pipinya.
Ternyata seluruh misteri tentang kematian ibunya kini telah terpecahkan dan yang lebih menyakitkan kan lagi, ternyata ayah yang selama ini dibencinya telah mengorbankan nyawanya dengan mendonorkan sebelah ginjalnya bagi istri kesayangannya, meskipun semua itu tidak berhasil. Kini rasanya hati Salha benar-benar hancur, hancur-sehancur hancurnya. Gadis itu menangis histeris, bahkan disaat-saat terakhir ayahnya, ia tidak bisa menyampaikan kata maaf.
Tangan gadis itu perlahan mengambil kertas kosong yang masih tergeletak di dalam laci itu, ia teringat bahwa ayahnya pernah menyuruh Salha untuk menuliskan mimpinya di atas kertas tersebut. Kini semuanya sudah jelas. Salha tidak ingin terus menerus larut dalam kesedihan. Untuk menebus rasa bersalahnya, gadis itu melaksanakan perintah terakhir ayahnya. Di atas kertas tersebut ia menulis kalimat yang berbunyi “aku ingin menjadi orang hebat seperti ayah” dengan begitu, kini Salha mempunyai motivasi untuk berubah.
Selang beberapa tahun, gadis itu berhasil mewujudkan mimpinya, yaitu menjadi seorang pembisinis hebat seperti ayahnya, karena sejujurnya di dalam darahnya mengalir darah seorang pembisnis hebat yang berambisi. Ternyata di balik nasib buruknya terdapat rencana tuhan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sungguh, saat ini Salha benar-benar berterima kasih kepada ayahnya dan juga selembar kertas yang menyimpan memori serta kenangannya bersama ayah. Selembar kertas yang telah mengubah hidupnya.
Cerpen Karangan: Misa Ry Blog / Facebook: Milasary