Warna merah merona memancar di ufuk timur, semilir angin bernuansa sejuk berhembus. Mangrove kecil mulai menampakkan tunasnya. Dentuman ombak bertabuh ditengah gemercik suara aliran air. Aroma khas garam menyebar bersamaan dengan hilir mudiknnya urmang serta populasi kepiting kecil. Sedikit mendung mewarnai hari ini.
Sayup-sayup kudengar kicauan burung bersahutan, membentuk sebuah rahasia lingkaran alam pagi yang masih belum aku mengerti maknanya. Semuanya seakan bergantian menyapaku. Aku berdiri mematung selama beberapa menit diatas tumpukan sampah karang yang tergeletak sedemikian rupa seperti sebuah tumpeng namun besar. Sisa-sisa manusia purba yang telah hidup menetap di pinggir pantai itulah kjodkmiker. Kata-kata Ayah selalu mengiang di telingaku. Ayah yang hanya lulusan madrasah aliyah senantiasa membagi sajak pengetahuannya. Tak pernah sedikitpun kikir akan ilmu.
Aku terus melangkah menuju sebongkah karang besar yang menjorok di tepi pantai. Rasa sakit akibat menginjak serpihan karang sudah biasa kurasakan. Aku segera duduk diantara beberapa bongkahan karang besar. Pikiran tentang masa kecil kembali melintas dibenakku. Bayang bayang tentang keluarga kecil nan bahagia berkelebat tanpa perlu komando. “Ahh seandainya saja”, gumamku. Secara refleks aku berharap adanya master pengubah waktu dan alangkah inginnya aku kembali dalam lingkar teduh kehangatan keluarga—meninggalkan semua hirup pikuk kepenatan yang saat ini terbungkus rapi dalam hati. Sesaat aku tersadar semuanya tak lagi sama. Kepergian ayahku beberapa tahun silam mengharuskanku untuk senantiasa bekerja keras dan berjuang menghadapi nasib. Kini, nenek dan ibulah yang selalu ada dalam setiap perkembanganku. Aku memiliki seorang adik perempuan. Kami besar di tepian Pantai Gili Madura. Hanya beberapa meter, disitulah terdapat gubuk kecil sederhana tempatku mengaup dikala hujan dan menepi disaat panas, bersandar dalam bahu keluarga. Keluarga miskin sederhana.
Dahulu ayahku adalah seorang pelaut ulung. Hampir seluruh waktunya ia habiskan ditengah laut. Terkadang aku ingin mekasih sayang seorang ayah, tetapi aku belajar memahami keadaan bahwa ayahku harus bekerja keras. Ayahku sangat supel, sehingga disukai banyak orang. Alisnya yang tebal berpadu dengan mata elangnya menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap orang yang melihat. Tubuhnya tegap dengan tangan besar memberikan rasa nyaman bagiku. Banyak hal yang telah aku pelajari dari ayahku. Suatu hal yang sangat berkesan dan masih membekas dalam ingatan ialah pengalamanku pergi berlayar bersama ayah. Usiaku saat itu sekitar tujuh tahun. Ayah mengajakku pergi berlayar. Perahu khas nelayan membentangkan sayapnya, deru mesin mengatur kelajuan, perlahan berangkat meninggalkan bibir pantai. Aku merasakan kesenangan yang tak terperi. Namun dalam sekajap suasana berganti, kedatangan ombak besar secara beruntun membuatku gemetar hebat, seluruh tubuhku rasanya lemas. Perutku terasa terkoyak-koyak. Aku ketakutan dan bibirku kelu. Ayah melihatku dalam kedaan pucat.
“Ayah bagaimana kalau perahunya terbalik? ombak itu dan anginnya… aku takut ayah.” Saat itu nampak kekhawatiran dalam diri ayah. “Anakku, jangan sampai ketakutan mengalahkan keberanianmu Nak, tenanglah Nak.. ombak akan segera berhenti…” Ayah membiusku dengan pil semangat dan perlahan memulihkan keberanianku. Aku memilih untuk tidak melanjutkan perjalanan. Namun semangatku tidak kendor. Alhasil aku dan ayah mampu mengarungi lautan. Ayah berkata, bahwasanya kunci keberhasilan pelaut adalah kemampuan memahami alam. “Pahamilah alam! bintang dan angin adalah senjata bagi setiap orang yang ingin mengarungi lautan, bintang ialah misteri sedangkan angin menjadi pertanda peruntungan nasibmu, pandai-pandailah kau memahaminya. Ingat! saat kau berlayar teguhkanlah hatimu, bertawakkallah dan bersabarlah.” kenangan yang manis. Ketidakmampuan membuat ayahku memilih berlayar dengan mencarter perahu orang. Hasil yang ia dapatkan harus dibagi dua. Begitu mirisnya. Akan tetapi, ayah sangat pandai memutar siklus pendapatan meski itu semua hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Bercermin dari keadaan perekonomian keluargaku, aku semakin bertekad menjadi orang sukses.
Ayunan kecil di samping rumah terlihat dari kejauhan, bergoyang goyang diterpa angin. Matahari mulai merangkak naik. “Asror…, lekas balik, antarkan pepes ikan ini ke pasar!” Suara serak khas keibuan memanggilku dari kejahuan, aku beranjak dari pantai dan bergegas mengambil pepes ikan yang telah disiapkan oleh ibuku. Aku harus bergerak cepat. Kukayuh sepeda ontelku menuju Pasar Senewen. Ikan pepes yang akan dijual kutitipkan pada Mak Leha. Aku bergegas pulang.
Sesampainya di rumah, aku membantu memasukkan keperluan ibuku. Sebentar lagi ibu harus berangkat menjual gorengan. Apapun yang bisa kubantu sebisa mungkin aku kerjakan. Adikku masih terlalu kecil untuk melakukannya. Aku tak ingin menjadi beban bagi ibuku. Aku memasukkan beberapa gorengan ke dalam plastik kecil, kain gendongan kuikatkan pada bahu ibu. Sebuah senyum tulus mengembang dari wajahnya. Pagi hari selalu mebuatnya semangat. Dengan mengucapkan bismillah dan doa membawa pulang banyak rezeki, ibuku berangkat.
Kulirik jam kotak tuaku, 15 menit lagi aku harus tiba di sekolah. Aku berpamitan pada nenek. Secepat kilat aku menggunakan seragam sekolah. Penampilan bukan suatu keharusan bagiku. Tempatku menuntut ilmu lumayan jauh, jalan berkelak-kelok harus kutempuh. aku terus mengayuh tanpa memedulikan kondisi sekitarku. Semangatku untuk tidak terlambat kian menggebu. Suara nyaring klakson membuatku tak fokus, nyaris sepedaku meluncur masuk kesungai Santex. Beruntung aku tidak terlambat. Delapan jam berlalu dengan menyenangkan. Dua hari lagi akan ada ujian maraton untuk kelas 12 SMA. Ujian akhir yang harus kutempuh.
Sepulang sekolah aku bekerja menjadi kuli panggul di stasiun bus dekat rumah. Sore harinya, aku membantu para nelayan menjualkan hasil tangkapan ikan. Setelah itu, kuhabiskan waktuku bersama majid di pantai sambil menuliskan semua angan dalam sebuah botol dan melemparkannya ketika matahari tenggelam. Aku ingin menjadi pengusaha ikan yang sukses. Rangkaian kalimat sederhana dengan ribuan harapan.
Tiba di rumah aku terkejut ketika melihat ibuku terbaring lemah tak berdaya. Rona wajahnya nampak pucat. Mulutku terbungkam seketika. Kening ibuku dingin. Tanpa pikir panjang aku segera membopong ibuku menuju klinik desa. Keterbatasan peralatan mengharuskan ibuku untuk dirawat di RSUD.
Ibuku mengidap penyakit kanker darah putih. Dokter menyarankan ibuku untuk segera melakukan operasi. Maksimal dua minggu dari hari ini. Biaya operasi cukup mahal. Mungkin sakit yang diderita ibuku disebakan karena kerasnya ibu bekerja, aku menebak-nebak.
Aku kebingungan mencari biaya operasi ibu. Tabungan nenekku tak seberapa. Sebagai anak sulung, aku merasa bertanggung jawab atas semuanya. Aku memeras otak memikirkan hal itu. Dua hari lagi aku akan mengikuti ujian sekolah. Aku harus belajar serta harus mencari uang untuk ibuku. Haruskah impianku berakhir dengan masalah ini?
Aku mencari pinjaman kepada tetangga, namun nihil yang kuperoleh. Aku tak menyerah. Aku semakin giat bekerja. Upah yang kuperoleh masih juga belum cukup. Kondisi nenek dan adik tak memungkinkan untuk menghasilkan uang. Usaha keras telah kukerahkan. Besok aku harus mengukuti ujian sekolah. Aku membagi waktuku secara merata. Alhamdulillah, aku bisa melalui ujian sekolah hingga akhir.
Beberapa hari kemudian… Kondisi ibu semakin kritis. Hari ini dokter menyarankan ibu untuk operasi. Terlambat sedikit akan berakibat fatal. Fikiranku kalut, aku tidak bisa berfikir jernih. Aku mengikuti saran temanku untuk bekerja sebagai kurir narkoba. Hasutan setan telah merasuk dalam jiwa. Meski usiaku tergolong muda -aku berani mengambil resiko berat. Hari itu juga aku mendaftar sebagai kurir narkoba. Aku sudah masuk kedalam lubang hitam. Pekerjaan yang hina dan kotor.
Narkoba jenis shabu-shabu sebesar 2 kg adalah pekerjaan pertamaku. Aku mengantarkannya pada seorang bandar narkoba. Rasa bersalah selalu membayangiku. Uang yang kudapatkan langsung bertumpuk. Uang haram yang tak berkah. Segera aku melunasi biaya operasi ibu. Tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Melihat latar belakang agama ibuku, aku merasa takut. Pendirian ibuku sangat kuat. Semua hal yang bertentangan dengan agama akan ia luruskan. Tak peduli meski harus mengiris serta menyanyat perasaan.
Keadaan ibuku berangsur membaik setelah dilakukan operasi. Saat sadar, ibu langsung bertanya padaku mengenai biaya operasi. “Aku memperolehnya dari kerja keras setiap hari.”. Aku berucap tanpa melihat sorot mata ibuku, akan sangat mudah bagi ibu menebakku dalam keadaan berbohong. Ibu memelukku dengan haru sementara adikku tersenyum lega. Semuanya larut dalam kebahagiaan.
Beberapa hari kemudian.. bersamaan dengan hari kelulusan, Kondisi ibuku pulih total., aku dan majid lulus. Langit mendung tak bersahabat dengan hati setiap insan yang bergembira. Impianku menjadi pengusaha ikan sukses semakin dahsyat.
Saat itu juga kebahagiananku sirna. Kabar buruk muncul dari sebuah radio kecil milik nenek, ketua pengedar narkoba sekaligus bosku tertangkap polisi saat sedang melakukan transkasi jual beli obat terlarang. Tim intel Satlantas Narkoba sangat jeli. Seluruh orang yang terlibat didalamnya akan segera ditangkap. Remuk sudah kebahagianku. Tanpa menunggu lama, majid berkunjung ke rumah. Majid ialah satu satunya orang yang tahu siapa sebenarnya diriku. Tanpa kusadari semua percakapanku dengan majid terdengar oleh ibu. Ibu langsung menjerit histeris Rentetan bom pertayaan meledak dari mulut ibu. “Mengapa kau melakukan semuanya Nak? bukankah ibu telah mengajarimu agama. Itu pekerjaan haram, uang yang mengalir di darah ibu sekarang ini… untuk apa ilmu yang kau miliki Nak.., sungguh tega dan biadab kau…” Aku mencoba menjelaskan pada ibu. Ibu tetap memandangku salah. Niat membantu ibu menjadi petaka bagiku. Semua impianku rasanya berakhir hari itu. Masa depanku diujung tanduk.
Ibu langsung membawaku ke kantor polisi terdekat tanpa bernegoisasi terlebih dahulu. Beliau sendiri yang menjebloskanku dalam penjara. Pengedar narkoba seharusnya ditangkap, kata ibu. Hukuman penjara selama 1 tahun harus kujalani. Selama dipenjara ibu tak pernah menengokku.
Semua kerja kerasku sia-sia. Ibu tidak menghargai pengorbananku. Rasa dendam pada ibu tumbuh subur dalam hati. Aku berubah 180, Asror yang patuh dan baik kini berubah menjadi brutal. Rasa jenuh di penjara mengantarkanku pada perubahan buruk.
1 tahun berlalu Ibu menyambut kedatanganku dengan ramah. Tapi, aku menanggapinya dengan jawaban ketus. Petang mulut sempat terjadi. Entah setan apa yang merasuki fikiranku, Aku membunuh ibuku sendiri. Pisau kutancapkan dalam tubuh ibu. Denyut nadi ibu terhenti. Diikuti keluarnya darah yang memgalir cepat. Nenek dan adikku berteriak histeris. Warga desa berdatangan. Aku tertawa bahagia. Kenangan ibuku melintas, dan sesaat aku sadar, aku telah berdosa. Aku menangis meraung raung. Ibuku telah tiada dan tanganku sendiri yang membunuhnya.
Aku kembali merasakan pahitnya kehidupan penjara. Rasa sesal membuatku ingin berubah. Semua program rehabilitasi aku ikuti, tapi, jiwaku tetap berguncang. Kiai Mukin, penceramah penjara menasehatiku agar berubah. Perlahan aku kembali melaksanakan kewajibanku pada tuhan. Dan fikiranku terbuka ketika Kia mukin menjelaskan ayat, tentang Allah maha pemaaf apabila hambanya memang bersungguh sunghuh bertobat. Semangatku kembali ada. Aku kembali memperdalam agama.
Bebas dari penjara, aku langsung meminta maaf pada nenekku dan adikku. Aku mengakui semua kesalahanku dan berjanji untuk berubah. Mereka memaafkanku. Aku berziarah ke makam ibuku dan mendoakannya. Kata maaf tak akan pernah kudengar dari ibuku. Biarlah Allah yang mengetahui semuanya.
Semenjak hari itu aku berdamai dengn kehidupan. Takdir Allah membawaku menemui pekerjaan mulia.
Cerpen Karangan: Shavia Maulidina Blog: shaviamaulidinazein.wordpress.com