Ayam Berkokok Beserta Fajar yang mulai merangkak, menuju hamparan langit untuk menyambut pagi, pagi telah tiba, dan aku selalu suka pagi. Setiap Pagi ayah mulai menambah volume suara ketika membangunkanku, agar segera bersiap sekolah. “imaaaa, ayo nak bangun kamu belum sholat subuh nak”. Teriak ayah padaku. Aku pun tetap memejamkan mata tanpa hiraukan teriakan ayah. “imaa!!”, teriak ayah kembali yang terdengar seakan membising. Langkah ayah perlahan mendekat, aku kembali bersembunyi dibawah selimut lembutku. “anak ayah nakal!!”. Sembari dua jari telunjuk ayah menggelitikku, tak lama ayah menggendongku lalu memandikanku.
Namaku Ima. Hari-hari kulalui hanya bersama ayah, ibu telah wafat sejak umurku 4 tahun karena penyakit yang dideritanya. Entah penyakit apa yang diderita ibu, setauku ibu tak lagi ada bersamaku, tak lagi menemani hari-hariku, dan tak lagi bisa menghibur laraku.
Hari-hari kulalui bersama ayah, iya, hanya bersama ayah. Sejak pagi hingga petang, ayah mengurus semua keperluanku, menyiapkan perlengkapan sekolah, menyiapkan makanan, membantuku mengerjakan pr hingga mendongeng sebelum tidur, “ayah.. I love you”. Ucapku sebelum terlelap dalam mimpi. Aku bahagia bersama ayah, ayah sangat menyayangiku, ia selalu bisa membuatku tertawa, ayahku hebat ia menghafal berbagai macam cerita dan selalu ia ceritakan padaku sebelum tidur, ia mengajariku bersepeda dan menjadi pesawat terbang bagiku. Sekali lagi kuucapkan “aku sayaang ayahh”.
Namun kebahagiaan itu perlahan memudar, “naina, rambutmu kok bisa diikat lucu gitu sih, gimana caranya”, tanyaku pada naina, teman sekelasku. “tanya saja mamaku, mamaku selalu bisa mengikat rambutku dengan berbagai macam model, lah kamu kokk kecil-kecil pake jilbab kan belum wajib maa?”. Aku tertunduk malu, hatiku marah, beribu pertanyaan berkelebat, adakah alasan mengapa ibu harus pergi dulu, tanpa peduli padaku, apa ia tega karena aku harus hidup tanpa ibu. “ibuu, ima butuh ibu, ima ingin seperti teman–teman ima yang memiliki ibu”. Tak terasa air mata mengalir membasahi wajah polosku, hatiku geram tak karuan, inginku berteriak memanggil-manggil ibu, agar ia kembali ke dunia ini.
“imaa, lauk bekal mu kokk selalu telur dadar dan lalapan sawi sihh, apa ibumu tak bisa masak masakan yang lainnya?”. Tanya salah satu temanku dengan raut wajah meledek. “aahh, lagi-lagi semua ini terjadi karena aku tak punya ibu”. Sahutku dalam hati. Ayahku memang hebat, ia tak pernah melupakan semua kebutuhanku, ia tak pernah menyia-nyiakanku, tapi tetap saja berbeda. Karena ayah tak bisa masak berbagai macam makanan, tak bisa mendandaniku sebagaimana anak wanita lainnya. Ayah tetaplah ayah dan ibu tetaplah ibu bagiku.
“Alhamdulillah, kamu lulus dengan predikat memuaskan ima”. Ucap syukur ayah penuh bangga padaku. “lalu kamu mau lanjut SMA dimana nak?”. Tanya ayah. “Ayah, ima mau mondok yah, di salah satu pondok modern di kota Malang, ayah bolehin ima kan?”. “kamu ingin mondok nak, apa sudah kamu fikirkan matang-matang, ayah akan kesepian tanpa ima di rumah, ima tega ayah sendirian di rumah?”. Aku terdiam menunduk, itulah keinginanku, aku ingin ke pesantren bukan sekedar ingin memperdalam ilmu agama, tapi karena aku sudah tak tahan lagi merindukan ibu, setiap kali melihat foto ibu, setiap melihat teman sebayaku yang menjadikan ibu mereka bagai sahabat, dan aku, aku hanya memilik ayah yang tak bisa menjadi ibu bagiku, ayah tak pernah paham bagaimana perasaan anak remaja putri yang ingin selalu bercerita kisah barunya pada sang ibu, ayah tak pernah paham bagaimana keserasian baju yang harus aku pakai, ayah tak pernah tau bagaimana menghibur anak perempuan jikalau ia bersedih “Aku sayang ayah, tapi yah, aku rindu ibu. Semua usaha ayah untuk menjadi ayah sekaligus ibu bagiku tak cukup, maafin ima yah!!”. Lirihku dalam hati, diam tak bergeming.
Suasana hening, ayah berfikir keras untuk keputusan ini tanpa tau alasan sebenarnya yang kupendam dalam lubuk hatiku. “baiklah nak!, karena itu keinginan ima, ayah izinkan demi pemahamanmu pada ilmu agama yang sangat berguna untuk bekal masa depanmu esok, tapi kamu harus sering menghubungi ayah ya nak, ayah selalu rindukan ima”. Kata ayah, sambil mengelus rambutku lalu mencium keningku. “Baik ayah, ima selalu rindu ayah”. Akupun memeluk ayah dengan eratnya, air mataku tak tertahan, segera kuusap, agar ayah tak tau bahwa aku menangis.
“Surga ada di bawah telapak kaki ibu”. Penjelasan ustadzah dita, membuat jantungku berdegap kencang. “maka berbaktilah pada ibu, karena ia memiliki surga, ridho allah terletak pada ridhonya”. Penjelasan lebih lanjut itu semakin menggetarkan jiwaku. “ustadzah apa ayah tak punya surga di kakinya?” Tanyaku pada ustadzah dengan keberanian yang tak biasa. Semua anak kelas menoleh lantas mereka tercengang lalu menertawakanku, “salahkah aku bertanya demikian, aku tak punya ibu namun aku ingin surga dari ayah”. protesku dalam diam, aku menunduk malu atas pertanyaan yang baru kusampaikan. Bel berbunyi, tanda pembelajaran selesai, sedangkan pertanyaanku belum terjawab.
Satu tahun berlalu, aku tak lagi tinggal bersama ayah, sesekali ayah menjengukku walau hanya dua puluh menit, tapi aku yakin sedikit waktu itu tak cukup mengobati rindu ayah padaku. Ingin rasanya kuutarakan pada ayah tentang semua rasa yang mencekam hatiku akhir-akhir ini, bahwa aku sangat rindu ibu. Tapi aku tak tega, tak tega untuk berkata hal itu pada ayah, karena ku tau, selama ini ayah hanya berpura-pura tegar melalui hari-harinya tanpa ibu.
Hari ini, tepat hari ulang tahunku yang ke tujuh belas, aku menanti ayah, ayah pasti datang dan mengucapkan selamat ulang tahun untukku putri semata wayangnya. Namun hingga jam menunjuk angka sembilan, hingga malam ini mengapa ayah tak kunjung datang. Apa ayah lupa bahwa hari ini, hari ulang tahunku?.
“imaa, ada kiriman buat kamu”. Sapa mbak siti penjaga kantor hari ini. Segera ku menuju kantorlalu mengambil kiriman untukku, kiriman itu berupa kotak berukuran besar. Apa ini, mungkin kiriman ini dari ayah. Segera kubuka kotak itu, kotak yang berisi sepasang sepatu berwarna merah dan dua surat dengan amplop yang berbeda.
“Selamat ulang tahun putri ayah, semoga allah selalu membimbing setiap langkahmu, surat yang satunya adalah surat dari ibumu nak, surat itu, surat yang sengaja ibumu tulis untuk ulang tahunmu yang ke 17 selamat membaca sayang, maaf ayah tak bisa mengucapkan langsung nak, karena ada pekerjaan yang harus ayah selesaikan hari ini”. Surat ayah sangat singkat, namun aku sangat bahagia, karena ayah tak pernah lupa hari ulang tahunku, iya, ayah tak pernah lupa, walaupun sepasang sepatu pemberian ayah tak sesuai dengan seleraku, tapi aku tetap bersyukur. “syukron yaahh”. Ucapku dalam hati dengan penuh rasa syukur. Sudah tak sabar lagi, ingin segera kubuka surat dari ibu yang beramplop cokelat, kubuka perlahan surat itu, lalu rinduku kembali menyeruak, hatiku kembali berteriak bahwa aku rindu ibu. Surat itu, surat dari ibu. Kubaca perlahan surat itu.
Teruntuk putri ibu yang cantik, fatimah az zahra. Nak, kini kau telah beranjak dewasa, umurmu telah mencapai 17 tahun. Surat ini sengaja ibu tulis karena ibu rasa, ibu tak bisa merawatmu hingga dewasa, sakit ibu tak kunjung sembuh dan ibu takut allah segera memanggil ibu sebelum ibu bisa berbincang sempurna denganmu, sebelum ibu bisa menasihati beberapa tuturan kata yang berguna. Maafkan ibu, ibu tak bisa menjadi sahabat sejati dalam harimu, maafkan ibu, ibu tak bisa menemanimu ke sekolah, maafkan ibu, ibu tak bisa memasak masakan yang lezat untukmu, tapi kau tak perlu marah nak, kau tak perlu takut menjalani hari tanpa ibu, karena kita punya allah. Allah yang akan selalu menghibur sedihmu, menjaga bahayamu, dan membimbing langkahmu nak. Putri ibu yang shaliha, ibu menyayangimu nak, ibu menunggumu di surga, ibu menyayangimu sebagaimana ayahmu menyayangimu.. Cinta ayah dan ibu bersatu untuk mencintaimu sepenuh hati, dulu ketika kau baru lahir, kami, ayah dan ibumu sangat bahagia akan kehadiran buah cinta kami yaitu kamu. Kamu buah cinta ayah dan ibu. Dan kami sangat mencintaimu melebihi cinta kami pada diri kami sendiri. Kami sematkan nama Fatimah az zahra padamu agar kau dapat menjadi Fatimah az zahra untuk kami. Harap kami kau akan tumbuh menjadi wanita sholiha yang mengalahkan bidadari surga, wanita yang mencintai allah dan rasulnya, selalu berpegang teguh pada agama, serta membela bangsa dan berbakti pada orang tua. Anakku, karena ibu telah pergi mendahului kalian (ayah dan kamu) cintai ayahmu,!! Sebagaimana cinta Fatimah pada Rasulullah, Muhammad SAW, karena fatimah bisa menjadi putri yang bersahabat bahkan ibu bagi muhammad. Fatimah adalah wanita surga yang dicintai allah karena ia sangat berbakti pada ayahnya, ia selalu membela ayahnya, menghibur lara ayahnya, dan mengasihi ayahnya. Anakku, fatimah tetaplah menjadi Fatimah Az Zahra bagi ayah dan ibu, yakinlah kami mencintaimu sangat-sangat mencintaimu. Jalani kehidupan penuh cinta jangan sampai ada bara kebencian di hatimu pada siapapun. Insyaallah dengan segala kuasannya kita, kamu, ayah juga ibu kembali bersua dan bercanda tawa di alam keabadiaan. Menikmati segala nikmat di firdausNya yang tak akan pernah sirna. surabaya, 25 oktober 2003
Bulir air mataku mengalir deras tanpa henti, kedua tanganku bergetar memeluk surat ibu, rinduku semakin memuncak dan bertumpuk, rindu yang tak mungkin tersampaikan. Namun hadirnya surat ini, kurasakan kehangatan, kurasakan kesejatian cinta dari ibu yang selama ini kurindukan, aku sadar, selama ini, aku sungguh kurang bersyukur akan hadirnya seorang ayah disisiku, aku tak pernah membuka lebar mata dan hatiku akan kasih sayang ayah padaku. Dan hari ini, aku paham, aku sadar bahwa ayah tak pernah membiarkanku menangis, tak pernah menyia-nyiakanku, putri semata wayangnya. Ayah selalu mendorong semua prestasiku, ayah selalu ada di barisan depan untuk mendukungku menuju masa depan yang cerah, bahkan ayah rela mengorbankan apapun demi aku, putri semata wayangnya. “ayah, ima sayang ayah, ayah adalah ayah terbaik di dunia bagi ima. Semoga allah selalu melindungi ayah”.
Cerpen Karangan: Qomareea Blog / Facebook: Qhomariya Yazeed