Embusan bayu menyisir malam. Sunyi dalam kelam dan gelapnya sang bumi. Bintang dan bulan enggan menampakkan diri. Sisa-sisa hujan sore tadi masih menetes membasahi tiap-tiap langkah sosok mungil itu. Dia Perkasa. Dialah anak yang terbuang. Tak ada keluarga yang bisa menerima kekurangannya. Ia berbeda dengan mereka yang begitu pandai. Perkasa hanyalah sosok kecil yang tak tahu apa-apa, hanya bisa membuat malu keluaga. Ia hanyalah anak nakal yang tak punya sopan santun. Karena dia, Papa dan Mama seringkali mendapat telepon peringatan dari wali kelasnya. Karena dia, orangtuanya seringkali mendapat panggilan dan peringatan dari pihak kedisiplinan di sekolahnya. Perkasa, ia-lah anak malang yang terbuang. Namun suatu saat, ia pasti akan mendapatkan rumahnya, kebahagiannya dan hangatnya kebersamaan keluarga yang belum pernah ia dapatkan.
Mendung malam semakin pekat. Di bawahnya, Perkasa menghentikan langkah. Terduduk di emperan toko yang telah tertutup rapat. Ia merenung. Di sini, ia tak punya siapa-siapa lagi, lantas ke mana ia harus pulang? Tak ada lagi keluarga yang dimilikinya, lantas kepada siapa ia harus berbagi kesedihan? Semua telah hilang. Semua telah pergi. Bahkan jika bisa berkata, mungkin bumi ini pun menolak kehadirannya. Ia menyadari kesendiriannya. Memang, ia benar-benar sendirian kini. Hujan menetes dari mata remaja lima belas tahun itu. Ia berkeluh.
Allaaah … Pantaskah aku berharap kepada-Mu? Setelah seumur hidup tak pernah kuhabiskan untuk mengingatmu? Allah … Masih pantaskah diri memohon ampun kepada-Mu? Sementara hamba hanya datang dikala duka Sedang sukaku tak pernah mengingat-Mu.
Malam itu, rintikan hujan dalam pekatnya malam menjadi saksi bisu tangisan remaja kecil yang menyesali perbuatannya. Malam itu, hujan yang mengguyur badan bocah tak berdaya menjadi saksi untuk seorang Perkasa yang tersungkur dalam kesedihan. Tersungkur dalam permohonan. Isakan bocah yang memecah heningnya kesunyian malam. Mengapa tak dari dulu ia berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya? Agar kini tak tersisa penyesalan yang menghimpit dada. Menyesakkan kalbu.
Malam itu pula, Allah mengirimkan malaikat penolong untuk lelaki kecil yang tengah memohon kepada-Nya.
“Nak?” seorang wanita menepuk pelan bahu Perkasa. Isakan Perkasa seketika terhenti. Ia mendongak demi melihat wajah seorang wanita yang kini menatapnya. “Siapa kamu?!” gertak Perkasa tak suka. “Ikutlah dengan Ibu!” wanita itu bertutur dengan senyum lembut dan tatap hangat nan tulusnya. Hati Perkasa terenyuh. Matanya berbinar penuh harap pada wanita di hadapannya. “Anda serius?!” ia berseru tak percaya. “Tentu saja. Siapa namamu, Anakku?” wanita itu tersenyum lebar. “Per … ka … sa!” “Perkasa? Kamu bisa memanggilku Bunda Arinda,” wanita–yang ternyata bernama Arin–itu memperkenalkan dirinya. “Iya, Bun … da.” Perkasa menyahut ragu. “Ayo, Perkasa! Kita pulang!”
Sedikit ragu, Perkasa menerima uluran tangan wanita baik hati itu. Lima belas menit kemudian, mobil wanita yang membawanya berhenti di depan rumah paling sederhana di kawasan perumahan elite. Perkasa hanya mengikuti saat diajak masuk ibu barunya.
Dua tahun berlalu … Seorang wanita berjalan tergesa memasuki kawasan SMA N 59 Jakarta Selatan. Wanita dengan gincu dan bedak setebal Kamus Besar Bahasa Indonesia itu menghadang seorang guru yang hendak mengajar di kelas 11-IPA-1, kelas unggulan di SMA tersebut.
“Saya cari Perkasa! Panggil dia kemari!” perintah wanita itu arogan. Sang guru perempuan mengernyitkan kening, “Maksud Anda, Aditya Perkasa?” “Ya-ya! Perkasa itulah pokoknya!” balas wanita asing dengan sengit. “Tapi …, maaf, Bu. Saat ini, Perkasa sedang dalam persiapan lomba. Ia tidak bisa ditemui siapa pun selain keluarga dan teman-teman dekatnya. Lebih baik Anda kembali dua minggu lagi, usai perlombaan,” Bu Lia -nama si guru- menjawab dengan tenang. Ia, sebagai walikelas Perkasa tahu benar bahwa saat ini murid kesayangannya sedang berlatih bersama Pak Rudy untuk perlombaan karate yang akan diselenggarakan lima hari lagi. “Kau tak bisa seenaknya melarangku menemuinya! Aku ini ibunya Asa!” wanita itu berteriak tak terima.
Sementara di pintu ruang latihan, seorang remaja laki-laki mematung. Perkasa, ia telah menyelesaikan latihannya hari ini dan hendak menuju kelas untuk mengikuti pelajaran Bu Lia, namun justru yang didapatinya sang walikelas sedang adu mulut di koridor dengan seorang wanita yang sangat dikenalnya. Seorang wanita yang tak pernah bisa ia lupakan wajah, suara, maupun ekspresinya ketika marah. Wanita yang sangat ia cintai dan sayangi. Dulu. “Ma-ma …,” lirihnya memanggil. Merasa ditatap seseorang, Bu Lia menoleh. “Lho. Perkasa? Bukannya kamu masih latihan?” Perkasa tersenyum tipis, menghampiri guru yang sudah membimbingnya selama hampir dua tahun. “Latihannya dilanjutkan besok, Bu Lia.” “Kamu …?!” wanita yang bersama Bu Lia tadi melotot menatapnya. “Ya. Saya Perkasa. Anak yang Anda buang dua tahun lalu,” Perkasa menatap berani.
PLAK! Tanpa sempat menghindar, tamparan keras mengenai pipi kiri Perkasa. Ia meringis. “Apa yang Anda lakukan? Hei, Perkasa harus menjaga tubuhnya untuk perlombaan nanti! Jangan seenaknya!” Bu Lia emosi. “Kau yang seharusnya tak ikut campur masalah kami!” bentak wanita yang mengaku sebagai ibu dari Perkasa. “Bu Lia …,” Perkasa menatap gurunya tak enak. “sebaiknya Ibu kembali ke kelas. Saya tak mau teman-teman tak menerima pelajaran karena saya,” ujarnya hati-hati, takut menyinggung. “Tapi …,” Bu Lia keberatan. Bagaimana mungkin ia bisa meninggalkan murid kesayangannya bersama wanita ini? “Saya bisa menyelesaikannya.” Perkasa berusaha meyakinkan. “Baiklah. Tapi ingat, tetap jaga kondisi tubuh dan mentalmu. Kamu tidak boleh down saat perlombaan.” Dengan berat hati, Bu Lia melangkah pergi setelah mendapat anggukan dari muridnya.
Perkasa kembali menatap ibunya. “Apa yang ingin Anda sampaikan?” tanyanya tanpa ekspresi. Wanita itu mengangkat tangan, hendak menampar lagi. Namun dengan sigap Perkasa menangkapnya. “Pembunuh!” desis Marissa -ibu kandung Perkasa. Dahi sang juara mengernyit. Apa maksud wanita ini? Seingatnya, ia tak pernah membunuh siapa pun. Ia juga tak pernah lagi berhubungan dengan kerabat kandungnya sejak dibuang dua tahun lalu. “Apa yang sudah saya lakukan?” Perkasa bertanya. Marissa mendengus, “Kau telah membunuh adikmu sendiri, Bodoh!”
Perkasa tersenyum miris. “Setelah dua tahun berlalu, ternyata Anda masih membenci saya. Bahkan menuduh saya membunuh anak Anda,” “Menuduh?! Kau benar-benar membunuhnya! Kau memenangkan pertandingan itu, mengalahkan Agatha! Dia tak bisa menerima kekalahannya dan bunuh diri!” “Lantas apa salah saya? Dia mati karena tak bisa menerima kekalahannya bukan? Seandainya dia ikhlas dengan kekalahan itu, bukankah dia tak akan mati sia-sia?” Perkasa membalas. “Kau …!” wanita itu mengayun satu tangannya yang bebas. Namun ia kalah cepat, Perkasa refleks menangkap tangannya. “Dasar anak durhaka!” umpatnya. “Anak durhaka? Berarti Anda ibu durhaka yang sudah membuang anaknya sendiri?” Perkasa tak gentar. “Jaga bicaramu!” Marissa menggeram marah. “Ya-ya. Dan Anda pun harus melakukan hal yang sama,” tantang Perkasa dengan tenang. “Kau berani memerintahku?” mata Marissa menajam. “Tentu saja. Untuk apa saya takut pada orang yang sudah membuang saya? Anda bukan lagi ibu saya, semenjak Perkasa kecil tersisih, terusir dan terbuang dari keluarga,”
Perkasa melepas cekalannya di tangan wanita itu. Lalu berbalik, “Selamat tinggal, Mama. Aku bahagia bersama keluarga baruku. Dan aku tak pernah membencimu,” ujarnya sebelum benar-benar melangkah dan menghilang di balik ruang kelas.
Perkasa merasa beruntung. Sekolah memberi fasilitas khusus untuk setiap ruang kelas agar pembelajaran tak terganggu dengan suara-suara dari luar kelas. Sehingga pertengkarannya dengan sang ibu di koridor tak terdengar murid lain. Tak ada yang tahu, kecuali Bu Lia. Mungkin ia perlu berterima kasih pada pihak sekolah untuk itu.
Sepertiga malam yang sunyi. Usai melaksanakan salat tahajud, Perkasa berniat menunggu waktu subuh sambil belajar. Di depannya memang telah siap tumpukan buku untuk dipelajari. Namun sang remaja malah melamun teringat masa lalunya. Tragedi dua tahun yang lalu. Satu kejadian yang membuatnya berada di sini sekarang. Peristiwa yang tak akan ia lupakan. Kenangan yang tak akan terhapus dari memorinya meski telah lapuk termakan waktu.
“Nilai macam apa ini! Merah semua! Dasar, Anak Bodoh!” bentakan itu sudah menjadi makanan tiap semester baginya. Sang ayah selalu marah saat mendapati nilai merah di rapornya. Lalu sang ibu menambah panas suasana. Wanita paruh baya itu membanding-bandingkan dirinya dengan sang kakak yang jenius. Yang tak pernah memperoleh angka delapan di rapornya. Sembilan puluh, itu nilai terendah kakaknya. Sementara ia? Bisa mendapat nilai 70 saja, sudah sangat bersyukur. Nilai terbaiknya hanya 80, di pelajaran olahraga pula. Dan itu tak akan bisa menghentikan kemarahan sang ayah dan omelan ibu.
“Makanya belajar! Jangan main hape terus! Lihat tuh, kakakmu! Dia tak pernah pegang hape waktu sekolah dulu! Makanya pinter semua! Nggak kayak kamu yang selalu dapat merah di rapor!” omel sang ibunda begitu melihat laporan belajarnya. Selalu begitu.
Puncaknya dua tahun lalu. Tepat ketika kenaikan kelas sembilan. Tanduk di kepala sang ayah langsung muncul begitu melihat sederet kalimat di lembar terakhir rapornya.
‘Dengan mempertimbangkan nilai di atas, maka peserta didik dinyatakan TINGGAL DI KELAS : 8-J’
Bagai tersambar petir di siang bolong, ibu dan kakaknya nyaris pingsan. Sedangkan tangan sang ayah sudah melayang ke pipi mulusnya. Perkasa kecil hanya mampu menunduk diam saat laki-laki yang selama ini sangat ia cintai dan hormati marah besar kepadanya. Ia menyadari, ini salahnya yang tak begitu rajin belajar. Namun patutkah orangtua memarahi anaknya hingga main tangan seperti ini?
“Anak macam apa kamu ini?! Bisanya cuma malu-maluin keluarga! Pergi! Pergi dari rumah ini!” Perkasa masih ingat, sang ayah mengatakannya seraya menunjuk-nunjuk pintu rumah, menendang pintu hingga menjeblak terbuka.
Diam. Setetes air mata meluncur dari mata bocah lima belas tahun itu. Cintanya tertolak. Kedua orangtua yang selama ini tulus ia cintai, kini memintanya pergi dari rumah. Mengusirnya. “Punya telinga nggak?! Keluar kamu!”
Tanpa pembelaan dari siapa pun. Kini sang anak malang tertendang dari rumah oleh ayahnya sendiri. Menangis ketakutan dalam kegelapan yang sunyi. Tanpa teman. Tanpa saudara. Perkasa kecil benar-benar sendirian. Ia lupa, bahwa ia masih punya Allah. Tuhan yang telah lama ditinggalkannya.
Perkasa tersenyum miris mengingat semua itu. Namun ia percaya, takdir Allah selalu indah. Tanpa semua yang telah dialaminya, ia tak akan bisa jadi seperti sekarang ini. Ia tahu, Allah selalu punya kejutan indah untuk makhluk-Nya.
Ia sadar. Meskipun cintanya pada keluarga tertolak, masih banyak yang mencintainya di luar sana. Kini ia telah memiliki cinta yang baru. Cinta yang diterima oleh orang-orang yang dicintainya. Cinta yang tak pernah melebihi cinta kepada-Nya. Itulah cinta Perkasa yang baru. Dan seperti yang Bunda bilang. Ia harus tetap perkasa seperti namanya. Meski cintanya pada sosok wanita yang telah melahirkannya tak pernah terbalas. Karena ia adalah Perkasa yang selamanya akan tetap menjadi Perkasa.
Cerpen Karangan: Decha In Vera Blog / Facebook: Decha Invera