Tiap harinya, yang dilakukan Finar adalah berdiri di depan kaca jendela, menatap lamat halaman rumahnya yang terhampar ratusan varietas bunga dan bila beruntung dapat melihat rona senja saat sore hari tiba. Sudah seminggu dia tidak masuk sekolah, memilih berdiam diri dalam kamar; membatasi ruang geraknya. Sebuah lingkaran hitam di bawah matanya terlihat begitu jelas, insomnia pesistent yang dideritanya membuat gadis itu dua hari nyaris tidak tidur kalau pembantu lancang itu tidak memasukkan sejenis benzodiazepin—sejenis obat penenang dalam makanannya. Manusia memang tidak bisa dipegang ucapannya, begitulah Finar memegang prinsip selama enam belas tahun dalam hidupnya.
Dirinya yang dulu adalah kebalikannya yang sekarang. Semua serba datar dan biasa-biasa saja, tidak ada senyum lagi di wajah gadis remaja itu. Entah berapa lama ia tidak pernah tersenyum, semua yang ada hanyalah rasa khawatirnya yang akan menjadi terhadap rasa ketidakpercayaannya pada sikap manusia di sekelilingnya.
Ia dikejutkan dengan bunyi ketukan pintu, Finar tidak menjawab karena itu sekadar formalitas belaka, dan benar selanjutnya orang itu masuk. Ia mendekati Finar dan memeluknya dari belakang. Gadis itu terdiam, merasakan embusan aroma daun mint yang tercium dari belakang tubuhnya.
“Kapan kamu akan berubah Fin? Kakak capai, urusin surat kepindahanmu yang tak sampai sebulan,” suara pria itu terdengar, Finar merasakan sebuah tangan menyentuh rambutnya lembut. Gadis itu masih bertahan pada kebisuannya.
Untuk sesaat, laki-laki itu melepaskan pelukan. Bergegas membersihkan ceceran buku tebal di sekitar kamar adiknya. Menyapu pecahan beling yang tercecer di lantai, hingga merapikan tampat tidur Finar yang tampak kusut. Sekali lagi, gadis itu tak mau ambil pusing, melihat semesta lebih baik ketimbang melihat hidupnya sendiri.
“Kamu nggak suka ya punya banyak teman? Bisa jalan keluar, tersenyum bersama—” “Saya nggak butuh semua itu, saya cuma butuh ketenangan. Dan kakak mengganggu ketenangan saya!” potong Finar dengan nada ketus dan dingin. Virza—lelaki yang menjadi kakak Finar tersenyum miris, sejak kapan percakapan mereka seformal itu, apalagi untuk ukuran anak remaja. Finar berbeda dari gadis delapan tahun lalu, gadis dengan senyum ceria dan lesung pipinya, gadis yang senantiasa bahagia ketika menceritakan teman-temannya. Tapi apa? Virza seakan melihat sisi kelam Finar yang sebenarnya, seakan jiwa Finar yang penuh warna ditenggelamkan pekatnya rasa. Gadis itu seakan … sudah mati rasa. Mata berbinar itu meredup tergantikan dengan tatapan datar dan masa bodoh.
“Kalau sudah urusannya, silakan Kak Virza keluar.” Tak banyak berkata, pria itu meletakkan sebuah bingkisan warna tosca di atas tempat tidur Finar, sebelum menenggelamkan diri di balik pintu pria itu sempat buka suara. “Selamat ulang tahun adikku, happy sweet seventeen,” katanya sebelum benar-benar menghilang. Finar bergeming, sesaat sorot mata itu agak terkejut namun segera datar kembali. Laki-laki itu tidak akan mengerti betapa suramnya hidup Finar saat di luaran sana. Betapa ia membenci manusia, betapa ia membenci yang namanya teman. Semua sudah berubah, bukan Finar yang memulainya tapi mereka.
—
Hari ke delapan belas, akhirnya gadis itu keluar kamar mengenakan seragam SMA-nya. Virza yang asyik mengoleskan selai kacang di atas rotinya langsung tersenyum cerah dan menyuruh Finar untuk segera mendekat. “Kamu mau sekolah lagi? Kebetulan, kakak nggak sibuk hari ini. Kantor juga sedang lengang, kakak akan temani kamu cari sekolah,” katanya bahagia. “Saya bisa cari sendiri, urusi saja pekerjaan Kak Virza.” Gadis itu berdiri sembari mencomot roti isi selai nanas lalu bergegas pergi.
Finar sampai di sebuah sekolah sederhana itu, berbeda dari sekolahnya dulu, bangunan di depannya tak bertingkat dan tidak luas. Pagarnya juga sudah mulai lapuk, tapi Finar masa bodoh dengan itu semua. Tadi malam, ia sudah memikirkan matang-matang ia harus segera lulus dan mencari pekerjaan, dengan itu Finar dapat menabung untuk membeli bangunan yang jauh dari pusat kota. Pendapatan dari hasil tulisan yang selalu berhasil dimuat dalam surat kabar pun tak seberapa, uangnya hanya Finar tabung tidak pernah digunakan.
Kembali Finar harus berdiri di depan puluhan pasang mata itu, tiba-tiba ia gugup, mendadak mual dan pusing, rasa takut itu menjalar kembali. Ia menatap puluhan manusia yang seumuran dengannya seperti melihat predator ganas yang akan memangsanya. “Maaf, saya tidak bisa!” gadis itu berlari keluar kelas. Mencari tempat sesepi mungkin, ia menangis tergugu di rerumputan kering itu. Sungguh ia ketakutan, bahkan tangannya masih gemetar, ia terlalu takut kepada mereka. Finar mengambil inhaler dari saku roknya, menghirup benda itu kuat-kuat.
“Finar, apakah kamu baik-baik saja?” Seorang guru perempuan yang tadi menyuruhnya memperkenalkan diri di kelas berdiri di depannya, gadis itu menggeleng. Ia tidak sedang baik-baik saja. “Kamu kenapa? Malu?” Lebih dari kata itu … batin Finar. Ia tidak bisa memaksakan dirinya untuk bersosialisasi. Ia benci saat mendengar gelak tawa itu ketika mendengar dirinya yang gagu dalam bercakap.
Bel istirahat tiba, Finar masih bergeming dalam posisinya. Memperhatikan sekelompok anak laki-laki yang bermain bola dalam kelas, lalu tanpa sengaja benda bulat itu mengenai keningnya. Finar geram, tak berpikir lagi langsung menusuk bola itu dengan kukunya yang runcing. “Hei, lancang banget sih!” kata seorang laki-laki berpakaian berantakan mendekatinya. Finar mendelik, ia tidak pernah takut untuk dibentak, justru itu makin menyulut emosinya. “Siapa duluan yang cari masalah? Saya tahu, kamu memang niat menendang bola itu ‘kan supaya kena dahi saya?” Laki-laki itu menyeringai, membuat Finar gugup dan wajahnya tampak pias. “Lo pintar juga ya ternyata. Bagus deh, memang gue niatnya kayak gitu. Mau ingatin lo aja, jadi anak jangan cari muka di depan guru!” kata cowok itu segera berlalu dari hadapannya disertai tertawaan laki-laki lainnya. Finar menelungkupkan wajahnya di atas meja, tidak ada yang pernah tahu gadis itu menangis dalam kediamannya. Apakah ia harus mengurung diri lagi seperti kemarin?
Ketika pelajaran dimulai, pandangan Finar juga tidak fokus ia merasa sedikit tidak nyaman pada tempat duduknya. Karena itu sang guru merasa risih karena tidak dihargai, guru laki-laki itu meminta Finar mengerjakan soal ke depan. Dan benar saja, bunyi sobekan itu terdengar nyaring dari roknya, Finar yang telanjur maju jadi malu, wajahnya memerah dan secepat itu seluruh tawa anak-anak pecah. Finar menegang di tempat, kejadian ini hampir menyerupai kejadian delapan tahun yang lalu, saat ia terang-terangan mendapat gunjingan dari teman satu kelasnya hanya karena hanya nilainya saja yang baik. Ia dituduh mencuri jawaban. Finar yang saat itu lugu, dijadikan sebagai kambing hitam, ditertawakan, dihina, sampai psikis gadis itu terganggu. Tidak pernah ada yang tahu, karena saat itu Virza juga sedang menyelesaikan pendidikannya di Jerman.
Sorot mata menghina itu ditangkap Finar kuat-kuat, hatinya seperti terpukul benda kuat yang membuatnya retak bertubi-tubi. Finar segera berlari meninggalkan kelas, gadis itu terus berlari hingga keluar dari area sekolah. Lalu, Finar merasa tubuhnya ditarik seseorang. “Sudah … sudah, tenang. Kamu sudah aman, mereka tidak akan menertawaimu lagi.” Virza. Finar mengernyit, mengapa bisa kakaknya yang super sibuk ini berada di sini—bersamanya? “Kenapa kamu tidak pernah cerita kalau kamu seorang catagelophobia?” Finar menangis tergugu, kakaknya sudah tahu tentang phobia yang dialaminya. Catagelophobia adalah sejenis ketakutan berlebihan yang dialami seseorang karena takut ditertawakan. Finar pengidap akut phobia itu, sudah delapan tahun ia menanggung semua itu sendiri, tanpa ada yang tahu dan peduli.
“Maafkan kakak yang selalu memaksa kamu untuk sekolah, kakak janji akan mengobati phobia kamu sampai sembuh. Kakak janji akan datangkan guru pribadi buat kamu, tapi kakak mohon jangan dingin lagi sama kakak. Hanya kamu yang kakak punya,” Virza terlihat menderita sekali, ia merasa gagal menjadi seorang kakak yang menjaga adiknya. Harusnya ia berada di masa-masa tersulit itu, tidak membiarkan psikis Finar terganggu. Kedua kakak beradik itu saling memeluk, seakan menyalurkan sinyal persaudaraan yang pernah terhalang jarak dan waktu.
Cerpen Karangan: Linda Kartika Sari Blog / Facebook: Linda Kartika Sari