Malam itu, tidurku diganggu dengan suara tangis Insan yang hampir merobek gendang telinga. Aku segera mengambil bantal untuk menyumpal telinga; berisik. Insan memang anak tidak tahu aturan, aku membenci fakta jika Insan adik laki-lakiku satu-satunya. Kami terlahir dari keluarga sederhana, bertempat tinggal di kampung kecil yang penduduknya pun tak sampai 600 orang. Menghuni sebuah pulau yang jauh dari kata subur dan makmur, segala bentuk kesusahan dan kekurangan sudah menjadi santapan sehari-hari kami para penduduk.
Prang! Aku langsung terduduk dari tidur ayam-ayamku, sudah menduga pasti Insan buat masalah lagi. Insan, adik laki-lakiku yang berumur 15 tahun dan masih duduk di kelas dua SD. Kenapa, terkejut? Insan terlahir dengan tidak normal 15 tahun silam, ia lahir dengan bagian kepala yang lebih menonjol daripada tubuhnya. Awalnya, aku memang mengharapkan seorang adik laki-laki, tujuanku hanya satu, ia dapat membantu perekonomian keluarga. Namun, kenyataan Insan yang sulit bicara dan kadang tidak bisa mengontrol emosinya–membawa derajat keluarga kami makin terbawah di antara tujuh puluh kepala rumah tangga yang menghuni kampung kami.
“Ada apa, Mak?” tanyaku pada seorang wanita yang masih lengkap mengenakan mukena warna putih, dialah malaikat tanpa sayapku. Kulihat, wajah Mamak seperti tak berdaya; pucat pasi dan banjir air mata.
“Adikmu kumat lagi,” katanya lirih. Kuperhatikan Mamak berkali-kali menyusur air mata di pipinya. Kami pun segera berlari menuju kamar Insan, ruangan sempit ini tampak seperti kapal pecah–berantakan. Insan lagi-lagi mengamuk tak jelas, lampu damar yang menjadi pelita dalam ruangan gelapnya sudah pecah. Untung saja apinya tidak melebar. Insan menarik kain gorden yang menjuntai di perbatasan pintu.
Kemudian, ia terpelanting ke belakang. Aku menamparnya hingga membuat suara Mamak menjerit. Kekesalanku sudah pada puncaknya, bukannya mengurangi beban keluarga ia malah membuat kehidupan kami makin susah. Iya jika kami orang berada, mau sakit apa pun pasti akan kami berikan pengobatan terbaik dengan kualitas di atas rata-rata. Tapi, apalah daya seorang miskin seperti kami? Mempunyai seorang Mamak yang tiadakan suami, Bapak entah merantau ke mana semenjak sepuluh tahun silam. Kurasa ia sudah punya keluarga baru dan melupakan kami yang susah.
“Apa-apaan kau Bujang?! Dia adikmu, kau tahu adikmu itu cacat!” pekik Mamak sembari mengguncang kedua bahuku. Aku terdiam, meredakan gejolak emosi yang bernaung di dadaku, iblis menguasai ragaku. Kulirik, Insan terdiam di sana, matanya terus-terusan melihat ke bawah.
Aku dan Mamak begitu terkejut melihat Insan menggali tanah yang menjadi pijakan rumah. Tanah pun dengan cepat terkumpul membentuk gunung kecil, kuku Insan yang panjang membuat sebagian tanah memasukinya. Kami makin terkesiap lagi saat ia memasukkan tanah itu ke dalam mulutnya, mencecapnya lalu menelan tanah itu mentah-mentah.
“Insan, jangan Nak! Itu kotor!” teriak Mamak frustasi, ia segera menarik tubuh Insan agar berdiri sejajar dengan kami. “LAPAR!” teriak Insan menjadi-jadi. Ia menangkis tangan Mamak hingga kembali terduduk lagi di tanah, tangannya kembali memasukkan tanah ke dalam mulutnya. Aku pun mencoba melerainya, meski tak ada sedikit pun rasa sayangku untuknya … aku masih punya rasa kasihan sebagai makhluk Tuhan. Dia masih memiliki hubungan darah denganku, jadi menolongnya kurasa tak ada ruginya.
Saat aku berhasil membawanya bangkit berdiri, sesuatu malah mengenai kedua mataku hingga meringis perih, Insan melempariku dengan tanah.
“Sakit!! Kau memang anak tidak tahu diri, Insan!” semburku, kurasakan sebuah tangan membimbingku entah ke mana, lalu dengan cekatannya tangan itu membasuh wajahku dengan air.
“Nak, tebalkan rasa sabarmu itu. Kau tahu, adikmu tak pernah meminta untuk dilahirkan menjadi cacat seperti itu,” ujar sebuah suara yang terdengar femiliar di telinga.
—
Aku pulang dengan bermandikan peluh keringat di seluruh tubuh, rasanya lengket dan tak keruan. Kuhempaskan pantat di kursi reyot yang terletak di beranda teras–mengibas-ibaskan kaus warna abu-abu agar keringatnya segera mengering dan bisa langsung mandi. Dari kejauhan netraku dapat melihat seorang anak dengan tinggi 160 cm memakai seragam merah-putih dengan digandeng seorang wanita berkerudung hitam, aku menghela napas semoga saja anak itu tidak buat masalah di sekolah.
Aku pun mempersilakan wanita itu duduk, Insan pun ikut duduk di samping wanita itu sembari memainkan kuku-kuku panjangnya. Lalu, Mamak datang tersenyum semringah kala melihat keberadaan mereka. Pembicaraan hangat antara mereka pun dimulai tapi, pikiranku berkelana ke segala hal. Mungkin, akibat stres yang berkepanjangan hingga aku tak memerhatikan wanita itu sudah keluar dari rumah disusul Mamak dan Insan.
Sungguh aku tak mengerti hal apa yang tengah mereka bicarakan, aku baru sadar kala mamakku terisak. Tubuhku langsung kaku, aku begitu benci melihat sosok wanita yang kusayang malah menangis. “Ada apa, Mak?” tanyaku khawatir.
“Adikmu dikeluarkan dari sekolah, pihak sekolah tidak sanggup lagi menampung orang cacat pikir seperti Insan,” katanya.
Aku terdiam, entah sejak kapan sudut mataku sudah berair, hatiku memanas seperti ada tungku di dalamnya. Tanganku terkepal rapat hingga terasa dingin karena peredaran darah agak terganggu dengan kekangan ini. Kulampiaskan emosi ini dengan meninju meja. Mamak terkejut, lalu tatapanku beralih kepada Insan. Kuperhatikan ia terus tersenyum dan memainkan remote televisi yang sudah rusak.
Aku bangkit berdiri dan menyeretnya menuju kamar, Mamak panik dan menahan lenganku. “Mulai sekarang, aku yang akan menjadi guru untuk Insan!”
Mamak hanya bergeming di tempat tak lagi mencegahku. Hari ini dan seterusnya, aku memutuskan untuk menjadi guru bagi Insan. Ilmu dari SMA berusaha kuingat semaksimal mungkin. Jika orang lain menganggapnya tidak mampu, akulah yang akan mengucapkan omong kosong kepada mereka. Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini, aku yakin kelebihan hadir di antara kekurangan.
Seperti saat ini, aku memaksa Insan untuk menghafal setidaknya perkalian satu hingga sepuluh, pembagian dan operasi hitung lainnya seperti akar dan kuadrat. Mengajarinya bahasa Inggris walau aku sendiri agak kesulitan mengucapkan kosakatanya. Aku sadar memang bukanlah kakak laki-laki yang baik untuknya, selama ini sikap dinginku kepadanya sudah cukup untuk menamparku keras-keras; menimbulkan bekas yang abadi.
Sepuluh tahun berlalu, menjadi seorang lelaki jangkung berusia tiga puluh lima tahun tidaklah bisa dikatakan muda ataupun tua. Aku, seorang lelaki yang pernah gagal menjadi kakak, kini harus berdiri di ruangan selebar lapangan golf dengan berisikan lautan manusia. Berstatuskan sebagai wali dari seorang dosen yang pernah tersingkirkan dari dunia pendidikan sepuluh tahun yang lalu. Tak kurasa waktu begitu cepat berputar, meninggalkan gelar ‘Master’ di belakang nama Insan–adik laki-lakiku yang cacat.
Ini bukan sekadar cerita bualan belaka, tentang seorang cacat yang dapat meraih impiannya. Kurasa, adikku adalah satu dari delapan miliar orang di dunia yang dapat mencecap kata ‘sukses’ di usianya yang ke dua puluh lima tahun. Kini, menjadi seorang dosen sekaligus pendiri perusahaan batu bara yang cukup bonafit di negeri ini. Seperti yang pernah kubilang dulu, kelebihan ialah sesuatu yang tersirat di balik kekurangan dan sepertinya Insan kembali mengulang kisah seorang Thomas Alva Edison seorang penemu yang berpengaruh besar terhadap dunia. Pernah saling dipojokkan dengan kecacatan yang mereka punya, lalu bangkit untuk memperbaiki masa depan.
Aku tersenyum bangga, menyeka air mata yang sudah sampai di sudut mataku. Lima belas tahun yang lalu, aku baru menyadari jika Insan penderita pica–sebuah kelainan otak yang membuat si penderita memakan zat yang tidak seharusnya menjadi bahan konsumsi. Suatu malam itu–aku baru disadarkan dengan kenyataan tersebut, saat tanah harus menaungi usus dua belas jarinya dan bergabung bersama enzim di tubuhnya.
“Bang!” seru seseorang menepuk bahuku.
Dia berdiri mengenakan toga dan medali emas dengan begitu gagahnya, bukan lagi seorang bocah yang hanya bisa tersenyum saat kumarahi. Nasib selalu menyibak rahasia, anak kecil yang tidak normal pun dapat menggenggam dunia dalam tangannya. Mewujudkan cita-cita remangnya, sempat terbelenggu oleh status sosial yang mendiskriminasinya dulu.
Cerpen Karangan: Linda Kartika Sari Blog / Facebook: Linda Kartika Sari