Waktu terus merangkak. Tanpa terasa bilangan hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Dan di setiap bulan yang tergenapi dan terganti, Ditya tak dapat menghitung berapa banyak kasih sayang maupun perhatian yang telah dicurahkan Aa Tegar untuknya.
Sejak ia mengucap ikrarnya kepada Aa di tengah keremangan lampu patromak tiga bulan yang lalu, Aanya itu nampak lebih perhatian dari yang dirasakan Ditya. Bukan limpahan materi yang diberikan Aa, karena memang Ditya tahu dalam hal itu Aanya serba kekurangan. Melainkan kasih sayangnya yang terus tercurah. Dari tatapan matanya saat memandang Ditya, dari belaian penuh kasih yang kini selalu Ditya rasakan di sela-sela tidurnya, maupun doa-doa yang selalu terpanjat untuknya.
Dan Ditya dapat merasakan, rasa kasihnya terhadap lelaki yang paling ia sayangi & hormati melebihi ayah kandungnya itu semakin besar dan terus bertambah setiap harinya. Saat ia merasa lelah harus mengerjakan beragam tugas-tugas sekolah yang semakin bertumpuk, kilasan wajah bermata teduh itu berkelabat memenuhi fikirannya dan membuat raganya kuat kembali. Pun bermacam aral & rintangan yang menghadang dirasakannya tak sedikitpun mengubah kebulatan tekadnya untuk bisa membahagiakan kakaknya tercinta.
Ditya percaya bahwa setiap orang akan menuai hasil dari perbuatan yang ia tanam. Dan Ditya memetik hasil dari kerja kerasnya saat ia berdiri dengan bangga diatas podium kehormatan sebagai siswa dengan nilai kelulusan terbaik. Ia lihat dari seberang aula Aanya nampak berkaca-kaca. Tak bisa digambarkan betapa bahagianya perasaan Ditya saat itu. Meski samar Ditya dapat melihat kembali senyum itu. Benar-benar sebuah senyuman, walaupun tipis dan tak seindah dulu.
Dalam perjalanan pulang, dengan dibonceng sepeda tua milik Aanya, Ditya terus berceloteh. Aanya hanya menimpali sambil mengangguk takzim. Langit cerah dengan awan-awan putih yang terbentang serasa ingin mereka gapai. Mereka begitu bahagia. Dan Aa Tegar tahu bagaimana caranya melengkapi kebahagiaan itu, yaitu dengan membelokkan stang sepedanya menuju sebuah danau kecil tempat ia & adiknya akan bernostalgia mengenang kronik masa lalu mereka, saat dulu mereka kerap bermain sambil melempar bongkah-bongkah batu, menyenandungkan mimpi-mimpi masa kecil mereka sambil ditemani kue pancong, es kelapa muda & rujak petis.
Aa Tegar tak dapat menyembunyikan rasa bahagianya saat Ditya memutuskan untuk mendaftar kuliah di Politekhnik Universitas Indonesia mengambil jurusan Tekhnik Mesin dan lebih bahagia lagi saat melihat nama adiknya terpampang di salah satu surat kabar terkemuka sebagai satu dari ratusan pelamar dari seluruh nusantara yang berhasil lulus ujian SMPTN. Sungguh sulit untuk bisa diterima sebagai calon mahasiswa di Universitas bergengsi itu. perbandingannya seratus berbanding satu, karena dari dua ribu lebih peserta ujian, hanya tersedia seratusan kursi.
Sejak hari itu dan seterusnya Aa Tegar terus dilanda euforia. Setiap hari, tanpa rasa jemu ia berkoar kepada siapapun yang mau mendengar celotehnya, tentang adiknya yang sebentar lagi akan menjadi mahasiswa politekhnik UI. Tak peduli tanggapan acuh dari lawan bicaranya, Aa Tegar terus mengoceh dengan kebanggaan meluap-luap sambil menyodorkan lembaran koran usang itu kepada siapapun, mulai dari langganan-langganannya, tukang asongan, pedagang-pedagang pasar, hingga tukang sapu jalanan.
Aa Tegar yang dulu seolah lupa bagaimana caranya tersenyum, kini nampak ceria dan penuh semangat. Keceriaan itu seakan menular pada orang-orang disekitarnya. Entah bagaimana dimata Ditya, kini Aa nampak sepuluh tahun lebih muda dari usianya. Janggut & kumisnya ia cukur rapi. Rambut hitam lebat yang dulu melengkapi wajah tampannya kini selalu ia sisir. Dan bersamaan dengan itu, senyum pelanginya yang dulu hilang perlahan terbit kembali. Yang mau tak mau menerbitkan decak kagum kepada siapapun yang memandang sosok rupawan itu.
Pesona Aa berimplikasi langsung pada banyaknya pelanggan-pelanggan baru yang kini membludak menyerbu kios kelapa parutnya. Ditya yang saat itu tengah menikmati masa liburan, mau tak mau terjun membantu Aa. Tak disangkanya, banyak langganan Aa yang telah mengetahui profil Ditya. Lulusan terbaik SMAN 2 Tangsel sekaligus calon mahasiswa Politekhnik UI.
“Ieu adi maneh, nu kamari maneh caritakeun? (Ini adikmu yang kemarin pernah kamu ceritain)?” tanya seorang ibu muda berdandan menor. Aa menjawab sambil mengangguk riang “Muhun (Iya)” “Saha karah namina ibu poho (Siapa namanya ibu lupa?)” “Ditya!” jawab Aa. Tak lupa sebuah senyum terlukis diwajahnya, senyum yang mampu membuat sepasang mata genit ibu muda itu tak berkedip. “Aninditya Syahrur Ramadhan”. Aa nampak bangga saat mengucapkannya. Diceritakannya pula kalau nama itu Aa sendiri yang memberikan. “Euleeuh… euleuh mani kasep pisan adi maneh teh (ganteng banget adik kamu)” Aa berseloroh riang. “Atuuuh ibu.. Aa’na geh kasep, komo deui adina (Kakaknya aja ganteng apalagi adeknya)” si ibu menimpali dengan tersenyum, yang membuat barisan giginya yang tonggos menyembul diantara bibir tebalnya. Ditya turut tergelak mendengar percakapan itu. Ia pandangi lagi sosok Aanya. Aanya itu berbadan lebih tinggi darinya. Kulitnya sebenarnya putih cerah, namun karena kebiasaannya sedari remaja melawan terik matahari sambil memanggul karung-karung terigu, kadangkala sambil bertelanjang dada, membuat kulitnya menjadi kecoklatan. Rambutnya hitam lebat dan sama sekali tak bergelombang, sedangkan Ditya berambut keriting pirang. Hanya itu ciri fisik yang membedakan ia & kakaknya. Selebihnya wajah & raut muka keduanya begitu mirip, walaupun perbedaan usia diantara mereka terlampau jauh.
Abah hanya sesekali datang untuk meminta uang. Belakangan ini malah abah yang memberi Aa sejumlah uang yang dengan tegas Aa tolak. Ia tahu pasti darimana abahnya itu mendapatkan uang. Belakangan ini peruntungan abah sedang bagus, berkali-kali ia menang j*di dengan jumlah yang tak sedikit. Aa hanya bisa mengurut dada setelah tahu kalau abahnya itu banyak mengahabiskan uangnya di tempat-tempat pelac*ran. Nasihat Aa hanya dianggap angin lalu dan abah tak sedikitpun berniat mengubah perangai buruknya.
Ditya Tak dapat menyangkal bahwa saat ini setiap detik yang dilaluinya, ia rasakan sabagai saat-saat terbaik dalam hidupnya. Kebersamaan ia & kakaknya berlangsung dalam keceriaan yang takkan lekang oleh waktu. Ditya & Aa Tegar seolah ingin mengganti saat-saat bahagia mereka yang telah bertahun-tahun hilang, dengan banyak menghabiskan waktu bersama. Di minggu sore yang cerah mereka berdua pergi memancing, di saat-saat senggang mereka banyak mengobrol seputar hal-hal kecil yang kini menjadi menarik bagi mereka. Dan Aa terus memanjakan Ditya. Seminggu sekali ia pergi ke pasar Serpong untuk membeli barang-barang yang sebetulnya tak terlalu dibutuhkan adiknya. Ia membelikan Ditya banyak sekali kemeja, celana jeans maupun T-Shirt dengan beragam model. Meski Ditya menolak, Aa tetap membelikannya barang-barang yang bagi ukuran ekonomi mereka, terbilang mewah. Mulai dari jam tangan, tas dan sepatu bermerk, hingga sebuah laptop & telepon genggam. Ditya tahu Aa menguras habis saldo tabungannya yang jumlahnya tak seberapa, Uang yang telah dikumpulkannya dengan susah payah. Saat Ditya mencoba mengelak, Aanya menimpali kalau ia ikhlas memberikan itu semua buat adiknya.
“Kamu udah jadi mahasiswa Ditya, kamu harus berpenampilan rapi. UI kan kampus elit. Aa gak mau adik Aa yang ganteng ini, jadi bahan ejekan kawan-kawannya di kampus cuma karena memakai celana jeans sobek atau kemeja yang ditambal sana-sini” Meski penjelasan Aa masuk akal Ditya tak mencoba mengiyakan. “Tapi A…, tujuan Ditya ke kampus kan buat belajar bukan buat gaya-gayaan. Aa gak usah beliin Ditya apa-apa lagi. Mending uangnya ditabung buat keperluan Aa.” Ditya berbicara agak keras. Sebenarnya ia tak ingin mendebat Aanya, namun ia juga tidak mau orang menganggapnya adik yang tak tahu malu dengan membiarkan ia berpakaian necis, sementara Aanya kemana-mana mengenakan kaus lusuh bekas kampanye Walkot bertuliskan Airin-Benyamin atau kaus kuning mencolok dengan kerah belel berslogan ‘kesempurnaan minyak goreng’, yang lebih pantas menjadi keset daripada sebuah baju. “Maafin Aa Ditya kalo Aa salah. Aa Cuma pengen liat kamu seneng Ditya, Cuma itu!” tak disangkanya Aanya terlihat sedih, Ditya jadi merasa bersalah. “Gapapa Aa. Aa gak seharusnya minta maaf. Ditya seneng nerima pemberian Aa, tapi Ditya lebih seneng lagi kalo Aa penuhin dulu kebutuhan Aa sendiri.” Ditya berat mengatakannya kalau sebenarnya ia risih dengan penampilan Aa yang dalam kesehariannya begitu lusuh & dekil. ‘Bagaimana akan ada cewek yang tertarik sama Aa, kalo Aa terus berpakaian seperti itu?’ Batin Ditya. Ia tahu usia Aa sekarang 28 tahun. Teman-teman sebayanya banyak yang sudah menikah. Sedang Ditya, berdua dengan Teh Lilis tanpa sepengetahuan Aa, telah menabung sedikit demi sedikit dari hasil menyisihkan uang jajan, dari berjualan asongan & gorengan, serta dari mengajar les privat untuk keperluan Aa apabila kelak suatu saat Aa telah menemukan jodohnya. Menabung memang selalu jadi pilihan mereka, mengingat mereka tak punya suatu apapun untuk dijual maupun digadai, sedangkan pantang bagi mereka untuk meminjam atau meminta kepada orang lain.
Sebenarnya, bukannya tidak ada gadis yang bersedia menjadi pendamping hidup Aa. Lima tahun lalu Aa pernah hampir menikah dengan Annisa, sahabat dekat Aa sewaktu SMA dulu. Ditya kerap melihat Aa Tegar & Teteh Annisa berjalan berdampingan tiap kali pulang tarawih di mesjid agung. Waktu itu Ditya kerap menggoda mereka. Sungguh Ditya senang sekali tiap kali melihat pasangan harmonis itu. Teh Annisa yang cantik & anggun nampak serasi dengan Aa Tegar yang ganteng & tegap. Namun kebersamaan mereka tak berlangsung lama. Keluarga Annisa yang kaya & terpandang menolak mentah-mentah lamaran pernikahan yang diajukan Aa. Ditya dapat membayangkan betapa hancurnya hati Aa saat itu. Tapi di pertemuan terakhir mereka saat Annisa memutuskan melanjutkan studi S2 nya di Jakarta, Aa nampak tegar seperti biasa. Aa sendiri yang mengantar kepergian Annisa. Saat lambaian tangan Annisa hilang diantara deru kereta api, Aa berjalan lunglai meninggalkan peron stasiun dengan wajah tertunduk. Sejak itu tak pernah lagi ada wanita yang hinggap dalam kehidupan Aa.
Kebersamaan Ditya bersama Aanya yang terus terukir dalam kebahagiaan, kian hari terasa kian bertambah. Ditya yang menyandang lulusan terbaik pada tahun ajaran 2014-2015 sekota Tangerang Selatan, mendapat banyak tawaran beasiswa dari berbagai perusahaan & instansi pendidikan. Seketika namanya menjadi buah bibir. Beberapa koran lokal bahkan memuat profilnya. Tak perlu di ceritakan lagi kebahagiaan Aa saat foto adiknya terpampang di surat kabar.
Senyum tak henti tertoreh menyertai hari-hari Ditya, saat ia tak perlu lagi bermimpi untuk melihat senyuman indah itu. Binar kebahagiaan telah mengikis selubung awan pekat dimata kakaknya. Di setiap doa yang ia panjatkan selepas shalat, ia tak pernah lupa mengucap syukurnya kepada sang khaliq atas kebahagiaan yang senantiasa menyertai keluarganya, semoga hari-hari bahagia ini takkan cepat berlalu. Sayang, manusia hanya bisa berkehendak. Selebihnya, goresan takdir ilahi yang telah tercatat sempurna dalam lauhul mahfudz tak dapat diubah oleh siapapun.
Aa selalu menyempatkan mengantar Ditya ke stasiun KA Serpong tiap kali Ditya hendak berangkat kuliah. Ditya tak tahu alasan kenapa ia mesti diantar kakaknya padahal jarak rumah mereka dari stasiun Cuma lima belas menit berjalan kaki. Namun ia tak bisa mencegah niat baik Aanya, pun ia tak bisa menyangkal kalau ia begitu menikmati saat mencium punggung tangan kakaknya & mendengar petuah Aanya yang sedari dulu tetap sama “Belajar yang giat, biar jadi orang sukses. Jangan seperti Aa”. Ditya tak bisa membayangkan kalau suatu saat ia harus berangkat kuliah tanpa mendengar petuah itu. Aa akan terus memandangi Ditya yang setengah berlari mengejar jadwal kereta, sampai adik tercintanya itu hilang dari pandangannya.
Waktu terus bergulir, tak terasa Ditya telah berstatus mahasiswa semester empat dan walaupun abah belum meninggalkan perangai buruknya, kehidupan Ditya & Aa Tegar tak pernah terasa lebih baik lagi. Ditya berhasil mempertahankan nilai IPKnya diatas 3,7 di tiga semester yang telah dilaluinya. Sehingga beasiswa yang ia peroleh dari salah satu perusahaan ternama di tanah air masih dapat ia genggam. Ia bahkan telah bisa menambah penghasilannya dengan membantu mengelola bisnis kawan dekatnya berjualan pakaian secara online.
Tanpa disadari Ditya, ia telah terlena dalam dunia barunya. Ia begitu sibuk dengan berbagai kegiatannya. Mengelola bisnis, mengajar les privat, mengejar tugas kuliah, serta seabrek kegiatannya di berbagai organisasi kampus. Ia tak lagi rutin pulang ke rumah, dan memutuskan untuk ngekost bersama kawan sesama mahasiswa di kawasan Margonda. Aa Tegar turut senang, meski Ditya tahu berat bagi Aa melengkapi kepingan harinya tanpa mengucap petuah untuk Ditya tersayang, tanpa membelai lembut kening adiknya menjelang tidur, serta tanpa canda & celoteh riang yang senantiasa mengisi kebersamaan mereka. Sedang Ditya merasa, ia telah begitu sibuk & terlena hingga kasih sayang kakaknya yang dulu menyertai hari-harinya di rasakannya tak begitu berarti lagi. Kini ia berfikir, bahwa ia sudah besar. Ia tak perlu lagi tergantung pada siapapun. Ia pintar & mandiri. Ia bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Sementara ia terus disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang begitu gemerlap & serba penting. Aanya yang telah berkorban banyak untuknya terus menjalani kesehariannya dalam kesepian & kesendirian. Aanya tetap pergi ke pasar setiap pukul 2 dinihari, menguliti batok-batok kelapa, dan beristirahat hanya untuk makan, mandi & shalat. Aanya yang dalam kesehariannya selalu mencemaskan keadaan adiknya nun jauh disana. Aanya yang masih kerap bertengkar dengan abah. Aanya yang dekil, kurus, miskin & tak terpelajar.
Sepanjang satu tahun berikutnya, Ditya sama sekali tidak pulang. Hanya percakapan singkat selama 5 menit via telepon yang mengusir kerinduan Aa Tegar saat ia berusaha menanyakan kabar adiknya. Dan kerinduan itu tak dapat tertahankan lagi, saat Aa dengan pakaian lusuhnya menyusul Ditya ke rumah kostnya.
Aa terus menunggu Ditya hingga pulang dari kampus, bayangan adiknya yang berkelabat dalam pikirannya menimbulkan sebersit senyum yang telah lama hilang dari wajah kusamnya. Saat ia dapati sosok adiknya yang nampak sama sekali berbeda menyembul dari daun pintu, Aa segera merangkul sosok itu. Adiknya telah nampak seperti orang terpelajar. Pakaiannya bagus, wajahnya cerah sekali, sedang buku-buku tebal yang ia tenteng di lingkar lengannya membuat adiknya itu terlihat pintar & intelek.
Aa Tegar memeluk adiknya haru. Namun saat mengakhiri perbincangan kecil mereka di sore hari itu, gurat kecewa nampak menggores wajah Aa. Adiknya tak begitu senang dengan kedatangannya. Sikapnya dingin & pelukan yang didapatkannya terasa hambar. Ia tatap adiknya yang waktu kecil sering ia gendong di atas punggungnya. Entah apa yang salah, namun kini ia merasa tak pantas berada di samping adiknya.
Tidak butuh waktu lama agar ia tahu. Di seberang halaman kost-kostan yang terletak di perumahan elit itu, telah menunggu dua mobil Honda Jazz & Toyota Yaris keluaran terbaru. Klaskson mobil terus menjerit. Nampaknya sebentar lagi Ditya akan pergi bersama teman-temannya. Aa Tegar cukup tahu diri, kalau ia tak bisa menyita waktu adiknya lebih lama lagi. Dengan mata teduhnya yang kini mendung diselimuti awan kelabu, Ia tatap adik laki-laki satu-satunya itu. “Maaf A.. Ditya pamit dulu. Ditya sudah ditunggu temen-temen.” Adiknya berujar dengan nada datar. Hati Tegar terasa teriris sembilu. “Gapapa Ditya. Aa ngerti sekarang kamu sibuk. Aa juga gak bisa lama-lama disini. Jaga dirimu baik-baik.” Aa tegar merasakan kata-katanya begitu mencekik tenggorokannya. Petuahnya yang dulu terucap hanya bisa ia simpan dalam hati. Ia sadar hal itu sudah tidak relevan lagi. Tanpa perlu ia nasehatipun adiknya takkan pernah menjadi seperti dirinya. “Ya udah kalo begitu… Ditya berangkat dulu yah, salam buat Teh Lilis sama dek Rahma!” Ditya berjalan begitu cepat meninggalkan kakaknya, bahkan ia lupa untuk sekedar memberi salam. Mobil itu sudah berlalu dari hadapan Tegar saat ia tersadar dari lamunannya.
Saat meninggalkan rumah kost itu, Perasaannya sama seperti delapan tahun lalu kala ia memandang sebuah kereta yang melaju cepat meninggalkan dirinya beserta lambaian tangannya, yang membawa pergi sosok Annisa dari kehidupannya.
Kesehatan Tegar terus menurun. Tubuhnya semakin kurus & kuyu. Tiap hari ia menjalani aktifitasnya dengan ditemani penyakit yang kian hari kian ganas menggerogoti tubuhnya. Ia tak tahu penyakit macam apa yang bersarang di tubuhnya. Dokter bilang ia menderita Aneurisme Aorta suatu penyakit langka yang nampaknya tak bisa disembuhkan. Ia tidak memberitahukan ikhwal penyakitnya kepada siapapun. Ia tetap beraktifitas seperti biasa. Namun sesekali ledakan rasa sakit menyerang dadanya, membuat ia sulit bernafas. Pandangannya menjadi kabur. Dan setiap kali serbuan rasa sakit tak terperi itu mengahampirinya, darah segar mengalir dari lubang hidungnya. Dalam ketidak-berdayaannya ia kerap pinsgan. Di setiap ketidak-sadarannya ia selalu menyebut nama adiknya.
Orang-orang yang berada di sekitarnya kerap dibuat panik saat penyakitnya tiba-tiba kumat & ia terus mengerang kesakitan sambil meremas dadanya untuk sekedar menahan rasa sakit. Dagangannya kian sepi pembeli, dan di saat penyakitnya telah membuatnya tak bisa lagi memanggul karung-karung kelapa seberat dua kali lipat tubuhnya, Ia memutuskan untuk berhenti berdagang. Ia kembalikan seluruh modal yang dulu ia pinjam dari temannya, dan menyimpan seluruh bagian dari laba yang ia peroleh selama delapan tahun berdagang untuk biaya sekolah adiknya.
Tegar merasa hari-harinya yang kini hanya ditemani kepengapan dalam rumah kontrakan kecilnya, terasa dingin & sepi. Di malam hari saat ia terjaga, ia kerap memandang foto adiknya, dan tak bisa lagi menahan ledakan tangis saat ia begitu merindukan sosok itu.
Teh Lilis telah berkali-kali membujuk Tegar agar ia memberitahukan Ditya perihal kondisi kesehatannya. Namun Tegar dengan tegas menolak, ia tak mau membuat Ditya cemas. Apalagi saat ini Ditya tengah mengahadapi ujian Semester yang pastinya akan menguras seluruh waktu & pikirannya.
Cerpen Karangan: Ali Anfal Blog / Facebook: Ali Anfal