Tegar tak bisa berdiam diri, sementara dapur rumahnya menuntut untuk terus mengepul. Toko sembako Cahaya Abadi yang dulu dimiliki pasangan Tionghoa, Koko & Cici Liem, kini telah berkembang pesat. Tegar pernah bekerja disana. Etos kerjanya yang bagus serta sikapnya yang jujur, membuat Koko Darren generasi kedua penerus usaha keluarga yang telah turun temurun itu, mau mempekerjakan Tegar untuk sekedar menimbang terigu & minyak goreng. Tiap hari Tegar bekerja dangan giat meski tubuhnya remuk redam.
Nun jauh di kota Depok, sang adik tengah ketiduran di meja belajarnya. Aktifitas padat yang telah ia jalani membuat kepalanya terasa berat. Di kamarnya berserakan buku-buku diktat kuliah serta lembar-lembar tugas yang menunggu untuk dikerjakan. Diantara kertas-kertas itu terselip foto-foto kakaknya yang empat tahun silam ia temukan diantara barang-barang rongsokan. Foto saat pemilihan ketua osis, foto Aa Tegar berseragam putih abu-abu, foto Aa Tegar dalam seragam tim basket sekolah, foto Aa Tegar saat mengikuti lomba debat bahasa inggris dan foto-foto Aanya yang lain, yang didapatnya dari sebuah album keluarga yang telah usang. Semuanya menampilkan sosok Aa yang tengah tersenyum. Senyuman yang selalu mampu menguatkan Ditya disaat ia lelah. Senyum yang harus selalu ia perjuangkan untuk tetap terukir di wajah kakanya. Senyum yang membuatnya menyesal setelah kelak ia tahu, bahwa ia tak akan pernah bisa melihatnya lagi untuk selamanya.
—
Ditya tengah berada di padang rumput hijau maha luas, udara terasa memenuhi rongga dadanya. Langit terbentang dengan awan-awan putih serupa kapas. Dan diantara hijaunya rerumputan, ia melihat satu sosok tengah berdiri membelakanginya. Ia kenal sosok itu. Sosok yang serupa malaikat dalam mimpi-mimpinya. Namun kali ini ia tak mendapati senyum hangat yang terukir di wajah rupawan itu. Melainkan sebuah duka.
“Aa kenapa sedih? Ayo kita main kejar-kejaran A…” Aanya itu diam saja. Kemudian Satu hal terjadi. Aa Tegar mengangkat wajahnya dan untuk pertama kali dalam hidupnya, ia melihat Aanya menangis. Tangisan yang mampu membuat seisi langit berduka. “Aa kenapa?” Aanya hanya diam. “Ditya kamu tidak akan pernah lupa janjimu kan?” Ditya tak dapat menjawabnya, lidahnya terasa kelu. “Kamu tak pernah lupa nasihat Aa?. Belajar yang rajin Ditya, jangan jadi seperti Aa!!!” “Jangan seperti Aa… jangan seperti…” Sosok itu tiba-tiba menghilang. Dan bersamaan dengan itu, Ditya terbangun. Keringat mengucur deras di wajahnya. Ia tersengal-sengal mengatur nafas. Ia rasakan udara begitu dingin. Bergegas ia bangun & melongok jam dinding di kamarnya. Jam 7.20 malam. Sayup-sayup terdengar suara muadzin mengumandangkan adzan isya. Ia segera berwudhu.
Selesai menunaikan shalat, hatinya kembali terasa gundah. “Ya Allah ya Rob… apa yang terjadi dengan Aa? Kenapa perasaanku tidak enak begini? Semoga tidak terjadi sesuatu yang tidak-tidak. Semoga Aa disana sehat-sehat saja” Perasaannya tak kunjung membaik. Ia tak bisa tidur semalaman. Bayangan kakaknya selalu mengisi fikirannya. Hingga ia memutuskan pagi itu juga, selepas menunaikan shalat subuh, ia beranjak dari kostnya, menyater angkot yang mengantarnya ke stasiun Depok. Ia bergegas menyerbu loket dan setengah berteriak menyebut Serpong saat petugas loket menanyakan tujuannya.
Perjalanan itu ia rasakan begitu panjang. Kakinya tak bisa ia paksa berhenti untuk mengetuk-ngetuk lantai peron saat ia dengan perasaan tidak sabar menunggu datangnya rangkaian kereta. Ia coba menghubungi kakaknya via telepon yang setiap kali selalu di jawab operator wanita. “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah…”. ‘Sialan!!!’ umpatnya dalam hati. Kecemasannya tak kunjung reda kala ia berdiri di dalam gerbong yang penuh sesak. Perlahan jarak yang terentang, terkikis oleh derit rel kereta. Ia kira rasa lega akan terbit di hatinya manakala kereta yang ia tumpangi telah tiba di stasiun tujuannya. Namun ia salah, jantungnya seakan ikut melompat saat ia setengah berlari, menghambur keluar gerbong menuju pasar samping terminal. Sepuluh menit, dan ia sudah sampai disana.
Hatinya berdesir keras, rasa khawatir yang tidak bisa dijelaskan perlahan menelusup jantungnya, menjalar dengan cepat ke urat nadinya membuat pandangannya sedikit kabur. Ia dapati kios itu kosong. Tidak ada onggokan butir-butir kelapa disana. Ia kenal salah satu pedagang ikan asin di pasar itu, Pedagang itu nampak senang melihat Ditya, yang sekarang nampak keren & terpelajar “Kakakmu sudah sebulan terakhir berhenti jualan, kirain kamu tahu. Emangnya kamu sudah berapa lama gak pulang?” Ditya malu menjawab pertanyaan itu, setelah mengucap salam ia segera bergegas menuju rumah kontrakannya. Disana ia menyadari terlambat baginya untuk menyesali kebodohannya. Ia takkan pernah lagi melihat senyum itu. Ia takkan pernah sempat membalas kebaikan, perhatian, kasih sayang serta pengorbanan yang telah tercurah untuknya. Dan ia juga tak sempat meminta maaf atas kesalahan yang selama ini ia perbuat. Ia benar-benar menyesal atas semuanya.
Dalam suatu waktu di kehidupan Ditya, ia pernah merasakan suasana itu. Suasana dingin penuh duka, banjir air mata, dan hiruk pikuk para kerabat. Dulu ia masih begitu kecil saat ia mengira ibunya tercinta hanya tengah tertidur. Sebuah tidur panjang tanpa mimpi. Ia lihat Teteh menangis namun Aa tidak. Aa yang terus merengkuhnya, mengusap lembut kepalanya, & mengatakan semua akan baik-baik saja. Dan emak tak pernah bangun dari tidurnya, tidak pernah lagi membuatkan sarapan untuk Ditya, sejak itu ia mengira emak tengah pergi jauh entah kemana. Ia tak perlu bersedih sebab masih ada Aa, fikirnya kala itu. Ia kerap menanyakan kemana emak pergi? Kenapa ia tak pernah kembali? Yang selalu dijawab teteh dengan tangisan, sedang Aa biasanya hanya menunduk sedih.
Ditya hanya bisa diam terpaku mencerna pemandangan di sekitarnya. Di sudut halaman rumah bertembok triplek itu, bendera kuning dari kertas wajik melambai sedih menatapnya, membuat lututnya lemas seketika. Orang-orang lalu lalang membawa keranda dan perlengkapan untuk prosesi pemandian jenazah. Kain kafan putih terbentang menyambutnya, di sudut ruangan ia lihat Teh Lilis menangis histeris dengan Rahma yang tengah digendong seorang kerabat. Ditya menghambur perlahan & teh Lilis memeluknya. Ia rasakan butiran hangat menggenangi kemejanya, juga sudut matanya yang terbingkai kacamata.
Ia tahu sejak lahir ke dunia Aanya tak pernah menyakiti siapapun. Aanya, memang tidak sealim santri lulusan pondok pesantren, tidak seberilmu ustadz-ustadz bersorban putih, dan tidak serajin takmir-takmir mesjid yang memakmurkan rumah Allah Swt. Namun ia tahu, kalau di setiap kehidupan yang telah dilaluinya Aanya itu selalu berusaha tawadhu. Hal itulah yang membuat Ditya yakin, Aanya menghadap Allah Swt. Dalam keadaan khusnul khatimah. Dapat ia bayangkan Aanya dengan terbata, dalam upaya terakhirnya berhasil mengucap syahadat di detik terakhir menjelang ajalnya.
Goresan takdir memang tak pernah berpihak pada kebahagiaan kakaknya, Ditya paham akan hal itu. Dua puluh sembilan tahun penuh derita. Mengingat itu Ditya sedikit merasa lega, bahwa setidaknya Aa tak perlu lagi merasakan kesedihan & penderitaan. Bahwa hal-hal fana semacam itu sudah tercabut sepenuhnya, & Aa tinggal menunggu saat-saat indah di surga yang telah dijanjikan Allah Swt. Ditya dapat melihat itu di wajah tirus yang terbaring kaku di hadapannya. Tidak ada gurat ketakutan, kesedihan, maupun penyesalan di wajah itu. Seolah ketika malaikat menjemputnya, ia dapat melihat kembali di kehidupan yang telah ia lalui, bahwa ia telah berusaha semampu yang ia bisa untuk mengemban amanah. Menafkahi keluarga kecilnya & telah memastikan masa depan adik tercintanya akan baik-baik saja sepeninggal dirinya.
Ratusan pelayat menyemut memenuhi rumah kontrakan mereka. Semua orang yang pernah mengenal Aa mengenang sosok itu sebagai sosok yang ringan tangan menolong, selalu berbuat baik, dan sopan kepada semua orang. Mereka ramai-ramai mengantar Aa hingga peristirahatannya yang terakhir.
Ketika bunga selesai ditabur & satu-persatu pelayat telah beranjak, Ditya tersuruk dalam dukanya. Menangis di atas pusara. Tidak mau pulang meski hujan deras mengguyur. Dalam tangisnya ia menggumamkan beribu kata maaf.
Walau bagaimanapun kehidupan terus berlanjut, bumi tak bisa dipaksa berhenti berputar, dan sang waktu tak pernah mau menunggu. Seminggu kemudian bendera kuning tanda duka cita telah terlepas, orang-orang kembali menjalani aktifitas mereka. Meninggalkan Aa Tegar yang kini sendirian di pusaranya.
Hari demi hari dilalui Ditya dengan termenung. Kini ia yang menggantikan peran Aanya, menghidupi Teh Lilis & Rahma. Ia belum tahu apa rencana hidupnya ke depan. Yang pasti ia harus melanjutkan kuliahnya apapun yang terjadi. Tapi ia sendiri bingung, bagaimana ia harus menghidupi Teh Lilis & Rahma, sedang untuk biaya kuliahnya saja ia kerap kekurangan.
Di tengah kemelut hatinya itu, seseorang hadir memberi jawaban. Jawaban atas kekalutan hatinya, juga atas rindu yang kian mengembang, yang tak lagi bisa ia bendung.
Akbar sudah jadi teman Aa Tegar sejak di bangku SMP. Akbar satu-satunya teman Aa yang masih peduli akan nasib Aa selepas Aa berhenti sekolah. Akbar kerap mengunjungi Aa, bercerita tentang keadaan teman-temannya. Tiap kali melihat Akbar, Ditya tahu kalau Akbar adalah representasi cita-cita Aanya dulu. Tak seperti Aa, Akbar jauh lebih beruntung. Bapaknya seorang pengusaha kaya. Selepas SMA, ia melanjutkan sekolahnya di STPI Curug. Menggenapi cita-citanya menjadi seorang Pilot. Meski sekarang sudah jadi pilot handal, Akbar tak pernah lupa dengan Aa, kawan setianya yang kurang beruntung. Akbar yang memodali Aa berjualan kelapa. Akbar pula yang kerap meminjami Aa uang, tanpa pernah berharap Aa mengembalikannya, apabila kebutuhan sekolah Ditya yang selangit menuntut untuk dipenuhi. Kepada Akbar Aa membagi banyak hal, termasuk wasiat untuk adik tercintanya.
Setelah berbincang cukup lama, Akbar mengeluarkan sepucuk surat yang dibungkus amplop berwarna coklat. Meminta Ditya untuk membacanya. Jantung Ditya berdebar tak karuan menggengam sehelai kertas itu.
Kepada Adikku tersayang, Aninditya Syahrur Ramadhan. Bismillahirrohmanirrohim Assalamualaikum Wr.Wb. Semoga kesehatan, rezeki, & rahmat Allah Swt. Selalu tercurah kepada adikku tercinta. Aa memohon untuk dibukakan pintu maaf yang seluas-luasnya, apabila selama ini Aa belum bisa menjadi kakak yang baik. Aa sadar selama ini Aa belum bisa memberikanmu limpahan kebahagiaan.
Saat adikku tercinta tengah membaca surat ini, Aa sudah tak lagi bisa menggenggam tanganmu ataupun mengusap air mata di pipimu, maafkan Aa apabila Aa tak sempat melihatmu di wisuda.
Ditya, Aa berharap kamu takkan pernah lupa akan janjimu untuk terus belajar & menggapai cita-cita. Mulai sekarang Aa mohon kepadamu untuk dapat berjanji bahwa apapun yang terjadi kamu harus tetap merawat & melindungi Teh Lilis & Rahma. Kamu harus menggantikan peran Aa. Kasihan teh Lilis tidak ada lagi yang di punyainya selain kamu. Kamu harus berjuang demi Teh Lilis. Berjanjilah untuk Aa, Ditya!!
Sejak dulu hidup kita tak pernah mudah. Kamu harus terus berjuang untuk menggapai cita-cita seperti yang kau impikan. Apabila setelah kepergian Aa, Abah tak jua sadar. Maka tak ada gunanya lagi berharap beliau insyaf.
Beserta sepucuk surat ini, Aa titipkan pula polis asuransi yang sudah Aa siapkan sejak lima tahun lalu. Teman Aa, Akbar yang akan mengurus semuanya. Uang pertanggungannya cukup untuk menutup biaya pendidikanmu sampai lulus kuliah, juga untuk sewa rumah & modal usaha. Gunakanlah uang itu sebaik-baiknya.
Terakhir, Aa mohon kepadamu untuk terus mendoakan Aa. Mohonkanlah permintaan maaf kepada orang-orang yang pernah Aa sakiti, tuntaskanlah semua urusan Aa, terutama yang menyangkut hutang-piutang. Doakan semoga Aa diampuni dosanya oleh Allah swt. Jangan lelah untuk terus menyebut nama Aa di setiap doamu. Aa sudah memaafkan semua kesalahanmu, janganlah kamu bersedih melepas kepergian Aa, karena kelak kita akan berjumpa kembali di surga yang telah dijanjikan Allah Swt. Aamu yang selalu menyayangimu. Wassalamualaikum Wr.Wb.
Ditya kehabisan kata-kata, juga airmata membaca surat itu. Terbayang dalam benaknya Aa Tegar menulis surat itu dimalam hari, dengan diselingi deru suara kereta yang melintas, Di malam saat ia tersuruk di atas sajadah lusuhnya, menanti adiknya yang tak kunjung pulang. Setelah jatuh vonis dokter atas umurnya, Aa menolak untuk berobat. Ia tetap bekerja seperti biasa. Ditya dapat membayangkan tubuh kurus Aa memapah karung-karung beras demi mengganjal perut kakak perempuan dan keponakan kecilnya. Sedangkan adiknya yang selalu ia cemaskan keadaannya melebihi dirinya sendiri malah sedang asyik bercanda dengan kawan-kawannya. Membayangkan itu tangis Ditya kian kencang. Rasa bersalah itu begitu besarnya hingga membuat Ditya meraung-raung dalam tangisnya sambil menyebut-nyebut nama Aa. Tapi, itu semua sudah terlambat. Aa telah tiada, dan ia takkan pernah sempat meminta maaf. Meski ia merasa tak pantas mendapat maaf dari lelaki berhati malaikat itu.
Malam harinya orang-orang masih ramai bertakziah. Kawan-kawan Ditya hampir semuanya datang. Baik kawan SMA maupun kawan kuliahnya. Tak satupun dari mereka yang hadir, mampu menghibur duka lara di hati Ditya. Tengah malam Ditya baru dapat terlelap. Aa kembali hadir dimimpinya, tidak lagi dipadang rumput nan permai melainkan di rumah tempat Ditya terlelap sekarang. Gubug reot tanpa sekat, tempat ia dan Aanya menghabiskan masa-masa pahit penuh derita.
Aa tengah berbaring disampingnya, sama seperti dulu ketika Ditya tersuruk ke alam mimpi sambil merasakan jemari kasar Aa membelai lembut rambut ikalnya. Juga nafas Aa yang hangat serta harum tubuhnya yang membawa ketentraman tersendiri di hati Ditya. Aa menatapnya dengan tatapan penuh cinta. Sama seperti dulu. Tak ada kebencian disana, tak ada penyesalan. Meski Ditya sadar ia telah sangat mengecewakan kakaknya.
“Maafin Ditya A. Maafin Ditya”. Ditya merengkuh jemari hangat itu, menggesek pelan pada sebelah pipinya. Airmatanya mengucur deras, tanpa dapat lagi ia bendung. Ia harap Aa akan mengucap sepatah kata. Tapi Aanya itu tetap diam. Hanya menatap penuh rindu. Ditya terus menggumamkan permohonan maafnya. Hingga ia dapati Aa Tegar mencium lembut ubun-ubunnya sambil berucap pelan. “Aa ikhlas Ditya. Aa ridho. Aa tidak pernah marah sama kamu. Sampai kapanpun Aa akan tetap sayang kamu Ditya.” Ditya terperanjat mendengar kata-kata Aa barusan. Lautan kasih sayang Aanya seolah tanpa batas. Hingga kesalahan yang Ditya perbuat seakan serupa seberkas noda tanpa arti. “Maafin Aa. Aa gak bisa terus ngejaga kamu. Aa gak bisa mencukupi kebutuhanmu, disaat kamu sedang sangat membutuhkan Aa.” Aa terus mengusap pelan kening Ditya yang kini basah oleh keringat. Ditya semakin tenggelam dalam tangisnya. “Gunakanlah satu-satunya peninggalan Aa, dengan cara yang bijaksana Ditya. Laksanakan wasiat Aa. Nafkahi kakak dan keponakanmu. Merekalah satu-satunya yang kau punyai sekarang.”
Dan keluarlah sebaris kalimat itu. Petuah yang sangat Ditya rindukan. “Belajarlah yang rajin. Gapai cita-citamu. Jadilah orang terpelajar. Jangan seperti Aa.”. Ditya tak dapat lagi berkata-kata. Aa adalah hal terbaik dalam hidupnya juga suri tauladannya. Beribu bahkan berjuta kali Aa mengucap kalimat itu, Ditya akan selalu dan terus selalu ingin seperti Aa.
Selepas mimpi di malam yang takkan pernah dilupakan Ditya itu, Aa tak pernah lagi hadir, dalam benak maupun dalam mimpinya. Ditya tak lagi dapat mengingat bagaimana senyum dan wajah indah itu. Namun ia dapat merasakan disetiap sendi tubuhnya, dalam aliran darahnya, dalam urat nadinya, semangat Aa yang tak pernah padam. Hal itulah yang membawa Ditya pada keberhasilan yang dulu bahkan ia tak berani memimpikannya.
Selepas menamatkan pendidikan sarjananya, Ditya melanjutkan studi ke Jerman. Ia telah begitu berhasil dibidangnya hingga tak terhitung lagi deretan prstasi yang ia raih. Semua orang memuji ketekunan dan kecerdasannya dalam memajukan industri pesawat terbang di indonesia. Diusianya yang belum genap tiga puluh lima tahun, ia bersama teman-teman tekhnisinya telah mampu menciptakan pesawat terbang yang lebih canggih dari pesawat manapun yang pernah dibuat. Meski begitu Ditya tak pernah sekalipun masuk ruang kokpit. Ia tak berani menatap siapapun yang berseragam pilot. Hal itu dapat membuka kembali luka lamanya. Aa selalu bercita-cita untuk bisa mengemudikan pesawat. Ditya kini dapat membuat pesawat itu. Sungguh pedih mendapati bukan Aa yang menerbangkannya.
Di acara peresmian, di depan ratusan ribu undangan, dengan mata berkaca-kaca, Ditya membagi sedikit kisah hidupnya. Bagaimana ia bisa menjadi seperti sekarang, adalah berkat jasa seseorang. Orang itu pasti amatlah bangga akan keberhasilan yang diraihnya sekarang. Dan benar saja, jauh diatas langit sana Ditya seolah dapat melihat kembali wajah itu. Wajah lembut dengan senyum yang akan membuat hati siapapun tentram saat memandangnya. Ditya akan selalu merindukan senyum itu.
“Teruslah tersenyum Aa.” gumam Ditya lirih.
Cerpen Karangan: Ali Anfal Blog / Facebook: Ali Anfal