Fikri sadar tak selamanya ia akan terus menjadi Kucing. Bahkan telah lama ia memendam keinginan untuk segera lepas dari profesi kotornya. Untuk itu ia menciptakan sendiri uang halalnya. Dengan modal pinjaman dari Bank Syariah ia buka bengkel kecil kerjasama dengan kawan lamanya. Dari situ ia pisahkan hasil usaha untuk ditabung. Ia tak mungkin memulai hidup baru kelak dengan uang hasil menjual diri. Tante Sonya terus menjeratnya dengan lilitan hutang yang setiap bulan berbunga dan terus berbunga. Apabila Fikri tak mau melayani pelanggan yang disodorkan Tante Sonya kepadanya, wanita sialan itu akan melontarkan ancaman yang dengan membayangkannya saja membuat Fikri bergidik ngeri. Ia tahu Sonya tak pernah macam-macam dengan omongannya. Ancaman itu terlontar semata bukan untuknya melainkan untuk orang-orang yang ia cintai. Kadangkala Fikri tak dapat lagi memendam amarahnya, ingin sekali ia merobek mulut wanita sundal itu, tapi tiapkali ia berontak gundik-gundik yang selalu menjadi tameng Sonya akan mengahajarnya sampai babak belur. Nampak semua jalan keluar sudah tertutup rapat bagi Fikri. Ia takkan pernah bisa keluar dari lingkaran setan yang membelenggunya. Ia terus berharap akan ada keajaiban untuk dirinya kelak.
Wulan. Begitu gadis itu biasa disapa, nampak sumringah saat melihat siluet sang kakak muncul dari balik pekatnya jalanan komplek perumahan yang lengang. Kakaknya itu berjalan seorang diri, nampak ganteng dengan baju koko putih dan celana panjang hitam yang menjadi seragam khas remaja islam Al-Istiqomah. Kakaknya itu nampak selalu ceria saat pulang dari pengajian. Wulan tahu apa alasan dibalik itu. Ia senang melihat kakaknya bahagia. Ia juga senang kakak tercintanya dapat memiliki kesempatan untuk berubah kearah yang lebih baik.
Wulan tahu siapa Kakaknya dan apa pekerjaannya. Bukan seorang artis seperti kata orang-orang. Bukan pula seorang barista. Dimata orang lain juga mungkin dimata Tuhan, Kakaknya adalah makhluk paling hina. Namun bagi Wulan, Almarhum mama, serta kedua orang adiknya, Kakaknya adalah seorang malaikat. Bahkan Malaikatpun tidaklah mungkin sebaik Kakaknya. Yang rela mengorbankan apapun demi keluarganya tetap bisa hidup layak. Tercukupi semua nafkahnya. Juga tak ada yang bisa menandingi pengorbanan sang kakak dimasa-masa sulit saat sang ibu tengah terbaring sakit dan adik-adiknya masih membutuhkan bahu kokohnya untuk menyandarkan hidup.
Tiapkali bermunajat Wulan selalu mendoakan kebaikan untuk kakaknya. Hanya ia yang tahu betapa berat beban yang dipikul kakaknya selama ini. Ia dapat merasakan bagaimana getirnya tubuh yang sempurna itu menjadi alat pemuas nafsu serigala-serigala betina yang selalu siap menerkamnya tanpa ampun. Tiap kali ia melihat Kakaknya berangkat kerja di sore hari dengan langkah gontai dan bahu bergetar, ia tahu beban yang ditanggung kakaknya tidak ringan.
Masih terekam jelas dibenaknya, saat suatu pagi kakaknya pulang dengan wajah kusut, sambil meringis menahan sakit. Cara berjalannya aneh, kancing kemejanya sedikit koyak. Ia dapati bagian belakang celana jeans kakaknya terpercik noda. Kakaknya langsung beranjak ke kamar mandi. Wulan dapat mendengar sayup-sayup kakaknya meringis sambil tersedu. Entah apa yang dilakukan kakaknya diluar sana, Wulan tak dapat menerka. Kakaknya tak mau cerita. Bukan pada tempatnya pula Wulan menanyakannya. Tapi yang ia tahu setelah itu, Kakaknya jadi banyak sekali merenung. Ia selalu pulang pagi buta, merok*k di bibir ranjang hingga pagi menjelang. Wulan tak berani menatap Kakaknya saat tubuh itu tengah tergolek kelelahan di bibir ranjang. Nampak sekali gurat keputusasaan disana. Ingin sekali Wulan dapat membantu meringankan beban itu. Namun ia tak pernah tahu bagaimana caranya.
Kak Fikri rutin mengajak Wulan, Dani dan April jalan-jalan diakhir pekan. Itu sudah menjadi tradisi keluarga mereka. Dulu ketika kehidupan mereka sulit dan Kak Fikri terpaksa putus sekolah, Kak Fikri tetap tak pernah lupa mengajak Wulan dan kedua adiknya jalan-jalan. Wisata murah dengan keliling kota mengayuh sepeda. Dani dibonceng Kak Fikri dan April dibonceng Wulan. Kak Fikri tetap ceria meskipun dibalik senyum manisnya Wulan tahu ada setumpuk beban yang harus ia pikul seorang diri. Setelah bekerja sebagai model, Kak Fikri jadi jarang pulang diakhir pekan. Entah ia menginap dimana, yang jelas setiap kali pulang Kak Fikri akan membawa banyak sekali oleh-oleh sebagai pengganti waktu jalan-jalan mereka yang kini berkurang intensitasnya.
Banyak orang bilang penampilan Kak Fikri yang sekarang banyak sekali berubah. Bagi Wulan tidak ada yang berubah kecuali Kak Fikri jadi semakin terlihat dewasa dari usianya yang semestinya. Belakangan Wulan tahu alasan dibalik semua itu. Kak Fikri tak pernah cerita, tapi Wulan dapat membaca gelagat aneh dari sikap kakaknya yang tiba-tiba berubah menjadi sangat tertutup. Saban hari Kak Fikri berangkat sore pulang subuh. Kadang diantar oleh seorang wanita cantik berpakaian minim. Sering Wulan mendapati Kak Fikri lama sekali berduaan di dalam mobil dengan wanita yang setiap malamnya berganti-ganti itu. Entah apa yang mereka lakukan didalam sana. Pagi hari saat hendak membawa kemeja kakaknya ke binatu, Wulan kerapkali mendapati ada bercak lipstik juga bau parfum wanita yang amat menyengat. Wangi parfum itu bercampur keringat, disana selalu tertinggal aroma tubuh wanita, juga Kak Fikri.
Wulan tak berani menegur Kakaknya. Ia takut kakaknya akan marah juga malu pada dirinya sendiri. Wulan tahu apapun yang dilakukan kakaknya adalah untuk memperjuangkan masa depannya juga. Ia telah melihat sendiri betapa kakaknya amat mencintai adik-adiknya. Ia rela melakukan apapun demi keluarga kecilnya, meski harus mengorbankan semua kebahagiaannya. Wulan tak mengerti sepenuhnya masalah yang ditanggung kakaknya. Meski kini ia dan adik-adiknya dapat hidup nyaman di rumah mewah dengan kendaraan dan barang-barang mahal, Wulan merasa ia lebih bahagia saat dulu kakaknya masih bekerja sebagai montir. Betapapun pahitnya masa-masa itu, Wulan masih dapat melihat kakaknya tersenyum lepas. Tidak seperti sekarang. Untuk saat ini Wulan hanya dapat berdoa semoga suatu saat Kak Fikri mendapat kehidupan yang lebih baik. Sambil ia sendiri terus belajar giat agar kelak dapat menggantikan tugas Kakaknya menafkahi kedua adiknya.
Wulan melihat sendiri bagaimana Kakaknya begitu ceria malam itu. Dani dan April sudah tidur, sedang Wulan dengan sabar menunggui Kakaknya, menghidangkan secangkir teh hangat, dan menyampirkan jaket ketika Kakaknya itu hendak pergi. Wulan tak lupa mencium tangan Kakaknya sambil berpesan agar berhati-hati. Fikri membalasnya dengan senyuman. Mengusap pelan rambut adiknya yang telah beranjak dewasa itu, sambil menyambar kunci mobil. Sampai Fikri hilang di ujung jalan Wulan tetap tak beranjak dari ambang pintu.
—
Loby apartemen mewah dua puluh sembilan lantai itu nampak lengang seperti biasa. Tak banyak tamu ataupun penghuni yang datang. Fikri sudah paham kemana ia harus melangkahkan kakinya. Kunci kamar nomor 205 telah ada di genggamannnya. Malam ini adalah saatnya ia menemui pelanggan terbaiknya. Seorang istri pengusaha kaya yang sudah lima bulan lebih menyewanya sebagai kekasih simpanan.
Fikri melangkah ringan menuju ruangan mungil nan nyaman berdekorasi serba putih, yang dari atas balkon jendelanya terlihat jelas pemandangan langit kota Jakarta yang terang disinari cahaya rembulan. Tiba-tiba ia tersentak saat tubuhnya didekap seseorang dari belakang. Sontak ia berbalik. Nampak baginya Fe tengah memandangnya nakal. Mengenakan handuk mandi. Rambut dan tubuhnya basah. Wanita cantik yang terlihat masih muda di usia kepala empat itu tersenyum hangat, sehangat kecupan sayangnya yang tiba-tiba mendarat lembut di bibir Fikri.
“Aku sudah nunggu kamu dari tadi” Fe berkata lembut. “Maafin aku sayang. Aku tadi ada urusan mendadak.” Selalu hanya alasan itu yang dilontarkan Fikri tiap kali lelaki rupawan itu telat menemui Fe di kencan malam minggu mereka. Fe tak pernah mau repot menginterogasi lelaki yang dipanggilnya Steve itu. Toh, dia hanya kucing. Yang bersedia menemani sang majikan apabila dikasih ikan. Namun sudah lama Fe mememendam perasaan lebih pada lelaki berpostur tegap itu. “Aku sudah sediain minuman kesukaan kita”. Sambil tak melepaskan dekapannya, Fe melirik ke arah meja. Nampak disana telah terhidang wine berkualitas tinggi beserta buah stroberi. Di meja kecil itu ia dan steve biasa menikmati apa yang mereka sebut “Ciuman Stroberi”. Mereka akan saling menenggak wine meninggalkannya di mulut mereka, menggigit sebutir stroberi dan saling berciuman. Untuk kemudian saling tertawa saat sensasi ciuman stroberi itu hinggap di bibir mereka.
Fikri melirik malas. Rasanya baru tadi ia duduk takzim di altar masjid. Berusaha menjadi manusia. Sekarang ia berubah menjadi dirinya yang sebenarnya. Manusia setengah hewan. Bahkan mungkin lebih laknat dari itu. Ia adalah orang paling munafik di dunia. Tiba-tiba ia merasa begitu sedih dan putus asa. Kapan ini semua akan berakhir. “Maafin aku Fe. Malam ini aku gak bisa”.
Fenita nampak kecewa. Dua bulan sudah. Sikap Steve berubah padanya. Terutama di malam minggu, yang seharusnya menjadi malam terbaik mereka. Fe amat merindukan masa-masa dimana ia pertama kali mengenal Steve. Lelaki itu telah amat memabukkannya. Fe ingat betul saat mereka mengahabiskan liburan panjang mereka di sebuah resort mewah di Gili Trawangan. Steve bukan hanya memuaskan hasrat Fe yang telah sekian lama terpendam. Lebih dari itu, sikap Steve yang humoris, perhatian, penyayang, juga amat protektif padanya telah membuat benih cinta tumbuh subur di hati Fe. Berkali-kali wanita blasteran Jerman itu mengajak Steve untuk hidup bersama dalam kidung cinta yang abadi. Sebuah ikatan pernikahan. Ia siap menggugat cerai suaminya. Seorang tua bangka kaya raya yang tak memberikan apa-apa padanya selama sepuluh tahun pernikahan selain tumpukan uang dan hiburan lima menit di atas ranjang yang selalu membuat Fe menggerutu kesal. Namun lelaki berhidung bangir itu selalu menolak. Kini steve berubah, tak ada lagi yang tersisa dari cinta tulus seorang Fenita. Rasanya Fe menyesal sekali telah lalai mengingatkan dirinya bahwa sebaik apapun sikap Steve padanya, lelaki itu hanyalah Kucing. Yang kapanpun dapat meninggalkan majikannya. Dengan atau tanpa setumpuk ikan di tangannya.
Fikri terduduk diam di pinggir ranjang. Wajahnya menyiratkan kegalauan. Fenita memandangnya iba, mengambil posisi duduk di samping lelaki selingkuhannya itu. “Kalau kamu gak mau nemenin aku malam ini gak apa-apa. Aku tahu kamu gak akan pernah mau nyeritain masalahmu.” Fe mengusap pelan punggung steve. Steve menoleh padanya untuk kemudian meraih jemari lembut Fe dan mengusapkan lembut ke wajahnya. Seolah berkata aku baik-baik saja. Dan malam ini aku adalah milikmu sepenuhnya. “Apapun yang terjadi Steve, aku selalu ingin bersamamu. Kalau tidak sekarang ya, besok hari. Atau kapanpun. Aku akan selalu tetap jadi milikmu” Fe mengatakan itu dengan tulus. Tiba-tiba Steve merengkuhnya erat. Mencumbunya. Bukan dengan gerakan lembut seperti biasa. Melainkan dengan sikap seorang lelaki putus asa. Fe tetap menerimanya. Steve tak berkata apa-apa saat lelaki bermata indah itu menanggalkan pakaiannya satu-persatu. Fe dapat merasakan jemari Steve begitu dingin, padahal pemanas ruangan dalam keadaan ON. Entah apa masalah yang mendera pangerannya itu sehingga sikapnya tak sehangat dulu lagi.
Fikri tahu, ia telah amat mengecewakan Fenita. Pelanggan terbaiknya. Lumbung uangnya. Jika Sonya tahu, wanita iblis itu pasti akan memarahi Fikri habis-habisan. Fikri ingat betul apa yang diucapkan Fenita pada saat candle light dinner mereka di restoran mewah beberapa bulan sebelum Fikri mengenal sarah. Fenita nampak anggun dengan gaun merah mudanya. Wanita cantik itu mengatakan sesuatu yang takkan pernah Fikri ingin dengar lagi, tapi hingga sekarang terus terngiang di telinganya. “Aku tak bisa lagi memendam perasaanku Steve. Aku benar-benar jatuh cinta. Aku menyukaimu lebih dari apapun. Cuma bersama kamu aku dapat bahagia. Lamarlah aku Steve. Aku janji aku akan jadi istri terbaikmu. Kita akan menikah. Aku sudah membeli sebuah rumah mungil di pedesaan tempat dulu ayahku dan aku pernah tinggal di Jerman. Kita akan hidup bahagia.”
Cerpen Karangan: Ali Anfal Blog / Facebook: Ali Anfal