Fikri jelas tak dapat menerima tawaran itu. Tak ada cinta secuilpun di benak Fikri terhadap para pelanggannya. Tak terkecuali Fenita. Semua sikap hangat yang dipertontonkannya selama ini hanyalah kamuflase belaka. Ia belajar sendiri tentang cara memeperlakukan wanita dari pengalaman yang ia dapat. Ia bisa amat perhatian, spontan, dan humoris terhadap para pelanggannya, semata hanya untuk memuaskan hasrat ingin dimengerti dan dihargai yang kebanyakan tak didapat wanita-wanita kaya itu dari suami sah mereka.
Fikri berharga sangat mahal. Tak ada pelanggannya yang tidak puas. Bahkan banyak dari mereka yang ingin memesan jasa Fikri. Lagi dan lagi. Semata karena Fikri benar-benar memposisikan diri sebagai ‘Seorang kekasih’ dan tak ada satu wanitapun yang tidak luluh diperlakukan begitu lembut oleh seorang lelaki muda yang gagah perkasa, rupawan, dan penuh pengertian. Meski jauh di benaknya, Fikri selalu merindukan suatu saat nanti dapat memperlakukan seorang wanita yang ia cintai melebihi apa yang telah ia berikan terhadap pelanggannya.
Dari sikap Fenita, Fikri sadar bahwa ia dalam masalah besar. Fe mulai tidak puas dengan dirinya. Begitupun dengan Tante Cindy, Tante Joice, Silvia, Rachel, dan banyak lagi pelanggan lain yang kini tak lagi memakai jasanya. Sebelum Fe benar-benar kecewa, ia rengkuh wanita itu dalam dekapan gairahnya. Seperti yang sudah-sudah, Fe akan merasa puas. Setelah deru nafas mereka saling memburu di atas ranjang putih, Fe yang kelelahan takluk di dada Fikri, membiarkan rambut panjangnya dibelai hangat hingga wanita cantik itu tertidur sambil menyunggngkan sebuah senyuman.
Fikri menatap nanar langit-langit kamar. Tiba-tiba bayangan Sarah melintas di benaknya. Selintas itu pula ia muak pada dirinya sendiri. Malam kian larut, langit cerah berbintang menemani lamunan Fikri malam itu. Hingga subuh menjelang ia tak dapat tidur. Dari celah balkon jendela dapat ia dengar suara muadzin sayup-sayup memanggilnya. Fikri menangis sambil berkata lirih. “Tuhan, aku tahu aku amat berdosa. Berilah aku kesempatan. Tunjukkanlah jalan keluar untukku dari masalah pelik ini. Aku hanya ingin kembali. Sebelum aku tidak sempat lagi melakukannya. Berilah aku kekuatan untuk mengahadapi semua ini. Aku sungguh lelah, Tuhan. Tak ada lagi yang dapat menolongku selain engkau” Di pagi buta itu, pertama kali Fikri memberanikan diri meminta pada Tuhannya dengan hati yang amat pasrah lagi memohon.
Pagi itu Fikri pulang sendirian. Perutnya lapar, dari tadi malam ia belum sempat makan. Ia memutuskan melipirkan mobilnya di salah satu warung nasi yang nampak ramai dikerumuni pembeli. Seperti biasa, saat ia keluar dari mobilnya perhatian semua orang tertuju padanya, seolah ia tontonan menarik. Warung tenda itu sederhana sekali. Menunyapun sederhana. Juga murah. Seporsi nasi kuning lengkap dengan telur dadar dan tempe orek dihargai sepuluh ribu rupiah.
Sambil menunggu pesanan Fikri memerhatikan sekeliling. Nampak baginya sepasang suami istri yang kelihatannya adalah pemilik warung tenda tengah sibuk melayani pembeli. Mereka begitu kompak. Nampak sekali pasangan muda itu adalah pasangan yang harmonis. Sang suami penampilannya seperti lelaki jawa pada umumnya. Sedang istrinya berpakaian seperti Sarah. Khimarnya panjang menutupi dadanya. Roknyapun lebar. Namun gerakannya gesit sekali. Terbersit perasaan iri di benak Fikri melihat kedua sejoli itu, yang bisa hidup bahagia dalam naungan kasih sayang Tuhan. Berjuang bersama mencari rizki yang halal. Membesarkan anak-anak yang lucu, serta saling mengingatkan pada kebaikan.
Apakah ia pantas meminang gadis sesuci Sarah? jelas tidak. bagaimana ia nanti akan menghidupi keluarganya? dengan uang hasil jual diri? akan jadi apa anaknya kelak, kalau dinafkahi dengan uang haram? Memikirkan itu membuat Fikri jadi tak selera makan. Tapi tak dipungkirinya seporsi nasi kuning lengkap dengan lauk sederhana itu amat lezat. Ia putuskan untuk membungkus seporsi untuknya. Juga untuk Wulan, Dani dan April. Ia bergegas beranjak dari warung tenda itu.
Fikri sudah merencanakan semuanya. Ia telah menabung sejak setahun yang lalu agar bisa mengkhitbah Sarah. Ia sisihkan keuntungan dari bengkel kecil miliknya, sedang uang yang ia dapat dari pelanggannya ia pakai untuk melunasi hutang-hutangnya pada Sonya. Sudah setahun pula ia berhenti menafkahi adik-adiknya dari uang hasil menjual diri. Menurut hitungannya tak lama lagi hutang-hutangnya pada Sonya akan segera lunas. Dan ia akan berhenti menjadi penjaja cinta. Ia akan pindah ke kampung halaman ibunya. Disana ia telah membeli sepetak tanah beserta rumah yang akan ia tinggali bersama istri dan adik-adiknya. Jikapun Sarah menolak lamarannya, ia akan tetap pergi. Tekadnya sudah bulat. Digenggamnya buku tabungan biru muda yang sedari tadi ia tatap sambil tersenyum. Masa depannya ada pada angka-angka kecil yang tercetak disana. Rezeki halalnya yang ia harapkan dapat mengubah kehidupannya kelak.
Namun semuanya buyar tatkala di malam-malam ia menghadiri majelis sikap Sarah terhadapnya berubah amat dingin. Gadis cantik yang selalu menghiasi mimpi-mimpinya itu kerapkali menatapnya seolah ia sebujur bangkai ataupun seonggok kotoran. Hati Fikri berdesir mendapati tatapan teramat merendahkan itu. Sarah juga tak mau lagi bicara padanya. Kakak laki-lakinya selalu mengawal Sarah kemanapun gadis yang sedang mencoba menjadi seorang hafidzah itu pergi. Fikri tahu alasannya. Pasti karena itu. Hal yang ia takutkan sedari dulu akhirnya terjadi juga. Sarah sudah tahu siapa dirinya.
Fikri tak dapat lagi tidur nyenyak. Nafsu makannya berkurang. Di malam-malam panjang saat ia menjadi hewan pemuas nafsu, Terkapar kelelahan di sudut ranjang bersama seorang wanita yang tiap malamnya berganti-ganti, ia kerap merasa amat putus asa. Sesungguhnya ia mencintai Sarah bukan karena keindahan fisiknya. Silvia, Judith, Katie, atau bahkan Fenita jauh lebih cantik dari Sarah. Mereka juga lebih mapan. Dan terang-terangan meminta untuk dinikahi. Silvia bahkan masih lajang, anak pengusaha kaya, berpendidikan tinggi, punya karier bagus sebagai CEO perusahaan multinasional milik ayahnya. Hanya lelaki bodoh yang menolak Silvia, demi seorang gadis bernama Sarah. Dan Fikri menuruti kebodohannya karena ia tahu, ia mencintai Sarah karena ia yakin gadis dua puluh tiga tahun itu dapat membimbingnya kekehidupan yang lebih baik. Hidup tenteram yang telah lama sekali ia rindukan.
Mendapati cita-cita dan harapannya pupus sebelum ia sempat memulai, membuat Fikri terjebak dalam depresi berkepanjangan. Ia tak mau lagi datang ke masjid, bersamaan dengan itu ia menjadi amat pendiam. Dibulan ketiga setelah Sarah tak lagi mau menemuinya Fikri sakit keras hingga harus dirawat di rumah sakit. Tak ada yang menjenguknya kecuali Sonya yang malah membuat keadaan Fikri menjadi semakin parah. Lelaki berbadan tegap itu kehilangan seperempat berat tubuhnya akibat menolak makan selama seminggu. Adik-adiknya menjadi cemas, dalam pada itu Wulan tahu apa yang mesti ia perbuat. Malam itu juga ia menemui Sarah. Satu-satunya gadis yang dicintai Kak Fikri selama hidupnya.
Sulit bagi Wulan menceritakan semuanya di hadapan Sarah. Awalnya Sarah acuh, bahkan menolak menemui Wulan. Namun wulan tetap pada pendiriannya, ia tak bergeming meski ia harus berdiri hingga satu jam lamanya di depan pintu pagar rumah Sarah yang sederhana demi mendapat kesempatan menjelaskan semuanya di hadapan wanita berparas cantik itu.
Wulan menjelaskan semuanya di hadapan Sarah, sambil terus terisak. Tentang Bagaimana kakaknya sampai terjebak pada kehidupannya yang sekarang. Tentang kakaknya yang berjuang demi adik-adiknya, juga tentang rencana kakaknya untuk dapat lepas dari lingkaran setan yang membelitnya. Wulan memaparkan itu semua sambil bahunya bergetar menahan tangis. Ia dengan jujur bercerita, meskipun kakaknya seorang pria penjual diri, Kakaknya tak pernah menjalin hubungan asmara bahkan sejak kakaknya beranjak remaja. Kakaknya itu tahu persis bahwa kelak ia hanya akan mencintai dan dicintai oleh seorang wanita yang kelak akan menjadi istrinya. Dan kakaknya itu sangat menginginkan Sarah untuk menjadi istrinya. “Saya nggak berharap Ukhti mau menerima Kak Fikri. Saya sangat tahu diri siapa kakak saya. Dan siapa Ukhti. Tapi Ukh, bukankah Tuhan maha pemaaf. Bukankah pintu taubat selalu terbuka bagi siapa saja tanpa terkecuali. Jikalau begitu, kenapa kita mesti repot-repot menghakimi orang lain? Kak Fikri memang tidaklah sealim Ukhti. Tapi dia masih memiliki kesempatan untuk berubah. Kesempatan itu ada pada Ukti. Tolonglah kakak saya Ukhti, temuilah dia, cuma Ukhti yang bisa menghibur dia. Cuma Ukhti yang ingin dia temui saat ini”
Sarah tertegun cukup lama sebelum memutuskan untuk menjenguk Fikri di Rumah Sakit. Ia telah mengetahui dari sikap Fikri selama ini kalau lelaki berparas tampan itu menaruh hati padanya. Fikri punya niat tulus untuk mengkhitbah dirinya, namun Sarah teramat muak setelah mengetahui jati diri Fikri yang sebenarnya. Ia percaya Wulan, bahkan sebelum gadis kecil yang baru beranjak remaja itu menceritakan semuanya. Sarah selalu melihat sosok Fikri secara utuh sebagai lelaki yang telah banyak melalui hal-hal pahit dalam hidupnya. Fikri sosok penyayang, juga pelindung yang baik bagi adik-adiknya. Sarah tak pernah memaafkan profesi Fikri yang memang teramat hina di matanya, Ia juga tak membenarkan alasan dibalik semua itu. Baginya hal buruk tetaplah buruk, meski dibungkus dengan niat baik sekalipun. Namun yang membuat Sarah mau menemui Fikri, tidak lain adalah niat tulus dari lelaki itu untuk berubah. Dan sarah percaya Fikri bersungguh-sungguh dengan niatnya.
Sarah nyaris tak mengenali tubuh yang tergolek lemah di atas bangsal itu. Wajahnya pucat sekali, seolah tak ada daya hidup yang terpancar disana. Sebulan yang lalu, Sarah masih dapat melihat sosok rupawan, yang selalu ramah pada siapapun. Sosok yang begitu energik, dengan postur tubuh atletis dan senyuman manis yang hanya dengan menatapnya dapat membuat kaum hawa tergila-gila. Namun kini yang ada hanya sosok lelaki kurus berbalut selang infus di lengannya.
Fikri nampak kaget dengan kehadiran Sarah. Dari sosok lelaki yang terkulai lemah itu, Sarah masih dapat melihat mata bening yang memancarkan gairah, juga cinta dan harapan yang teramat tulus. Meski pucat, senyum itu masih terlihat manis. Meski kurus, bahu itu masihlah kokoh dan hangat. Sarah menatap Fikri lekat-lekat, hatinya berdesir, belum pernah ia mendapati ada lelaki yang menaruh semua harapan akan hidupnya di pundaknya. Belum pernah pula ada lelaki yang mencintainya dengan segenap hatinya, juga begitu percaya pada dirinya. Selintas Sarah berfikir akankah Fikri dapat menjadi imam yang baik untuknya? akankah ia sungguh-sungguh ingin berubah? Ia pasrahkan semuanya pada Allah Swt. Hanya kepadanya ia berserah diri.
Pertemuan itu begitu emosional. Baru kali itu Sarah menatap Fikri lekat-lekat, biasanya ia selalu menundukkan pandangannya, begitupun Fikri, ia amat bersyukur dengan pertemuan itu. Terlebih Sarah kini menatapnya bukan dengan pandangan merendahkan, bukan pula tatapan iba. Hanya dengan saling tatap diantara keduanya, semua prasangka, dan amarah luruh seketika itu juga.
“Cepat sembuh Kak Fikri. Saya akan selalu doakan kesehatan dan kebahagiaan kakak” Ujar Sarah lembut. Sambil merapal doa dalam hatinya. Fikri hanya membalasnya dengan sebuah senyuman. Nampaknya semua masalah juga penyakitnya dapat terangkat saat itu juga. Sarah mau menemuinya lagi, itu berarti Sarah mau memaafkannya juga menerimanya sebagai Fikri yang penuh dosa. Di sisa malam itu Fikri habiskan dengan melantun zikir, sebelumnya ia paksakan untuk berwudhu dan shalat malam. Bacaan shalatnya banyak yang keliru, namun hatinya ia pasrahkan sepenuhnya pada Allah Swt. Ia tak pernah berharap ibadahnya diterima, begitu banyak dosa yang ia perbuat. Mungkin Tuhan takkan pernah mengampuninya. Meski begitu ia tak berniat mengendurkan sedikitpun keinginannya untuk berubah kekehidupan yang lebih baik.
Cerpen Karangan: Ali Anfal Blog / Facebook: Ali Anfal