Seminggu kemudian Fikri telah sembuh sepenuhnya, ia dapat beraktifitas seperti biasa, Sonya terus memaksanya melayani tante-tante haus nafsu. Fikri berusaha sebisa mungkin menolak dengan alasan masih dalam masa penyembuhan. Tiga minggu lamanya Fikri terlepas dari hiruk pikuk dunia malam ibukota. Hatinya terasa tentram, kesehatannya pulih dengan cepat. Tiga minggu itu ia rasakan sebagai saat-saat terbaik dalam hidupnya. Ia banyak menghabiskan waktu di masjid, menghapal bacaan shalat, beri’tikaf hingga larut malam. Matanya basah tiapkali ia menyesali apa yang telah ia perbuat dulu. Ia mohon kepada zat yang maha pemberi untuk menyingkirkannya dari kehidupan kelam yang ia jalani saat ini.
Kemalangan nampaknya tak mau beranjak meninggalkan Fikri. Suatu malam selepas ia menghadiri kajian Fiqh di salah satu majelis dekat komplek rumahnya, Sarah datang mengahampirinya seorang diri. Meminta bicara empat mata. Malam itu di beranda Masjid Al-Muhajirin Fikri merasakan pertama kalinya arti patah hati yang sesungguhnya. Sambil meminta maaf Sarah menjelaskan padanya bahwa sudah ada seorang lelaki yang datang melamarnya. Sarah telah bertunangan dengan seorang anak kiyai yang telah dipilihkan ayahnya untuknya. Hati Fikri terasa hancur berkeping-keping. Namun ia masih dapat tersenyum di hadapan wanita salihah berkhimar panjang itu.
“Maafin aku Kak. Aku tahu niat Kakak terhadapku baik dan tulus. Jika memang kakak bersungguh-sungguh ingin bertaubat Allah pasti akan pilihkan jodoh yang tepat untuk Kakak. Yang dapat membimbing Kakak menjadi insan yang tawadhu. Saya selalu berdoa agar Kakak mendapatkan yang terbaik. Yakinlah akan ketentuan Allah. Dialah yang maha penyayang, Dialah yang maha tahu apa yang terbaik bagi hambanya”
Perkataan Sarah dimalam cerah berbintang itu terus memebekas di benak Fikri, Ia tak lagi khawatir akan masa depannya kelak apabila ia sandarkan sepenuhnya pada Tuhannya. Ia tak lagi sedih saat mendapati Sarah menikah dengan lelaki yang dipilihnya seminggu kemudian. Ia hadir diresepsi itu. Mempelai lelaki yang dipilih Sarah sungguhlah seorang lelaki soleh. Fikri memimpikan ia dapat bersanding di pelaminan suatu saat nanti dengan wanita yang dapat membimbingnya menjadi pribadi yang lebih baik. Masih terngiang di telinganya perkataan Sarah. “Perempuan baik untuk Lelaki baik. Lelaki baik untuk Perempuan baik pula”. Untuk saat ini Fikri hanya dapat berusaha memantaskan dirinya agar dapat sejajar dengan perempuan soleh yang akan ia khitbah suatu saat kelak.
Walau bagaimanapun waktu terus berjalan, Fikri tak dapat menghindar dari dosa masa lalu yang terus mengejarnya. Ia tetaplah kucing peliharaan Tante Sonya, kapanpun sewaktu-waktu ia dapat dipaksa kembali menjalani pekerjaannya yang hina. Ia tak punya alasan lagi untuk menghindar. Malam itu Sonya menjemput paksa Fikri yang baru pulang dari masjid. Sesampainya di rumah Sonya, Fikri diseret menuju sebuah kamar, tangannya diikat, Fikri tak dapat berbuat apa-apa saat kemejanya dilucuti oleh wanita iblis itu.
“Oohhh jadi sekarang begini kelakuanmu? Kamu mau taubat kayak cerita di film-film?” Tanpa tedeng aling-aling Sonya menumpahkan amarahnya di hadapan Fikri yang terus berontak sambil berteriak-teriak.
Sudah sebulan lebih Sonya selalu gagal membujuk Fikri untuk kembali pada profesinya. Cara halus tak mempan, Sonya tak kehabisan akal. Ia seret lelaki yang ia panggil Steve itu untuk diberikan ‘sedikit pelajaran’. “Jangan bertingkah tolol Steve! Kamu tetap kucing! Walau bagaimanapun kamu tetap kucing! gak ada pantes-pantesnya kamu pake kopiah kayak orang sok suci! Kamu kira Tuhan bakalan maafin kelakuan bejatmu apa?” Sonya mengatakannya sambil berkacak pinggang. Fikri tak dapat berbuat apa-apa selain terus memberontak. Dua orang gundik berbadan kekar terus memegangi lengannya.
“Aku udah gak mau lagi jadi Kucing peliharaanmu Sonya! Aku udah gak mau lagi jadi gig*lo! Biarkan aku lepas dari semua ini. Aku bisa melunasi hutang-hutangku. Tapi aku mohon Sonya lepaskan aku.” ujar Fikri parau.
Sonya melangkah pelan mengitari tubuh lelaki yang tak berdaya itu sebelum meraih rahang Fikri dan mengangkat dagunya hingga mereka saling bertatapan. “Jangan bodoh Steve! Kamu menikmatinya bukan? limpahan uang, kehidupan mewah, kesenangan tanpa batas, belum lagi wanita yang menyewamu kebanyakan pelanggan kelas atas. Jika bukan karena aku, kamu dan adik-adikmu sudah membusuk di kontrakan kumuh. Kamu itu makhluk gak tahu terimakasih.”
Sonya masih melanjutkan kalimatnya, Kini sambil meraba dada bidang Fikri yang tak tertutupi selembar kemeja. “Jangan sia-siakan gairah mudamu Steve. Kamu tampan, semua wanita menginginkanmu. Kamu bisa hidup senang, gak usah turutin jeritan batinmu, ngapain juga mesti repot-repot jadi orang alim. Jangan batasi kebebasanmu Steve.” Jemari lembut Sonya terus menggerayangi tubuh Fikri. Fikri tak tahan menahan amarahnya. Ia begitu jijik pada perempuan sundal itu hingga tanpa sadar ia meludah ke wajah Sonya. Sonya menatapnya dengan penuh amarah. Fikri mendapati satu pukulan keras bersarang di perutnya. Sakit sekali. Ia tak dapat menyangga berat tubuhnya saat kedua gundik Sonya melepaskan cengkramannya.
Fikri tak dapat bertumpu pada lengannya yang terikat, jadilah ia jatuh berdebam dengan kening menghujam lantai. Pelipisnya berdarah, ia mengerjap-ngerjap kesakitan sambil mengerang parau. “Lepasin dia” Perintah Sonya. Lengan Fikripun terbebas dari jerat tali. Fikri masih tertelungkup di lantai, Sonya menjumput rambut hitam Fikri seraya berkata “Ini yang akan kamu dapat kalau kamu melawanku Steve” Sambil tersenyum Fikri menjawab lantang. “Aku gak pernah takut pada apapun Sonya. Aku gak pernah takut sama ancamanmu” Dan Fikri meludah lagi ke wajah Sonya, ludahnya bercampur percikan darah. “Aku senang sekali dapat melakukannya dua kali” Ujar Fikri sambil menyeringai parau. Amarah Sonya memuncak, ditendangnya tubuh Fikri hingga tersungkur menghantam tembok. Fikri nampak kesakitan. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat, juga sakit karena luka. Tapi ia merasa amat lega malam itu.
Fredi dan Among, dua gundik Sonya menambahkan penderitaan Fikri. Dihajarnya wajah Fikri hingga berdarah-darah. Sonya tambah ngamuk. Iblis betina itu balik menampar kedua gundiknya. “Jangan rusak wajahnya idiot!” Labrak Sonya kasar. “Wajah tampan ini adalah asetku yang paling berharga” Ujar Sonya sambil mengangkat wajah lebam yang masih tetap terlihat tampan itu. Fikri langsung menepisnya. Sonya punya banyak sekali ‘kucing’. Zaman sekarang tak sulit mencari lelaki yang mau menjajakan dirinya demi uang. Tapi, Fikri tetaplah kucingnya yang paling berharga. Kucingnya yang paling tampan dan berkelas.
“Apa yang kamu inginkan dari aku Sonya?” Sambil mengerang kesakitan Fikri masih dapat berteriak. “Aku hanya ingin kamu tetap menjadi kucingku. Kucing manis yang penurut. Bukan kucing garong pembangkang seperti sekarang.” “Bagaimana kalau aku tidak mau?” “Kamu harus mau Steve. Kamu gak punya pilihan?” “Hutangku sudah hampir lunas. Kamu gak bisa lagi memaksaku menjalani profesi haram yang menjijikan! Aku bukan binatang Sonya. Dan aku gak sudi jadi sapi perahmu terus menerus” Sonya melempar setumpuk kertas kearah Fikri. “Hutangmu gak akan pernah lunas sampai kapanpun Steve. Bunga hutangmu sudah melebihi pokoknya. Aku bisa aja menyeretmu ke meja hijau. Tapi untuk saat ini aku lebih senang kamu menjadi kucingku. Kucing kesayanganku” Ujar Sonya tersenyum penuh kemenangan.
Fikri menatap nanar pada tumpukan kertas itu. Biaya pengobatan almarhum ibunya, kwitansi obat, biaya pemeriksaan, juga seluruh biaya pendidikan Wulan, Dani dan April yang dulu dibayarkan Sonya kini menjadi beban tak berujung untuk Fikri. Disana dengan bodohnya tertulis perjanajian yang dulu ia tanda tangani. Ia tak pernah membacanya hingga tuntas, Disana tertulis bunga hutang yang mencapai tiga ratus juta lebih yang akan dihitung dengan pokoknya hingga Fikri dapat membayar lunas semuanya.
“Kamu gak bisa terus memperlakukanku seperti ini Sonya.” Fikri tak sanggup lagi menahan ledakan emosinya, suaranya kini terdengar parau. “Tentu saja bisa!” Teriak Sonya. “Aku tidak akan pernah ridho Sonya. Suatu saat Allah akan membalas semua perbuatanmu terhadapku.” Kini Fikri dapat merasakan bahunya bergetar. Ia berharap airmatanya tidak tumpah di hadapan wanita iblis itu. Sonya hanya menyunggingkan senyum sinis mendengar ucapan Fikri. “Tinggalkan dia sendiri. Nampaknya dia gak akan pernah sadar.” Dua gundik Sonya segera meninggalkan ruangan itu. Sebelum beranjak Sonya membisikkan sesuatu ke telinga Fikri. “Kamu gak akan pernah lolos dariku Steve. Jangan bermimpi untuk lepas dariku”.
Fikri ditinggal sendirian di ruangan pengap itu. Daun pintu dikunci dari luar. Tidak ada apapun di ruangan itu. Fikri benar-benar tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Jika ia nekat melawan Sonya, ia dan adik-adiknya pasti akan celaka. Jika ia diam saja, ia akan terus dizalimi oleh perempuan iblis itu. Ia tak mau lagi menjual diri demi uang. Ia benar-benar ingin berhijrah.
Bagaimana jika ia dan adik-adiknya kabur sesegera mungkin? tapi kemana? Sonya pasti akan melaporkannya ke polisi. Bukan perkara sulit bagi kepolisian untuk melacak dirinya. Hidupnya akan hancur seketika. Ia tak mungkin menang melawan Sonya di pengadilan. Nampaknya tak ada lagi jalan keluar baginya. Fikri begitu putus asa, hingga tak sadar ia menangis. Seperti terakhir kali ia melakukannya di malam ketika ia merasa amat bingung akan nasib ibunya yang terus dirundung penyakit dan adik-adiknya yang terancam putus sekolah seperti dirinya.
Sambil terus tersedu, Fikri menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya. Ia resapi kata-kata Sonya yang terlontar berkali-kali. Sonya tak mau melepaskannya hanya karena ia banyak disukai wanita. Sonya tak mau melepaskannya karena serigala-serigala betina haus nafsu itu berani membayar Fikri lebih mahal ketimbang kucing Sonya yang lain. Hal itu sungguh tak adil bagi Fikri. Ia tak pernah meminta dilahirkan dengan fisik sempurna. Ia tak pernah menginginkannya. Jika boleh memilih ia tak ingin terlahir sebagai … Fikri. Ia tak mau, sungguh tak mau. Jika kesempurnaan fisiknya malah menjadikan dirinya hidup seperti binatang.
“Ya.. Allah. Saya tak tahu lagi harus berbuat apa. Bantu saya Ya Allah. Saya hanya tak ingin lagi melayani wanita-wanita itu. Saya mohon ya Allah tolonglah saya. Tolonglah hambamu ini!” Sambil berkata seperti itu fikri merebahkan tubuhnya diatas lantai keramik yang dingin, airmatanya tak jua berhenti menetes. Di malam itu ia merasa amat kedinginan. Ia tak memakai kemeja, sedang diluar sana hujan deras menerpa daun jendela. Fikri merasa seluruh tubuhnya remuk. Ia sempat berfikir akan lebih baik baginya apabila ia mati saat itu juga. Namun Tuhan berkehendak lain. fikri masih dapat menatap mentari pagi keesokan harinya.
Sonya memanggil dokter pribadinya untuk mengobati luka-luka Fikri. Wajah Fikri sedikit lebam, namun dengan cekatan asisten Sonya menyamarkan lebam itu hingga tertutup sempurna. Fikri menatap hampa pantulan wajahnya di cermin besar di hadapannya. Sonya telah memilihkannya setelan jas yang akan dikenakan Fikri di acara kencan spesial dengan isteri pejabat yang telah menyewanya. Fikri tersenyum sinis saat menatap dirinya. Nantinya pakaian bagus itu akan ia tanggalkan seluruhnya jika sudah sampai di kamar hotel. Pelanggannya, siapapun itu, lebih senang melihatnya telanj*ng ketimbang berpakaian. Ia kucing bukan? ia memang binatang. Manusia normal menikah dan mempunyai istri. Binatang tidak menikah. Binatang tidak malu bermain s*ks dengan siapa saja. “Entah kapan aku bisa menjalani hidup layaknya manusia” Batin Fikri pasrah.
Tak ada perdebatan lagi. Malam itu Fikri melayani pelanggannya. Sonya senang, kucing kesayangnnya telah kembali. Fikri menyembunyikan semua jerit hatinya. Malam itu ia kembali menjadi Steve yang dulu. Steve yang hangat, romantis, spontan, dan jantan. Fikri sudah lama sekali tidak melakukannya. Tapi ia tidak canggung. Di dalam kamar hotel lantai sepuluh itu, Fikri benar-benar membuat pelanggannya yang ia panggil Agnes itu puas.
Usai menuntaskan tugasnya, Fikri beranjak menuju beranda. Tante Agnes tengah terkapar di ranjangnya, dari balkon lantai sepuluh Fikri dapat melihat langit kota Jakarta yang terang benderang. Terbersit di benaknya untuk melompat dari balkon. Mengakhiri hidupnya. Tapi itu tak menyelesaikan masalah. Adik-adiknya akan kelaparan sepeninggalnya. Dan lagi alasannya untuk mati sama seperti alasannya untuk tetap hidup. Tak ada. Kosong. Ia tak tahu harus bagaimana apabila tetap hidup, juga tak tahu apa tujuannya mengakhiri hidup. Hanya Tuhan yang dapat menolongnya.
Cerpen Karangan: Ali Anfal Blog / Facebook: Ali Anfal