Suatu sore di sebuah desa kecil nan permai di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Tempat dimana bubungan gunung Halimun Salak nampak menjulang pongah, mengawasi ratusan petak sawah yang mulai menguning. Semilir angin meningkahi kicau burung, gemerisik bulir padi mendendangkan sebuah simfoni alam nan merdu. Riak air sungai yang airnya sejernih embun menggelegak menghantam batu-batu cadas, mengairi kebun-kebun milik warga yang banyak ditanami sayuran segar berwarna hijau, sesegar udara yang memenuhi desa itu.
Sore hari, awan jingga nampak berarak menuruni punggung gunung, warna lembayung nan lembut menghias seisi langit. Kepak sayap burung-burung prenjak yang tengah pulang ke sarang mereka menggoreskan seberkas warna hitam di langit. Para petani yang bekerja di kebun & sawah mulai beranjak menuju peraduan mereka dengan menenteng cangkul & Ani-ani. Sisa-sisa peluh bertebaran di wajah mereka. Baju mereka dipenuhi noda lumpur. Namun seberkas senyum menguar di wajah mereka yang nampak kendur oleh rasa lelah, saat satu sosok yang mereka kenali berkelabat lewat di sisi pematang sawah sambil menyunggingkan sebuah senyum hangat. Sosok itu nampak anggun mengenakan gamis berwarna putih gading, jilbab yang ia kenakan mengayun lembut diterpa angin. Sosoknya yang tinggi semampai nampak kontras dengan pemandangan disekitarnya. Sambil menenteng lusinan buku yang berjejal rapi di dalam kantong plastik berwarna hitam perempuan berwajah lembut itu terus mempercepat langkahnya.
Zainab namanya. Pemandangan ia tengah melintasi pematang sawah di pagi & sore hari sudah tak asing lagi bagi para petani di dusun Suka Mukti desa Babakan, Cisalak. Zainab melangkah tergesa menyusuri petak-petak sawah, langkahnya terhenti saat dirinya berada di ambang pintu sebuah rumah berbentuk panggung nan sederhana yang letaknya tepat di ujung sebuah cekungan yang memisahkan area persawahan dengan perkampungan warga. Zainab mematung sejenak, dari dalam dinding bilik bambu gubug sederhana itu terdengar dengan jelas suara yang teramat merdu bagaikan nyanian surgawi. Suara itu tengah melantunkan potongan surat Al-Hujurat dengan lagham yang sangat indah. Sungguh suatu anugerah tersendiri mendengar nyanyian surgawi itu di sore hari yang permai.
Zainab telah sering mendengar suara itu, namun ia masih tak dapat membendung kebiasaannya menitikan air mata tiap kali ia mendengar lantunan ayat suci Al-Quran yang mengalun merdu dari pemilik suara itu. Rasa syukur perlahan menyesap memenuhi hatinya.
“Assalamualaikum…” Lantunan indah itu seketika berhenti ketika Zainab mengetuk daun pintu, derap langkah kaki yang tergopoh terdengar jelas di lantai kayu rumah panggung itu. Ketika daun pintu terbuka nampaklah seraut wajah seorang remaja berusia sekitar 17 tahun yang tersenyum sambil menjawab salam. Pemuda itu mempunyai paras teramat rupawan. Kejernihan akhlaknya nampak jelas dari sorot matanya yang teduh, wajahnya bersih dan cerah, kopiah hitamnya nampak pas membingkai gurat wajahnya yang tegas. Sosoknya nampak bersahaja dalam balutan baju koko berwarna putih. Pemuda itu tak lain adalah adik angkat Zainab bernama Fauzan.
Lantai yang tersusun dari balok-balok bambu berdecit saat Zainab melangkah masuk menuju ruang tamu kecil tempat lauk pauk & nasi telah tersaji di sebuah meja lesehan yang telah disiapkan adiknya. Fauzan bergegas menuju dapur mengambil piring-piring & gelas-gelas porselen serta sebakul nasi yang masih mengepul. Zainab sudah biasa dengan suasana seperti ini, di gubug kecilnya hanya Fauzan yang bisa ia temui. Adiknya itu yang menyiapkan makan malam, mengerjakan tugas-tugas rumah, sementara Zainab mengajar di sebuah TPA di seberang desa. Setelah berdoa Mereka makan tanpa bersuara. Selepas membereskan peralatan makan & menyapu lantai, Zainab & Fauzan berbincang sejenak. Tidak ada televisi di rumah itu, dan memang itu keinginan mereka berdua. Hanya ada lusinan buku di rak kecil yang menenpel dengan tembok di sudut ruangan.
“Kak, aku dapet undangan dari DKM Mesjid Al-Ikhlas buat ngisi acara sebagai Qori di perayaan tahun baru islam. Acaranya malam minggu ini kak. Ini suratnya.” Fauzan memberikan selembar surat kepada Zainab ada logo panitia PHBI & DKM Al-Ikhlas di kopnya.
Zainab mebaca dengan seksama isi surat itu. Sudah ratusan jumlahnya kertas semacam itu yang ia terima, baik ketika mereka masih tinggal di Jakarta maupun setelah mereka pindah ke Sukabumi. Dari mulai mesjid agung, majlis Ta’lim, Ormas islam, bahkan stasiun TV swasta telah memberi kehormatan untuk mengundang adiknya melantunkan suara emasnya. Namun Zainab tak selalu memberi restu di setiap undangan yang diterima Fauzan. Zainab tidak ingin adiknya itu terlampau sibuk menghadiri undangan yang tak ada habisnya, sementara kegiatannya menimba ilmu di sekolah maupun di pesantren tak menyisakan banyak waktu luang. Ia tahu adiknya itu lebih berminat mendalami ilmu Qur’an & Hadits, serta Insya Allah dengan niat yang tulus ingin menjadi seorang Mufassir. Ia lebih senang menghafal Al-Qur’an ketimbang mengasah suara emasnya. Dan juga hanya Zainab dan sang khaliq yang tahu, bahwa di balik sikap Tawadhu-nya Fauzan menyimpan masa lalu yang pahit. Yang dengan sekuat hati selalu ia sembunyikan di balik senyum hangatnya.
“Oke kakak ngizinin. Tapi pulangnya jangan kemaleman ya…” Ujar Zainab sambil melipat kertas undangan itu. “Acaranya Cuma sampai jam 12 malem kok. Kakak juga ikut yah” “Insya Allah” jawab Zainab sembari tersenyum.
Dari luar kumandang Adzan Maghrib menyela pembicaraan mereka. Fauzan bergegas menyambar kopiahnya dan setelah pamit, berlalu dari hadapan Zainab. Di luar, temannya Farid sudah menunggunya, pemuda-pemuda di kampung memang rajin memakmurkan mesjid. Dari balik jendela Zainab memperhatikan adik angkatnya itu yang berjalan memunggunginya. Dalam hati ia berucap syukur, bocah yatim piatu yang telah menjadi adik angkatnya dua belas tahun silam, kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang soleh.
Jemaah sudah berjejal di pelataran mesjid sejak ba’da Isya. Sebuah acara akbar yang digelar di dusun kecil itu benar-benar telah menarik antusiasme warga. Anak-anak kecil saling berlarian di halaman mesjid, para pedagang makanan & mainan turut menyemarakkan acara itu dengan menggelar dagangan mereka sejak pukul 7 malam. Saat acara dimulai seluruh tempat di mesjid besar itu telah penuh disesaki jemaah. Zainab duduk di barisan depan, adiknya Fauzan nampak sibuk membagikan air mineral, kalungan name tag panitia menggantung rendah di lehernya. Namun saat acara hendak dimulai adiknya itu tak nampak lagi batang hidungnya. Mungkin ia tengah mempersiapkan diri untuk penampilannya nanti. Pikir Zainab.
Acara pertama pembacaan ayat suci Al-Quran. Semua hadirin serentak terdiam. Seorang remaja dengan setelan baju takwa serba putih menghambur ke podium dengan menenteng Al-Quran. Seluruh hadirin tak ada yang memalingkan pandangannya dari sosok itu. Begitupun Zainab. Ruangan jemaah wanita jadi ramai membicarakan sosok itu.
“Itu adikmu Fauzan kan? Ganteng banget yah dia” seru Iklima yang duduk di sebelah Zainab. Zainab Cuma tersenyum mendengar komentar itu. Namun kali ini ia sedikit risih dengan bisikan hatinya, karena bukan perasaan bangga seperti di masa lalu yang bertahta di sana melainkan perasaan kagum serta entah apa, yang ia sendiri tidak tahu pasti. Namun satu hal yang pasti baginya bahwa ia sendiri turut menirukan tingkah remaja-remaja putri di ruangan itu dengan memandang penuh takjub akan sosok itu.
Suara Fauzan yang merdu menggema di tiap sudut altar mesjid. Ia membuka alunan syahdu kalam ilahi dengan petikan surat Al-Hujurat yang tadi sore ia lantunkan dilanjutkan surat Al-Alaq dan ditutup dengan indahnya petikan surat Al-Isro. Tak pelak ratusan jamaah yang menghadiri acara itu mulai dari sesepuh adat, tokoh-tokoh agama, para kiayi pengasuh ponpes, ustadz-ustadzah, asatidz-asatidzah tidak ada yang tidak menyeru nama Allah swt. Setiap kali Fauzan mengambil jeda di tiap lantunannya. Semua terenyuh akan indahnya suara itu. Tak sedikit yang sampai menitikan air mata.
Lantunan kalimat tayyibah membumbung seantero mesjid tatkala Fauzan selesai dengan Tilawahnya. Fauzan nampak canggung menerima tatapan kagum dari para jamaah, ia berjalan pelan menuju kerumunan panitia. Ketika MC mengambil alih Microphone, Fauzan telah sibuk kembali mengarahkan teman-temannya untuk menyediakan tikar bagi jamaah yang tidak mendapat tempat duduk. Ia belum cerita pada Zainab kalau sebenarnya ia jadi ketua panitia di acara itu.
Siti Halimatus Sa’diyah. Biasa dipanggil Halimah. Zainab tahu dari gerak-gerik Fauzan serta nalurinya sebagai seorang kakak, kalau adiknya itu diam-diam menaruh hati pada gadis cantik berwajah sendu itu. Zainab tidak menilainya selintas lalu. Ia tahu dari pupil mata Fauzan yang membesar atau ekspresi gugupnya tiap kali memandang Halimah. Ia juga dulu pernah merasakan perasaan seperti itu saat masih SMA dulu. Cinta remaja. Tapi ia tahu siapa Fauzan, adiknya itu hanya akan sebatas menjadi pengagum. Fauzan mungkin tak dapat menepis rasa itu, cinta merupakan anugerah dari sang khaliq. Satu rasa yang tanpanya spesies manusia di muka bumi ini akan punah. Karena tanpanya seorang ibu tak akan sudi menimang buah hatinya, seorang ayah takkan rela membanting tulang mencari rizki halal untuk keluarganya, dan sepasang kekasih takkan mengucap janji setia pernikahan. Namun cinta antara lelaki & perempuan yang tidak dilandasi ikrar suci atas nama Allah swt. Akan menimbulkan mudharat, adiknya yang tengah berusaha menjadi seorang hafidz dan telah hafal 20 Juz Al-Qur’an tahu persis akan hal itu.
Zainab berusaha menahan gejolak hatinya tiap kali ia perhatikan Fauzan mencuri-curi pandang ke arah Halimah & melemparkan sebuah senyum. Saat ia lihat wajah Fauzan yang berbinar ceria saat senyum itu berbalas, entah kenapa hatinya terasa panas. Mereka berdua terus mencari kesempatan untuk saling lempar senyum. Tak akan ada yang sadar kecuali mereka yang benar-benar memperhatikan, karena momen itu sendiri tak pernah lebih dari lima detik, dan juga berlangsung tak lebih dari setengah hitungan jari. Zainab paham bahwa baik Fauzan maupun Halimah takkan pernah melakukan yang lebih dari itu. Bahkan mengobrol berduapun mereka tidak berani.
Perasaan dingin seketika menjalari batin Zainab, membuat keningnya berdenyut. Ia tak tahu sejak kapan rasa itu bercokol di hatinya. Ia berusaha berpaling. Namun hatinya kian resah. Sambutan-sambutan dari tokoh-tokoh masyarakat yang membuat jenuh sebagian jamaah telah usai. Tibalah di acara inti. Qasidah Asyroqol yang dilantunkan tim Marawis menyambut kedatangan Al-Mukarom KH Zainal Muttaqien terdengar semarak. Zainab melambai ke arah seorang panitia bernama Fitri yang bertugas membagikan snack di ruang jemaah wanita
“Tolong panggilin Fauzan. Minta dia nganterin teteh pulang. Teteh tiba-tiba pusing” Ujar Zainab, setengah berteriak karena suaranya nyaris hilang diantara keriuhan lantunan Asyroqol. Fitri balas menganggukkan kepalanya. Zainab segera menepi diantara riuh rendah lautan manusia dan merasa tenang saat Fauzan menghampirinya di area parkir motor.
“Kakak serius mau pulang?” tanya Fauzan. Zainab mengangguk. Lama tinggal di Sukabumi membuat logat bicara Fauzan sedikit berubah. “Sayang sekali kak, padahal udah masuk acara inti. Emang kakak gak mau ngedengerin Pak Kiai ceramah? jarang loh dia mau dateng ke kampung kita” Fauzan mencoba membujuk Zainab, tapi dia lihat wajah kakaknya itu nampak pucat. “Kakak pusing banget Zan, gapapa lah mungkin di lain waktu kakak bisa ngadirin acara kayak gini lagi.” “Ya udah. Fauzan anter pulang, tapi kakak tunggu dulu sebentar yah. Fauzan minjem motor Cecep dulu.”
Tak lama Fauzan telah siap dengan motor Suzuki Smashnya dan mempersilahkan Zainab naik di kursi penumpang. Malam itu pekat & berembun, jalan-jalan di sekeliling mereka begitu sepi. Lengkingan suara jangkrik memecah kesunyian malam. Deru motor mereka beradu dengan suara speaker mesjid yang dari kejauhan menggemakan suara KH Zainal Muttaqien tengah mengumbar lelucon ringannya yang jenaka.
Fauzan mengantar Zainab hingga ke tepi pintu. “Makasih Zan Kamu udah nganter kakak pulang. Sana kamu balik lagi aja ke mesjid, tenagamu lebih dibutuhkan di sana!” “Gak usah lah kak. Fauzan disini aja nemenin kakak” Zainab menggeleng kencang. “Gak zan, kamu harus balik ke mesjid. Kamu kan ketua panitianya. Kamu harus bersikap amanah tiap kali diberi tanggung jawab. Kakak gak apa-apa kok” “Ya udah kak. Fauzan pamit dulu yah. Assalamualaikum” “Walaikum salam.” Zainab memandang sosok itu hingga hilang di ujung jalan.
Cerpen Karangan: Ali Anfal Blog / Facebook: Ali Anfal