Purnama menggantung cerah di kaki langit. Di beranda kecilnya Zainab duduk termenung. Lamunannya membawanya kembali ke masa dua belas tahun silam. Di malam cerah berbintang seperti inilah ia pertama kali bersua bocah yatim piatu kumal (yang kemudian menjadi adik angkatnya) yang tengah menangis sendirian di bawah atap tenda darurat kamp pengungsian korban tsunami di Meulaboh, Nangroe Aceh Darussalam.
Tangis bocah itu tak jua mereda saat Zainab membawanya ke tendanya. Dalam pelukan Zainab bocah itu terus terisak pelan. Dari wajahnya tergurat jelas kesedihan & trauma mendalam. Akibat terlalu lelah bocah itu pingsan dalam rengkuhan Zainab. Paginya setelah siuman ia & teman-teman relawan memberinya makanan & tempat bernaung sementara.
Bocah itu berusia lima tahun saat Zainab temukan. Berondongan pertanyaan dari orang-orang yang turut simpati padanya malah membuatnya takut. Ia tak mau membuka mulutnya untuk berbicara, dan hanya mau disentuh oleh Zainab. Berhari-hari Zainab menunggu hingga trauma yang dialami bocah itu hilang, saat bocah bermata bening itu angkat bicara, Zainab baru sadar kalau ia butuh penerjemah. Bocah itu tak bisa berbahasa indonesia dengan baik. Mungkin ia berasal dari lingkungan yang orang-orangnya hanya menuturkan bahasa Aceh sebagai bahasa sehari-harinya.
Namanya Fauzan. Ia berasal dari sebuah kampung nelayan yang terletak persis di pesisir barat pantai Meulaboh. Ia terseret ombak saat tengah menjaring ikan bersama ayahnya. Ia kini tak tahu nasib kedua orangtua & kedua kakaknya. Kepada Zainab ia minta tolong untuk dipertemukan dengan keluarganya. Permintaan yang sulit. Seluruh desa nelayan sepanjang bibir pantai barat Aceh telah tersapu ombak. Nyaris tak ada yang tersisa. Bahkan dari laporan ekspedisi relawan, banyak desa-desa nelayan yang lenyap tersapu tsunami. Jikapun ada keluarga bocah ini yang masih hidup ia harus mencarinya kemana?
“Siapa nama ayah & ibumu? Serta kakak-kakakmu?.” Bocah itu mencoba mengingat. Ia belum mulai bersekolah saat bencana dahsyat itu terjadi. Ia tak tahu nama ayah & ibunya, di rumah ia biasa memanggil orangtuanya dengan sebutan Abi & Umi Namun ia hafal nama kedua kakak laki-lakinya. Kakak sulungnya bernama Faqih, yang kedua bernama Fajar. Tapi ia tak tahu nama lengkap mereka. Dengan data seperti itu sulit bagi siapapun mencari diantara ratusan ribu pengungsi yang tersebar di ratusan titik pengungsian. Belum lagi kondisi jalan yang rusak menyusahkan mereka untuk bepergian. Rasanya nyaris mustahil menemukan kembali keluarga bocah malang ini.
“Kakak akan usahakan mencari keluargamu. Tapi sementara mereka belum ditemukan kamu harus sehat dulu. makan yang banyak & jangan bersedih. Insya Allah kamu akan dapat bertemu lagi dengan mereka.” Begitu ucapan Zainab kala itu. Namun berminggu-minggu setelahnya, Fauzan tak mendapati usaha berarti dari Zainab selain menghubungi satu-persatu post pengungsian menanyakan kalau-kalau ada salah satu pengungsi yang berasal dari Desa Singkil, pesisir Barat Meulaboh. Dihari kesepuluh Fauzan memutuskan untuk mencari keluarganya sendirian.
Jarak antara desa tempat tinggal Fauzan dengan kamp pengusngsian lebih dari 10 km. Perjalanan yang cukup panjang apabila ditempuh dengan berjalan kaki. Namun entah bagaimana Fauzan bisa sampai disana. Zainab kelimpungan mencari bocah itu. Dengan menebeng mobil Pick Up milik UNHCR ia berangkat sendirian menjemput Fauzan. Terlambat baginya karena sebuah prosesi penguburan massal tengah berlangsung disana. Ratusan kantong mayat diturunkan dari mobil jenazah. Sebuah ceruk besar telah siap menampung mayat-mayat itu dalam satu liang yang sama. Saat tiba disana ia melihat Fauzan tengah meratap pilu di samping sebuah jenazah yang telah membusuk. Bocah itu terus meraung-raung saat seorang relawan Prancis menggendongnya menjauhi mayat ayahnya.
Fauzan tak mau makan selama beberapa hari. Ia terus menangis, tangisnya yang memecah heningnya malam kerap membuat Zainab terjaga. Ia rangkul bocah malang itu dalam dekapannya, ia bisikkan senandung pengantar tidur ke telinga anak itu. Ia bisikkan pada bocah itu bahwa ia tak perlu khawatir & takut, selama ada Zainab di sampingnya.
Bocah itu akhirnya tertidur pulas. Dalam keremangan lampu patromak yang menggantung di tenda darurat. Perlahan Zainab membelai rambut bocah itu. Anak lelaki yang tampan. Gumam Zainab. Dalam hati ia bertekad akan mengupayakan yang terbaik yang ia punya untuk membuat bocah yatim piatu itu melupakan traumanya, mengembalikan keceriaannya agar ia berani mentap masa depan.
Berbulan-bulan setelahnya hiruk-pikuk kehidupan masyarakat pengungsi telah berlangsung normal. Dan gelombang bantuan internasional mulai surut. Anak-anak telah kembali bersekolah, penduduk sudah mulai bisa mencari nafkah. Tiba saatnya bagi Zainab & teman-temnnya dari perkumpulan relawan ACTA untuk pulang.
Fauzan menatapnya dengan tatapan yang tak bisa ia artikan saat Zainab tengah membungkus barang-barangnya ke dalam sebuah koper. Dengan elastisitas anak-anak, Fauzan telah kembali ceria & bermain dengan teman-teman sebayanya di pengungsian. Selama masa-masa pemulihan psikisnya, Zainab tak pernah jauh dari Fauzan. Itu dirasa cukup bagi zainab. Namun ia tahu pasti ia tak bisa meninggalkan Fauzan sendirian.
“Kakak mau kemana? Kakak jangan pergi! kalo kakak pergi Aku mau ikut kakak…” teriak Fauzan dalam bahasa indonesia yang canggung. Zainab tak bisa menjawab, kata-katanya seakan tercekat di kerongkongan. Ia pandangi bocah sebatang kara itu, jauh di kedalaman hatinya ia ingin membawa bocah malang itu ke kehidupannya. Mengasuhnya, memberinya kasih sayang, pendidikan yang layak & tempat bernaung. Namun sebagian dirinya yang lain menyeangkalnya. Bagaimana ia bisa menghidupi Fauzan kalau selama ini untuk makan dan biaya kuliah saja ia banyak berhutang.
Perkara mengadopsi anak korban tsunami bukan urusan mudah, Zainab harus mengurus perizinan mulai dari Dinas Sosial sampai catatan sipil. Ia pasrahkan segalanya kepada yang maha kuasa. Tiga hari sebelum kepulangannya, ia beristikharah. Dalam istikharah singkatnya yang tak satupun berakhir dengan mimpi, membuat hatinya makin mantap untuk mengadopsi Fauzan.
Akhirnya keputusan besar diambil gadis berdarah Jawa itu. Zainab membawa Fauzan ke kehidupannya. Bersamaan dengan itu, ia sadar bahwa kehidupannya takkan pernah sama lagi.
Zainab menjalankan peran sebagai seorang kakak, ibu, ayah, sekaligus teman, sama baiknya dengan ia membagi waktunya untuk kuliah dan mencari nafkah. Ia tak pernah kekurangan rasa kasih untuk dibagi pada adik angkatnya. Fauzan membalas kasih tulus itu dengan caranya sendiri. Sejak ia menatap Zainab untuk kali pertama dan mendapat pelukan hangat dari wanita berjilbab berwajah lembut itu, dalam hati ia berjanji bahwa wanita yang selalu ia sebut namanya dalam setiap panjatan doa di sepanjang sisa umurnya itu, akan menjadi orang yang paling ia hormati dan sayangi, juga hanya kepadanyalah baktinya tercurah.
Saat malam hari rasa letih yang dirasakan Zainab luruh seketika tatkala mendengar Fauzan melantun ayat suci Al-Quran dengan suara jernih serupa nyanyian surgawi. Ia rasakan matanya tergenang merembes ke hatinya manakala Fauzan memanjat doa untuknya tiap kali mereka hendak tidur. Berkali-kali ia kecup kening adiknya seraya mengucap syukur tak terhingga kepada sang khaliq. Fauzan adalah hal terindah dalam hidupnya yang dianugerahkan sang maha pencipta kepadanya, seorang wanita dengan masa lalu penuh dosa.
Tak banyak yang tahu kehidupan Zainab sebelum merantau ke ibukota. Semasa remaja dulu ia terkenal bandel. Pergaulan bebas serta gaya hidup hedonis telah menjerumuskannya ke dalam jurang tak bertepi. Tempat dimana ia telah tersuruk begitu dalam & tak bisa kembali, karena memang tak ada jalan kembali selain pergi jauh meninggalkan kisah hidupnya & menutupnya rapat-rapat. Selamanya.
Di usia lima belas tahun ia telah berteman dengan rok*k dan minuman keras. Pakaian yang ia kenakan selalu mempertontonkan aurat, yang dengan penuh nista selalu ia banggakan. Sejak dulu ia memang cantik. Tak heran banyak lelaki yang tertarik padanya. Zainab remaja, yang tolol & labil dengan cerobohnya menukar kegadisannya dengan benda laknat penukar kesenangan semu. Bukannya bertaubat ia malah semakin menjadi-jadi. Dari satu pria hidung belang, ke pria hidung belang yang lain. Ia begitu menikmati, mendapati dirinya yang masih pelajar SMA mampu mengenyam kemewahan yang hanya dapat dirasakan segelintir kawan-kawannya. Hingga akhirnya seluruh perbuatan nistanya kembali padanya melalui sebuah ‘Rezeki’.
Ia hamil. Kehamilan yang tak pernah diinginkan. Ia tak dapat menyembunyikan perutnya yang kian membuncit dari hari kehari. Hingga menjelang kenaikan kelas ia diusir tanpa hormat dari sekolahnya. Saat itu ia masih tegar. Surat DO-nya masih dapat ia sembunyikan. Namun dari hari kehari kecemasan & rasa bersalah melingkupi hatinya. Membuat ketegarannya tergerus, diganti berbagai fikiran negatif yang kemudian muncul. Ia takut membayangkan ledakan amarah yang pasti didapatnya dari sang ayah yang berwatak seperti singa. Juga ia tak sanggup melihat ibunya yang berhati lembut menangis tersedu-sedu. Ia tak ingin membuat malu kedua oangtuanya. Maka di malam ulang tahunnya yang ke tujuh belas yang seharusnya menjadi saat terindah buatnya, ia kabur dari rumah. Dengan bekal uang seadanya ia melanjutkan hidup di ibukota. Bekerja serabutan. Bayi dalam Kandungannya lahir prematur dan meninggal tak lama setelah menatap fananya dunia.
Ia begitu sedih & putus asa di malam pertama bulan ramadhan enam belas tahun yang lalu itu. ia yang sendirian dalam isaknya, bersimpuh di atas sajadah panjang mesjid Baitul Mu’min seraya memohon ampunan kepada sang khaliq. Ia bukan seorang saleh, dan sama sekali tak pantas menerima ampunannya, namun ia tak pernah berputus asa akan rahmat tuhannya. Sejak itu ia rasakan kehidupannya menjadi lebih mudah saat ia pasrahkan dirinya kepada sang khaliq.
Tiap kali mengenang kronik kehidupannya di masa lalu, lantunan hamdallah selalu terucap di bibir Zainab. Ia bersyukur bahwa Allah Swt, masih berbaik hati memberikan hidayah kepadanya.
Bulan menggantung di sela gemerisik dedaunan. Malam yang syahdu. Tempias sinar lembut menerpa wajah Zainab. Lamunannya kembali mengantarnya pada kisah masa lalunya. Yang setelah kehadiran Fauzan menjadi lebih berarti.
Fauzan tumbuh menjadi anak yang soleh & penurut. Tragedi kelam dalam kehidupannya serta kenyataan bahwa ia kini hidup sebatang kara di perantauan telah menempanya menjadi pribadi yang lebih dewasa dari usianya. Zainab takkan pernah lupa pada satu kejadian di suatu malam yang membuatnya mengucap ikrar pada dirinya sendiri bahwa ia akan berusaha untuk membuat adiknya tersenyum apapun yang terjadi, meski ia harus tertaih-tatih memegang janjinya.
Saat itu masa libur panjang sekolah, Zainab tak punya waktu untuk membagi keceriaan dengan Fauzan di taman bermain ataupun tempat rekreasi. Fauzan tak pernah mengeluh maupun merengek macam-macam. Sepanjang liburan Fauzan banyak mengisi waktu senggangnya dengan bermain dengan anak-anak keturunan Aceh di sekitaran pasar Jatinegara. Fauzan selalu pulang larut malam, entah apa yang dikerjakannya.
Malam hari Zainab yang tengah terlelap, terbangun dari mimpinya oleh suara lirih Fauzan. Di dapatinya adiknya itu tengah duduk bersimpuh di sehelai sajadah sambil mengahafal ayat-ayat suci Al-Qur’an. Adiknya itu nampak khusyu mengulang hafalannya, Zainab menatap Fauzan dari atas ranjangnya dan ia tak dapat membendung perasaan haru yang membuncah di dadanya yang seketika menerbitkan air mata di pelupuk matanya.
Kejadian itu terus terulang, malam demi malam, yang terus tergenapi menjadi hitungan bulan. Fauzan telah menghafal 5 Juz Al-Qur’an. Kepada Zainab ia tuturkan bahwa ia setiap hari belajar menghafal Al-Qur’an di TPA yang diasuh Ustadz Maulana. “Kata pak Ustadz Maulana barang siapa yang dalam kalbunya terpatri Ayat-ayat Al-Qur’an haram bagi api neraka menyentuh kulitnya, dan juga ia akan dapat syafaat untuk orang-orang yang disayanginya. Fauzan ingin sekali suatu saat bisa mengkhatamkan hafalan Fauzan. Fauzan niatkan pahalanya untuk kak Zainab, Umi dan Abi.” Tak terbayang rasa haru yang membuncah di hati Zainab mendengar ucapan polos anak yatim piatu itu. Airmatanya tak dapat lagi ia bendung. Ia dekap erat adik angkatnya itu sambil terus tersedu.
Cerpen Karangan: Ali Anfal Blog / Facebook: Ali Anfal