Fauzan benar-benar menjadi pelita sekaligus rahmat dalam kehidupan Zainab. Dirasakannya batinnya semakin lekat menyebut asma Allah tiapkali ia dengar lantunan ayat suci Al-qur’an dari suara adiknya yang begitu jernih. Ia terus berucap beribu syukur adiknya tumbuh menjadi anak yang soleh.
Di usianya yang kesembilan, sebuah piala besar dipersembahkan Fauzan untuk sang kakak. Dan menyusul puluhan yang lain, yang didapat adiknya dari berbagai lomba MTQ yang diikutinya dari tingkat kecamatan hingga tingkat nasional. Bersamaan dengan itu undangan datang silih berganti, diikuti Rezeki yang seakan tercurah tiada putus.
Di ulang tahunnya yang kesepuluh Fauzan mengucap satu permintaan yang membuat Zainab sesak menahan ledakan haru. Fauzan ingin mengahajikan Zainab beserta kedua orangtuanya. Tabungannya telah cukup untuk menunaikan niat baiknya itu. Di ruang tamu rumah kontrakan mereka yang sempit Zainab memeluk erat adik angkatnya yang amat dikasihinya itu. Baju koko putih yang dikenakan Fauzan basah oleh air mata zainab.
Segumpal awan hitam menutupi wajah sang rembulan yang terus mengintip Zainab yang tengah termenung ditemani kenangan masa lalunya. Sebersit senyum terlukis di wajah wanita berparas ayu itu. Fauzan adalah jawaban atas semua do’a yang ia panjatkan kepada sang khaliq. Ia hadir memberi setitik keajaiban & harapan dalam kehidupan Zainab. Berkat Fauzan hubungannya dengan kedua orangtuanya membaik.
Fauzan telah mengubahnya menjadi insan yang tawadhu. Adiknyalah alasan utama kenapa ia sekarang duduk termenung disini, di gubug sederhana di desa nan permai di pelosok kabupaten Sukabumi. Jika bukan karena janjinya untuk menuruti apapun keinginan adiknya, mungkin ia takkan rela meninggalkan pekerjaannya yang telah mapan di Jakarta.
“Fauzan ingin tinggal di pesantren tempat dulu pak Ustadz Maulana belajar menghafal Al-Qur’an. Kalo kakak ngizinin, lulus SD nanti Fauzan pengen sekolah sambil mondok di sana.” Fauzan mengucapkan keinginan itu sambil menunduk, tak berani menatap kakaknya. Selama tinggal bersama Zainab bisa dihitung dengan jari keinginan Fauzan yang memberatkan kakaknya.
Tentu saja Zainab akan sangat kesepian apabila jauh dari adiknya. Itu adalah tahun keenam Zainab mengadopsi Fauzan, ia telah dua kali gagal membina biduk rumah tangga. Saat itu belum genap dua bulan lepas masa Iddah dari perceraiaan dengan suami keduanya. Zainab masih merasa sedih, hanya karena ia tak bisa memberi lelaki tempramen keturunan Bima itu seorang anak, ia diceraikan begitu saja. Dengan lelaki pertama lebih sadis lagi, ia telah membeli serigala berbulu domba dalam karung. Ia dibohongi mentah-mentah, lelaki yang mengaku lajang saat menikahinya ternyata sudah berkeluarga. Harapannya untuk memiliki imam dalam hidupnya yang sepi kandas begitu saja.
“Kakak ngizinin kamu buat mondok di sana. Selama itu diniatkan untuk Tholabul ilmu di jalan Allah.” Fauzan mengangguk riang sambil memeluk Zainab. Dua bulan kemudian mereka telah berkemas meninggalkan hingar-bingar ibu kota.
Fauzan cepat beradaptasi dengan lingkungan barunya, rutinitas hariannya begitu padat. Dari pukul 04.00 pagi hingga ba’da Ashar dihabiskannya di pesantren Salafi asuhan KH. Abdul Munir. Kecuali pukul 07.30 s.d 13.00 saat ia menimba ilmu di sekolah formal, seluruh waktunya tersita dengan duduk takzim mengisi ruangan majlis di serambi mesjid ataupun bangunan reot pondok yang memiliki santri berjumlah lebih dari seratus itu. Disana ia menimba berbagai macam ilmu mulai dari Fiqh, Hadits, Nahwu-Sharaf, sampai Tasawuf. Sore hari ia pulang ke rumah untuk memasak makanan kesukaan kakaknya, serta mengerjakan pekerjaan rumah tangga, untuk kemudian ke mesjid lagi mengisi pengajian dan melanjutkan mengaji kitab kuning di pondok hingga larut malam.
Zainab tenggelam dalam rutinitasnya menjadi guru honorer di MI An-Nur serta mengajar TPA di desa seberang. Seiring berjalannya waktu, Fauzan tumbuh menjadi anak remaja yang ramah & periang. Teman-temannya banyak yang mengidolakannya. Zainab sendiri tak terlalu hirau dengan perubahan yang terjadi pada adiknya. Namun ia tak dapat memungkiri bahwa sekarang tubuh Fauzan yang tegap berisi telah melampaui tinggi badannya. Dan adiknya itu yang berpenampilan kalem & sedehana selalu berhasil memikat perhatian kaum hawa. Saat di tempat keramaian, di jalan menuju pasar, di ladang, di sekolah maupun di pondok.
Bersamaan dengan itu Fauzan seperti membuat jarak dengan kakaknya, ia tak lagi menyentuh lengan Zainab saat berpamitan, ia selalu menundukkan pandangannya di hadapan kakaknya, pun saat mereka berjalan bersisian, Fauzan selalu mengambil jarak. Seketika Zainab sadar bahwa betapapun dalam ikatan batin yang telah terjalin diantara mereka sebagai kakak & adik, mereka tetaplah dua insan yang tidak memiliki pertalian darah. Adalah hal wajar kalau Fauzan yang telah menghafal Al-Qur’an sejak kecil bersikap seperti itu kepada Zainab, akhwat yang bukan mahramnya.
Malam kian larut, pekat yang merundung mega memunculkan kilau cahaya ribuan bintang ditemani temaram cahaya sang rembulan di batas garis cakrawala. Semilir angin berhembus menggoyang ranting-ranting pohon, burung malam terus memainkan lagunya. Zainab terpekur sendirian di beranda gubug sederhananya. Kantuk yang perlahan menyergap memaksanya beranjak ke peraduan, mengakhiri semua perenungannya malam itu. Sebelum beranjak tidur tak lupa ia berwudhu dan shalat malam dua rakaat, tak berapa lama iapun larut dalam lelapnya.
Fikiran bawah sadarnya tak dapat menerka pukul berapa adiknya memutar gerendel kunci. Deritan lantai kayu rumah panggungnya mengikuti langkah kaki adiknya. Zainab setengah tersadar saat adiknya merapatkan selimut tebal yang telah tersibak tak beraturan, serta dengan lembut memegang keningnya, demi memastikan kondisi kakaknya baik-baik saja. Zainab dapat merasakan punggung tangan adiknya begitu lembut & hangat menyentuh leher, kening dan kedua pipinya. Mungkin tubuhnya memang panas karena masuk angin. Dengan telaten Fauzan memakaikan kaus kaki dan menumpuk dua lembar selimut tebal keatas tubuhnya.
Entah ia bermimpi atau tidak malam itu Fauzan terjaga di sisi pembaringannya, lepas shalat malam adiknya itu larut dalam tafakkur panjangnya di atas selembar sajadah. Hingga lengkingan suara muadzin terdengar membelah kesunyian fajar, Ia dapati Fauzan terlelap di sisi ranjangnya. Seulas senyum terukir di wajah adiknya kala Zainab membangunkan Fauzan yang nampak payah menahan kantuk.
“Kakak udah gak pusing lagi?” Zainab hanya menjawab dengan seulas senyum, ingin rasanya ia membelai lembut kening adiknya seperti yang ia lakukan dulu. Namun bahasa tubuh Fauzan menyiratkan kembali tembok tak kasat mata yang selama setahun terakhir ini terus dibangun adik tercintanya. “Alhamdulillah, kalo kakak sudah baikan” Hening. Keduanya saling terdiam, tenggelam dalam fikiran masing-masing.
“Lebih baik Kakak hari ini gak usah ngajar dulu. Nanti Fauzan yang bilang ke bu Ismi kalau kakak sakit.” Zainab menggeleng keras. “Nggak kok, kakak nggak apa-apa. Cuma pusing sedikit doang, paling Cuma masuk angin.” Fauzan beranjak dari sisi kakaknya, menyambar kopiah yang tergantung di atas kusen jendela, merapikan kancing kemejanya dan bergegas menuju surau. “Fauzan pamit ya kak, Assalamualaikum…” “Walaikum salam”
Iklima yang duduk di samping Zainab terus berceloteh nyaris di sepanjang perjalanan panjang yang terentang antara Sukabumi-Serang. Meninggalkan desa kecil nan permai tempat Zainab bermukim, menuju tempat wisata ziarah yang sudah direncanakan panitia sejak jauh-jauh hari. Bersama rombongan majlis Ta’lim serta santri Ponpes, kafilah mereka yang berjumlah dua ratus dua puluh orang, berjubelan mengisi delapan bus ber-AC menuju empat lokasi sekaligus. Mereka akan mengunjungi makam para wali & alim ulama yang telah berjasa menyebarkan agama islam di tanah sunda, terutama di daerah kesultanan Banten Lama.
Sementara Iklima terus berceloteh ikhwal suaminya & kehidupan rumah tangganya yang sama sekali tidak menarik untuk disimak, Zainab terus memandang ke arah jendela. Menatap miris jalan-jalan yang berlubang di sana-sini. Akses utama menuju destinasi wisata pantai mulai dari Anyer, Carita, hingga Sawarna nampak tak terawat. Sementara pembangunan pabrik-pabrik berlangsung masif.
Saat melewati daerah Cilegon hati Zainab kian miris melihat bukit-bukit cadas nampak gundul & bopeng sana-sini digerogoti mesin-mesin traktor yang bekerja tanpa henti siang & malam. Mengeruk habis material tambang yang terkandung di dalamnya. Udara di sana sungguh tidak ramah. Perpaduan antara polusi, kekeringan, serta kepengapan. Zainab tak mau membayangkan suatu saat bukit-bukit hijau yang ada di desanya akan bernasib sama seperti tempat muram itu.
Bus Marita yang ditumpanginya terus melaju, membelah areal persawahan yang kering kerontang akibat kemarau berkepanjangan. Seorang petani berusia paruh baya, susah payah mencangkul sepetak sawahnya di tengah sengatan sang surya. Upaya sia-sia untuk menemukan sumber air bersih. Kontradiksi kembali muncul manakala ia melewati alun-alun kota Serang. Pendopo Gubernur terlihat paling mencolok diantara bangunan lain.
Sementara bus terus melaju, pemandangan di sekitar Zainab berubah menjadi desa-desa muram dengan rumah berdinding bilik bambu yang letaknya bersebelahan dengan perumahan elit. Sebuah senyum sinis tersungging di bibir Zainab manakala ia melewati sebuah bangunan yang namanya tak asing di benaknya “Ratu Hotel” mau tak mau ia jadi teringat dengan berita basi ikhwal sebuah kasus yang menyeret orang nomor satu di Provinsi yang memisahkan diri dari Jawa Barat di tahun 1999 ini.
Perjalanan yang ditempuh Zainab bersama sang adik berlangsung khidmat. Fauzan berseru senang manakala bus yang ditumpanginya melewati daerah Banten Lama, tempat rerentuhan benteng peninggalan kesultanan Banten teronggok menyedihkan. Benteng itu telah menjadi saksi bisu pasang surutnya kerajaan islam di nusantara. Saksi sejarah yang kini telah lapuk dimakan usia.
Mereka singgah di makam ulama besar, Raden Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan nama Fatahillah. Salah satu dari sembilan Wali songo yang berasal dari Banten. Mereka berjejalan di antara para peziarah yang berasal dari berbagai daerah untuk sekadar menengok makam sang wali.
Bus kembali melaju menuju destinasi ziarah selanjutnya. Zainab menyesali keputusannya mengajak Fauzan ikut serta dalam wisata ziarah ini. Ia pandangi wajah adiknya yang duduk di kursi depan, yang kini nampak pucat & tegang. Bukan karena mabuk, melainkan karena pemandangan dari balik kaca jendela membuat adik tercintanya itu terpaksa mengenang masa lalunya.
Selepas keluar dari komplek makam Fatahillah garis pantai yang membentang sejauh Dua puluh Km lebih terhampar di hadapan mereka. Sebagian khafilah memekik girang, setelah perjalanan panjang yang melelahkan ini mereka bisa berlarian di tengah deburan ombak menikmati pantai berpasir putih. Sementara Fauzan terus memejamkan mata, raut wajahnya nampak menahan kepedihan. Ingin rasanya Zainab menghambur memeluk adiknya, tapi ia tahu ia tak bisa melakukannya.
Makam ulama besar Banten bernama Syeikh Muhammad Soleh Bin Abdurrohman terletak di atas bukit setinggi lebih dari enam ratus meter. Peziarah yang hendak berkunjung ke makam ulama yang wafat pada tahun 1550 M itu harus meniti ratusan anak tangga sebelum sampai di puncak bukit. Banyak peziarah yang tak sanggup melanjutkan perjalanan & memutuskan menepi ke gubug-gubug kecil yang bertebaran di sisi-sisi tebing yang menjajakan minuman dingin & pemandangan indah dari atas bukit dengan view garis pantai Anyer yang nampak membiru.
Zainab kewalahan mendaki puluhan anak tangga di hadapannya. Ia telah tersusul jauh dengan rombongan. Rok panjang yang ia kenakan semakin mempersulit langkahnya. Nafasnya tersengal-sengal kala kakinya menapak anak tangga entah yang keberapa. Semilir angin menerpa wajahnya. Tepat di hadapannya ia dapati Fauzan tengah mematung sambil menatap nanar garis pantai yang menghampar di bawah bukit beserta deburan ombak yang memercikkan bau khas air laut.
Fauzan terus mematung di tempatnya, tak menyadari kawan-kawannya yang berjalan melewatinya. Zainab mendongak menatap Fauzan, meski samar Zainab dapat melihat kembali kepedihan itu. Kepedihan yang telah dua belas tahun berusaha dipendam adiknya di dasar hatinya yang terdalam.
Zainab terpaku di tempatnya berdiri, jarak antara ia & adiknya hanya dipisahkan lima ruas anak tangga. Nanar ia menatap Fauzan yang berusaha keras menyembunyikan kesedihannya. Buku jarinya terkepal erat diantara celana panjangnya, bahunya bergetar hebat, sorot matanya menggelap, & bibir merahnya terkatup rapat. Sosok itu bukanlah sosok yang Zainab kenal selama lima tahun belakangan ini, itu bukan Fauzan yang tegar, periang & Qanaah. Melainkan sosok bocah yatim piatu rapuh yang kehilangan segalanya, yang terus menangis dalam pelukan Zainab. Sosok yang selalu memendam kerinduan tak bertepi di setiap lantunan munajatnya. Sosok yang begitu mendamba kasih sayang kedua orangtuanya.
Zainab menyentuh bahu Fauzan dengan lembut, membuyarkan lamunan adiknya sembari mengingatkan kalau mereka sudah tertinggal jauh dari rombongan. Biasanya Fauzan akan menepis sentuhan itu, namun kali ini adiknya justru menggenggam erat jemari Zainab. Tak mau melepaskan.
Cerpen Karangan: Ali Anfal Blog / Facebook: Ali Anfal