Mereka sampai di areal makam yang dipenuhi peziarah tepat pukul 11 siang. Fauzan segera melepaskan cengkramannya, menatap Zainab dengan sorot mata yang tak dapat ditafsirkan. Meminta maaf dengan suara pelan. Bibirnya terus melantun istighfar. Pandangannya kembali ia tundukkan. Zainab tersenyum kecil, ada desiran di hati kecilnya.
Cakrawala berhias warna lembayung di sore nan cerah itu, kepak sayap burung camar menggores seberkas warna hitam diantara hamparan awan yang berarak ringan. Debur ombak saling timbul tenggelam, sahut-menyahut diantara gelak riang wisatawan yang berlarian diantara jernihnya pasir putih. Biru laut yang menghampar tak bertepi sampai sejauh batas mata memandang, menyuguhkan panorama indah tiada tara. Matahari yang mulai menenggelamkan separuh raganya di garis cakrawala, menambah syahdu suasana sore itu.
Di sudut terjauh sisi pantai yang berjarak tak kurang lima puluh meter dari makam ulama Banten yang baru saja selesai diziarahi rombongan kafilah, Fauzan nampak tengah duduk termenung di atas sebongkah batu besar sehitam jelaga. Ia sendirian di tempat itu. Sementara kawan-kawannya menikamti sunset sembari berlarian di pinggir pantai, meresapi deburan ombak. Fauzan memilih menyendiri di tempat yang terlindung parit setinggi dua meter itu, tempat Puluhan batu-batu cadas berjejalan mengisi tepiannya. Cipratan ombak yang menghantam perut batu-batu granit yang sudah ada disana entah sejak kapan itu, menampar wajah Fauzan yang terus tenggelam dalam laranya.
Lamunannya menghantarnya kembali pada kenangan masa kecilnya. Yang sekarang nampak begitu jauh, seolah semua itu bukan lagi bagian dari masa lalunya. Masih terekam dalam ingatannya suasana sore nan syahdu di bibir pantai Meulaboh yang selalu ia nikmati bersama kakaknya. Mencari ikan, menyelam, melihat karang-karang yang menjadi rumah bagi ikan badut, membantu ayahnya menyiapkan jaring dan melempar sauh ke tengah birunya air dan berlarian di sepanjang tepian pantai ditemani kepak sayap burung camar. Ia rindu akan itu semua. Ia rindu kakak-kakaknya, dan ia teramat rindu dekapan ayah dan ibunya. Ia amat menyesal waktu telah mencabut hampir semua kenangannya. Kini bahkan ia lupa wajah lembut Abi yang selalu memarahinya tiapkali ia dan kak Fajar pulang kemalaman mencari teripang. Ia lupa wajah umi yang tiapkali hendak tidur selalu mendekapnya erat, mengelus rambutnya & mengisahkan sebuah cerita pengantar tidur diselipi sepucuk nasihat yang sampai sekarang terus terngiang dibenaknya. “Jadilah anak yang soleh. Tidak ada lagi tujuan hidup manusia di muka bumi ini selain berharap Ridho Allah.”
Fauzan sekuat hati memendam dukanya. Ia tak mau larut dalam kesedihan yang telah ia hapus sekian lama. Kerinduannya sudah tak dapat tertangguhkan. Saat matanya menyapu lukisan mega yang berwarna keemasan, bibirnya berucap lirih. “Umi… Abi… Kak Faqih, Kak Fajar… Fauzan kangen. Fauzan ingin bertemu kalian!!.” ia tahu setetes air mata yang merambat pelan mengaliri pipinya akan membuatnya tak bisa berhenti meratap. Ia tak pernah menangis sejak usianya delapan tahun. Ia tak mau menangis demi satu orang dihidupnya. Sosok yang dengan ketulusan tanpa batas merengkuhnya dari cengkraman nasib yang tak berbaik hati padanya. Namun kini ia telah kalah. Ia biarkan air matanya mengucur deras, membuat dadanya sesak, Wajahnya ia sembunyikan diantara lipatan kakinya. Ia terus terisak, hingga seseorang dengan lembut merengkuhnya seperti ketika ia pertama kali bertemu sosok itu dua belas tahun silam.
Zainab menyesali kebodohannya, jika saja ia tahu, atau setidaknya ia lebih peduli untuk mencari tahu tentang destinasi wisata ziarah yang akan dilaluinya bersama adiknya. Sudah barang tentu ia lebih memilih untuk tidak ikut serta. Dan kini hatinya bergemuruh tak karuan mendapati Fauzan sendirian dalam lamunannya, dengan nanar memandang birunya air laut sambil menenggelamkan wajahnya menahan tangis yang telah lama ia pendam.
Zainab menghampiri kemudian merengkuh bahu adiknya, mengangkat wajah itu yang kini basah oleh duka. “Kamu tidak pernah sendirian, Zan! Kamu selalu punya kakak, kakak gak akan pernah meninggalkanmu. Dan insya Allah kakak akan selalu ada untuk membuatmu bahagia. Kamu gak boleh sedih lagi. Kamu harus tegar. Walau bagaimanapun hidup akan terus berlanjut, apapun yang terjadi. Dan sebagai hambanya kita hanya bisa menerima apa yang telah ditentukannya dengan hati yang ikhlas.” Zainab memandang wajah adiknya yang terus terisak dalam pelukannya. Ia lupa betapapun sempurna sosok itu, ia masih tetaplah seorang remaja 17 tahun sebatang kara yang memerlukan perhatian & kasih sayang. Ia masihlah Fauzan adiknya, yang selalu menatap iri tiapkali teman-temannya di antar jemput ayahnya ke sekolah. Ia masihlah Fauzan adiknya, yang selalu memendam kerinduan untuk dapat terlelap dalam dekapan ibunya.
“Maafin Fauzan, sudah buat kakak sedih. Fauzan janji ini akan jadi tangisan Fauzan yang terakhir. Fauzan gak akan pernah nangis lagi. Demi apapun. Bahkan demi almarhum Abi & Umi. Kecuali demi kakak Fauzan gak akan lagi meneteskan air mata. Insya Allah.”
—
Kanker serviks. satu dari tujuh wanita indonesia menderita penyakit yang gejalanya tak kasat mata namun mematikan itu. Zainab tertunduk lesu mendengar vonis dokter atas dirinya. Usia, jodoh, rezeki & ajal manusia sudah tertulis dalam ketentuan sang khaliq. Namun demikian Zainab berfikir jika usianya takkan lama lagi. Ia tak dapat melawan penyakitnya kecuali dengan mukjizat. Stadium 4, penyakit paling banyak membunuh wanita di dunia, & ia tak sanggup untuk kemotherapy atau semacamnya. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah memperbanyak amalan saleh untuk bekal akhirat nanti.
Adiknya tak bersamanya saat ia menghadapi ganasnya penyakit yang terus merongrong tubuhnya. Fauzan tengah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Al-Azhar, Mesir. Universitas tertua di dunia yang telah banyak mencetak ulama handal. Dalam surat-suratnya Fauzan banyak berkirim kabar seputar kehidupannya di negeri piramida. Tentang asramanya, tentang tesisnya, tentang hobi barunya bermain basket, dan juga tentang kisah teman-teman sesama mahasiswa. Disetiap suratnya Fauzan selalu mendoakan agar Zainab senantiasa dalam lindungan Allah Swt. Serta mendoakan Fauzan agar bisa lulus kuliah tepat waktu agar bisa segera pulang menemui kakaknya.
Zainab tak mau mengganggu keberlangsungan pendidikan adiknya. Ia tak pernah mengabari Fauzan ikhwal penyakitnya. Ia tahu bagaimana sifat adiknya. Fauzan pasti akan cemas, bahkan mungkin akan langsung terbang ke tanah air, cuti kuliah selama beberapa bulan demi merawat kakaknya. Zainab tak ingin itu terjadi, selama ia bisa melakukan sesuatunya sendiri, ia tak ingin menyusahkan siapapun.
Zainab sudah berhenti mengajar tiga bulan lalu, kini hidupnya ia habiskan dengan memperbanyak ibadah dan zikir kepada Allah swt. Kadang dalam kesendiriannya ia termenung memikirkan sisa hidupnya. Wajahnya kian pucat karena setiap hari penyakit ganas itu terus bersarang menggerogoti daya tahan tubuhnya yang kian menurun. Dalam pada itu kilasan masa lalunya kerap memenuhi fikirannya dalam satu dua adegan layaknya Scene film yang tengah memutar adegan Flash Back. Dalam kilasan peristiwa itu sosok Fauzan tak pernah terpisahkan.
Zainab masih ingat betul bagaimana Allah SWT. Mempertemukan ia dan adiknya dalam sebuah nestapa ditengah bencana. Ia masih ingat wajah Fauzan saat masih kanak-kanak. Menenteng kitab menuju surau, menghafal al-Quran sampai larut malam, Fauzan yang berjanji takkan merengek menangisi kepergian keluarganya, namun masih kerap tersedu sendirian dalam munajatnya. Juga takkan lekang dibenaknya sosok Fauzan remaja. Fauzan yang ganteng & pintar. Fauzan yang selalu iabanggakan. Fauzan yang bercita-cita menjadi seorang ulama. Seorang ahli Tafsir (Mufassir).
Mau tak mau kilasan itu memunculkan kembali adegan disaat ia melepas kepergian adiknya. Saat itu hari Jumat. Hari yang selalu spesial bagi Fauzan & Zainab. Karna dihari itu seluruh kegiatan pesantren diliburkan. Usai shalat jumat biasanya Fauzan dan zainab akan pergi ke pasar, membeli bahan makanan untuk diolah di dapur sederhana mereka. Fauzan bertugas mengolah masakan, sedang Zainab membantu hal-hal remeh seperti mengiris bawang, mengulek sambal ataupun mencuci piring kotor. Usai memasak mereka melanjutkan bersih-bersih rumah. Sore hari mereka bersepeda keliling kampung atau sekedar bercocok tanam di sepetak kebun yang terletak di halaman rumah. Namun siang itu usai shalat jumat mereka tak lantas istirahat. Ada kesibukan lain yang menyita waktu mereka. Fauzan akan berangkat menuntut ilmu, di negeri yang tak terbayang jauhnya. Zainab masih ingat lambaian tangan terakhir sebelum adiknya itu meninggalkannya di bandara. Fauzan tak tahu bahwa setelah kepergiannya Zainab menangis tanpa henti.
Menjelang hari raya Idul Fitri Fauzan pulang. Zainab menyambutnya dengan memasak makanan kesukaan adiknya, ia tak menjemput Fauzan di bandara. Kondisi fisiknya tak memungkinnya melakukan hal itu. Saat tahu Fauzan akan datang, Zainab menunggu di beranda rumah. Matanya berkaca-kaca saat ia mendapati Fauzan setengah berlari menghampirinya dari ujung jalan. Tergopoh-gopoh menenteng dua buah koper berisi buku-buku serta oleh-oleh untuk Zainab. Sosoknya terlihat tampan diusianya yang kini dua puluh dua tahun. Zainab menghampiri Fauzan dengan perasaan haru. Fauzan tersenyum riang untuk kemudian mencium tangan kakaknya dengan satu gerakan takzim, seolah berkata dalam setiap sorot matanya bahwa ia amat merindukan kakaknya. Dan ia sangat bersyukur.
Malam itu suasana begitu takzim. Gema takbir saling bershutan disetiap sudut kampung. Malam nampak sangat cerah dengan taburan bintang dan temaram sinar rembulan. Zainab merasa hidupnya telah amat lengkap. Ia dianugerahi adik yang soleh. Juga kehidupan yang bahagia. Namun tak ada yang tahu bahwa selama ini ia merasa amat kesepian. Tak ada cinta dihatinya selain cintanya pada sang khaliq. Tak ada pula seorang yang diutus sang khaliq untuk menjadi teman hidupnya untuk bersama merengkuh ridhonya. Tak ada kecuali adiknya Fauzan. Zainab merasa ia telah selesai dengan semua urusan dunia. Usianya takkan lama lagi.
Di sudut beranda gubug kecilnya, dimalam Lailatul Qadr itu ia menatap Fauzan lekat-lekat. Adiknya itu tersenyum padanya untuk kemudian memulai perbincangan. Ada kekhawatiran dalam sorot mata adiknya melihat kondisi Zainab sekarang. Zainab selalu berusaha mengelak dengan berkata tidak ada apa-apa dan berkata bahwa ia baik-baik saja setiap kali Fauzan mengkhawatirkannya. Namun kali ini Zainab tak dapat mengelak lagi.
“Tak ada yang perlu kamu khawatirin Zan. Kakak baik-baik aja. Dan akan terus baik selama masih ada Allah di hati kakak,” Zainab mengatakannya dengan mimik pucat dan bibir bergetar hebat. “Masalah usia, rezeki, maupun jodoh semua sudah kehendaknya. Kakak tidak menyesal sedikitpun dengan kehidupan yang kakak jalani. Kakak punya segalanya untuk disyukuri. Dan yang terpenting kakak memiliki kamu. Adik yang soleh dan berbakti.” Zainab berusaha tersenyum saat mengatakannya. Fauzan menyimak takzim. Nampak sekali dalam raut wajahnya, adiknya itu sangat cemas dan khawatir.
“Teruslah jadi dirimu yang seperti ini Zan. Jangan berubah. Jangan sombong, meski sudah berilmu. Tetap Tawadhu. Tetap Istiqomah dan Qanaah. Doakan kakak apabila kakak sudah tidak lagi berada di sismu.”
Airmata Fauzan tumpah di malam yang syahdu itu. Ia tahu itu akan jadi nasihat terakhir yang diberikan kakaknya untuk dirinya. Ia selalu memegang teguh nasihat kakaknya. Ia tak lagi menangis untuk apapun kecuali untuk kakak tercintanya. Ia akan selalu berusaha untuk menjadi seorang soleh lagi berguna untuk sesama. Ia akan terus memegang nasihat itu. Juga janji yang ia ikrarkan sepuluh tahun yang lalu.
Fauzan dan Zainab masih sempat merayakan Idul Fitri terakhir mereka dengan senyum kemenangan. Namun seminggu kemudian Zainab sakit parah hingga tak bisa beranjak dari pembaringannya. Fauzan dengan setia merawat kakak tercintanya. Tak lama kemudian Zainab berpulang keharibaan sang Khaliq. Fauzan amat bersedih namun disaat-saat terakhir kebersamaan mereka, Zainab masih dapat memaksa Fauzan untuk berjanji agar adiknya itu tak menangisi kepergiannya.
Fauzan tak berlama-lama meratapi kemalangannya. Setahun kemudian ia lulus dari Universitas Al-Azhar dan melanjutkan studinya di negeri Arab. Dalam usia yang relatif muda ia telah berhasil menelurkan banyak sekali kitab maupun tafsir Hadits yang kini menjadi rujukan umat muslim bukan hanya di Indonesia melainkan di seluruh dunia.
“Semoga Allah Swt. Meridhoi segala yang aku perbuat. Dan semoga kakakku juga ridho akan diriku.” “Kakak selalu meridhoimu Zan. Kakak tak pernah menyesal mengurusmu sedari kecil.” “Terimaksih kak. Terimakasih atas semuanya.”
Cerpen Karangan: Ali Anfal Blog / Facebook: Ali Anfal