Di dalam kamar berukuran 3×3 m2 itu Zeni mengemasi pakaian dan beberapa barang miliknya, tampak kesedihan yang terlihat dari perempuan tiga puluh dua tahun itu, sesekali ia menyeka air matanya sebagai luapan emosi atas apa yang baru saja terjadi, sementara, di balik pintu kamar Zeni, terlihat Jojo yang tengah berdiri menyaksikan Ibu sambungnya itu sedang mengemasi barang-barangnya, Jojo terlihat ketakutan, bocah laki-laki yang kini duduk di bangku kelas enam SD itu hanya berdiri di depan pintu kamar Zeni.
Di sudut ruangan keluarga, tampak sosok pria bule tengah menghisap sebatang rok*k sambil menyeruput secangkir kopi hitam, kepulan asap menyembul ke langit-langit atap, lelaki brewok itu sibuk dengan kebiasaannya sendiri, dia tidak memedulikan perempuan yang bernama Zeni itu tengah menangis, sesaat setelah keduanya bertengkar hebat karena sesuatu yang menurutnya itu adalah hal yang sepele dan biasa. Zeni, istrinya yang baru tujuh bulan dinikahinya itu menuntut untuk pulang ke rumah orangtuanya, dan laki-laki itu tidak peduli dengan apa yang diinginkan Zeni, dia membiarkan istrinya mengemasi barang-barangnya begitu saja tanpa dicegahnya. Jojo mencoba mendekati Zeni, Ibu sambungnya yang sudah dianggapnya seperti Mama Ken wanita yang mengandung dan melahirkan Jojo dua belas tahun yang lalu, diantara ketakutan dan keberanian, Jojo memeluk Zeni Ibu tirinya.
“Mami Zeni mau ke mana?” tanyanya polos “Mami Zeni jangan tinggalin Jojo, Jo takut sendirian di rumah” anak laki-laki itu memaksa menghentikan aktifitas Zeni, Zeni pun terpaksa menoleh memandangi anak tirinya. “Jojo, Mami Zeni mohon maaf, Mami Zeni sudah tidak bisa lagi untuk tinggal di sini” kedua tangan Zeni memegangi tubuh Jo, sementara Jo sendiri menangis selayaknya anak kecil yang tidak ingin ditinggal pergi jauh oleh Ibunya, Jo kembali memeluk tubuh Zeni tetapi kali ini lebih erat, entah kenapa Jo teringat kembali kepada Mama Ken Ibu kandungnya yang sudah meninggal sekitar empat tahun yang lalu. Bagi Jo Mama Ken adalah perempuan yang selalu menjadi malaikat pelindungnya karena kemana pun Jo pergi Mama Ken tidak pernah absen untuk selalu mendampinginya.
Jo ingat betul saat itu usinya delapan tahun, Mama Ken yang kerap menjemput sekolah Jo dengan mengendarai motor maticnya hari itu datang telat untuk menjemputnya dikarenakan Mama Ken harus menghadiri rapat di panti asuhan yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya kini, panti asuhan itu dulu pernah menjadi tempat singgahnya sebelum Ayah Jo datang mempersunting dirinya. Sebagai salah satu pengurus panti sekaligus donatur tetap sejak menjadi istri Tommy, Mama Ken kerap bolak balik mengunjungi panti asuhannya.
Dan, siang itu, tepat jam 1 lewat, di waktu yang sudah melewati batas kepulangan anak-anak sekolah, Ken membawa motornya dengan kecepatan yang sangat tinggi karena Ken mengejar waktu, ia tidak ingin anak lelakinya itu kecewa karena telat menjemputnya. Ken memutar balik arah, dilihatnya di seberang jalan ada sebuah sekolah tempat di mana Jo menunggunya di depan gerbang, tiba-tiba sebuah truk barang menabrak motor yang dikendarai Ken hingga tubuhnya terpental beberapa kilometer, dan Jo ingat betul, motor yang dilihatnya saat dirinya tengah berdiri gelisah di depan gerbang sekolah adalah motor milik mamanya, Jo lantas berlari menghampiri tubuh mamanya itu dan berteriak histeris saat dilihatnya perempuan itu tengah meregang nyawa.
Bukan hanya Jo yang kehilangan Ken, Tommy, suami Ken, juga merasa sangat kehilangan perempuan yang sudah sembilan tahun menemani hidupnya. Tidak jarang Tommy mengenang kembali perjalanan kisah cintanya dengan Ken, setelah menangis biasanya Tommy langsung mengajak bicara Ken, meskipun hanya sebuah foto Ken yang dipajangnya di atas piano yang terletak di sudut ruang tengah, Tommy tampak seperti sedang berhadapan langsung dengan istrinya itu. “I will always love you, Ken, until the end…” kata Tommy yang dilanjutkan dengan ritual menciumi foto Ken berkali-kali.
—
Lelaki bule Australia itu memiliki jiwa sosial yang tinggi, kedermawanannya pada kaum papa sudah tidak diragukan lagi, seringkali Tom mengunjungi panti asuhan yang ada di sekitar Badung, Bali, daerah dekat tempat tinggalnya kini. Tidak jarang juga Tom mengajak beberapa rekan kerjanya untuk menyisihkan sebagian rezeki mereka untuk anak-anak panti, dan kegiatan rutin itu ia lakukan sebelum dirinya menikah, tepatnya setelah satu tahun dia bekerja di perusahaan swasta bagian periklanan. Warga negara asing yang sudah memiliki hak berkewarganegaraan Indonesia itu sudah jatuh cinta pada negeri ini, kecintaannya itu dia buktikan dengan mencintai seorang gadis yang bernama Ken Janneta Riyadi, perempuan berdarah campuran Jawa-Bali, yang mana ibu bapaknya meninggal sejak Ken berumur lima tahun karena penyakit yang sama yaitu, tuberculosis.
Ken merupakan salah satu penghuni panti yang sering dikunjungi Tom, karena seringnya dia bertemu, benih-benih cinta itu tumbuh di hati Tom. Tom ingin serius menjalin hubungan dengan gadis itu, dan ternyata Ken menyambut cinta Tom hingga akhirnya mereka berdua menikah. Ken adalah perempuan yang memiliki paras ayu, seperti kebanyakan perempuan Bali pada umumnya, Ken memiliki tubuh yang hampir nyaris sempurna, dengan lekuk tubuh bak model papan atas dia memiliki bentuk lekuk tubuh yang tinggi semampai, rambutnya dia biarkan panjang tergurai, dan itu adalah salah satu alasan Tom mencintai Ken, cinta yang tulus yang dia persembahkan untuk seorang perempuan yang telah berhasil memikat hatinya dari sekian banyak perempuan yang dikenalnya, Tom bersumpah atas namanya, bahwa dia ingin menghabiskan masa tuanya dengan perempuan yang menjadi cinta pertamanya.
Seperti halnya Tom yang mencintai Ken dengan tulus, perempuan yatim piatu itu juga membalas cinta Tom dengan hangat, kedua insan itu saling mencintai satu sama lain, saling berbagi kasih dan saling berikrar dalam suatu ikatan suci pernikahan untuk sehidup semati. Bali memang memiliki pesona tersendiri, semua mata dunia tertuju padanya, tak hanya indah panoramanya, tapi juga indah karena ada kekuatan cinta di dalamnya, seperti cinta Tom dan Ken yang terpatri di Pulau Bali.
Kebahagiaan mereka sebagai pasangan suami istri semakin lengkap dengan kehadiran Jonathan yang telah lahir tepat setelah mereka merayakan hari pernikahannya yang pertama, Jo, panggilan kesayangan bayi laki-laki itu membawa banyak harapan untuk pasangan yang beda usia enam tahun itu. Tom berharap kelak Jo tumbuh menjadi manusia yang dapat menggantikan posisinya dalam mencintai istrinya, merawat dan menjaga perempuan yang dicintainya manakala Tom harus lebih dahulu menghadap kepada Tuhan.
“You are a wonderful woman in my life…” Tom mencium mesra kening istrinya, beberapa jam setelah Ken melahirkan bayi laki-lakinya melalui Operasi Caesar. “Thanks for the love you have given me, for our baby…” tak terasa Ken menangis saat laki-laki itu kembali melayangkan ciumannya bertubi-tubi ke kening Ken. Dan peristiwa itu selalu terngiang dalam ingatan Tom, saat dirinya memilih menyendiri di sudut ruang tengah sambil memandangi foto mendiang istrinya.
Saran agar Tom menikah lagi datang dari beberapa rekan kerjanya, mereka kasihan melihat perubahan drastis yang terjadi pada diri Tom, seringkali Tom menyendiri baik itu di kantor pada saat jam bekerja atau di rumah pada saat istirahat. Saat rekan-rekannya mengunjunginya ke rumah, mereka melihat Tom terus melamun sambil menghisap sebatang rokok. Tom sendiri adalah lelaki bule yang tidak pernah merokok dan meminum alkohol sebelumnya, menurutnya itu semua adalah pekerjaan yang hanya menghambur-hamburkan uang, bagi Tom, memberi sebagian rezekinya kepada anak-anak panti asuhan akan lebih bermanfaat ketimbang untuk membeli rokok dan minuman beralkohol. Tapi sejak ditinggal pergi Ken untuk selamanya, Tom justru memilih rokok dan minuman sebagai teman sehari-harinya.
Tiga tahun lima bulan adalah waktu yang cukup untuk berkabung, ia pun belum begitu tua untuk menikah lagi, selain itu, dia juga masih memiliki seorang anak laki-laki yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari seorang ibu. Dengan pertimbangan itulah, Tom akhirnya menyetujui saran dari teman-temannya untuk menikah lagi, asalkan dengan satu syarat, perempuan itu harus memiliki kesamaan fisik seperti Ken, mendiang istrinya.
Adalah Zeni Tirtamayasari satu-satunya perempuan yang tujuh puluh persen memiliki kesamaan dengan Ken, dari mulai bentuk wajahnya, rambutnya, lekuk tubuhnya, hingga cara bicaranya, mereka berdua seperti pinang di belah dua, padahal tak ada ikatan persaudaraan sama sekali diantara keduanya. Tom mengenali Zeni dari sahabat dekatnya, Dave. Setelah beberapa kali bertemu dengan Zeni, akhirnya hati Tom luluh juga.
Tujuh bulan yang lalu Tom memutuskan untuk menikahinya, Zeni mengiyakan ajakan Tom, meskipun laki-laki itu adalah seorang duda beranak satu yang memiliki perbedaan usia yang cukup jauh yaitu sepuluh tahun, tapi itu semua tidak menyurutkan keyakinan Zeni untuk tetap memilih Tom sebagai suaminya, Zeni juga sangat mencintai dan menyayangi Jo layaknya anak kandungnya sendiri, kedekatan mereka makin terjalin erat saat Jo merasa bahwa hadirnya Zeni adalah reinkarnasi dari Ken, mamanya.
Satu bulan pernikahan semuanya baik-baik saja, Zeni menikmati kehidupan barunya sebagai seorang istri sekaligus ibu sambung bagi Jo. Tapi di bulan ke dua pernikahan, sikap Tom mulai tampak aneh dan Zeni merasa ada yang salah pada diri Tom. “Ken, bisakah kamu menyiapkan sarapan untuk kami lebih pagi lagi? Seperti yang sudah kamu lakukan sebelumnya!” Tom memandangi serius wajah Zeni, tampak Zeni mengernyitkan dahinya. “Aku juga sangat suka salad, kau biasa membuatkan itu untuk sarapanku sebelum ke kantor kan? Ayolah Ken, kamu lupa dengan itu semua?” Tom tidak menyentuh roti panggang buatan Zeni karena dia menginginkan salad. “Kamu juga tampak berbeda hari ini, polesan make up mu terlalu tebal, padahal aku tidak suka dengan itu, aku lebih suka dengan gaya sederhanamu!” Tom berbisik ke telinga Zeni, kebiasaan pagi Zeni memang sudah dilakukannya sejak dirinya belum menikah dengan Tom, berpakaian rapi dan ber make up sebelum dirinya berangkat ke kantor sebagai konsultan keuangan di daerah Badung, Bali. “Aku berangkat dulu, I love you, Ken!” Tom bergegas pergi menuju ke kantornya, dan Zeni baru menyadari atas apa yang baru saja terjadi, Tom memanggilnya dengan panggilan Ken.
Tom selalu begitu, padahal Zeni sudah berkali-kali mengingatkan bahwa dia bukanlah Ken. Tapi Tom tidak bergeming, dan malam itu, di bulan ke tujuh pernikahannya, Zeni mulai tampak kesal karena Tom tidak juga berubah, dia masih terus menganggap Zeni adalah Ken, masa lalunya. “Tom, aku Zeni, bukan Ken, please!” malam itu mereka tengah menikmati makan malam, untuk yang kesekian kalinya Tom memanggilnya dengan nama Ken, dan Zeni mulai tidak nyaman dengan panggilan itu. “Aku tidak peduli sayang, bagiku, kamu tetaplah Ken!” Tom tidak juga bergeming atas ketidaknyamanan istri keduanya itu. “Stop Tom, aku bukan Ken, kalau kamu masih menganggap aku Ken, dan bahkan bayangan Ken, sebaiknya aku pergi!” puncak marah Zeni sudah tidak bisa terbendung lagi, dia pergi meninggalkan makan malam yang masih belum tersentuhnya sama sekali, sementara Jo yang duduk di samping Tom mulai ketakutan, dia memilih mengikuti langkah Zeni dari belakang.
“Mami harus pergi, Jo. Mungkin ini yang harus mami lakukan agar papi bisa lebih baik lagi” Jo menghampiri Zeni yang tengah mengemasi pakaian dan barang-barangnya. “Kalau begitu Jo ikut, biar Jo tinggal dengan mami Zeni” katanya dengan nada yang melas. Zeni memandangi wajah Jo dengan lama, ingin sekali ia membawa anak tirinya itu, dan mengasuh serta membesarkannya layaknya anak kandungnya, tetapi kemudian pikiran itu segera ia tepis, Zeni takut terjebak dalam memori masa lalu antara bapak dan anak itu, dia tidak ingin Jo juga menganggapnya sebagai Ken, ibu kandungnya. “Tidak Jo, kamu harus tetap tinggal di sini bersama Papi…” akhirnya Jo meninggalkan Zeni seorang diri di dalam kamarnya.
Malam semakin pekat, saat itu pukul setengah sepuluh malam waktu Bali, langkah Zeni mengendap seperti seorang pencuri yang tidak ingin diketahui aksinya, tangan kirinya menenteng satu buah koper, Zeni sedikit mengangkat tas kopernya agar tidak menimbulkan suara. Saat dia ingin membuka pintu, hati Zeni tampak bergemuruh, ia begitu sulit membuka pintu rumah itu yang tampaknya sudah terkunci rapat. Jantung Zeni kian berdegup kencang, aroma ketegangan mengaliri aliran darahnya, raut wajah Zeni semakin terlihat tegang manakala sosok anak tirinya itu tiba-tiba saja berdiri tepat di depannya sambil memegang sebuah kunci, bocah itu tampak menyeringai, mulutnya mengucapkan sesuatu dengan sangat pelan, sesuatu yang tidak dapat didengar oleh Zeni.
“Mama Ken, don’t leave me alone!” sebuah benda keras mendarat tepat di pelipis mata Zeni, Zeni terjatuh dan tidak sadarkan diri.
Cerpen Karangan: Yatie Hasan AlBanna Blog: yatiehasan-albanna.blogspot.co.id Yatie Hasan adalah adalah nama pena dari Nurhayati, lahir di Jakarta, 17 Februari 1982, saat ini berprofesi sebagai Guru Swasta di salah satu SMK Swasta