Detik demi detik terus berlalu. Mengiringi tiap desah nafas yang kuhirup dan kuhembuskan. Begitu kelabu kisahku saat itu..
Aku Bella, perempuan yang kata orang cantik, tapi aku fikir hanya cantik pada namanya. Sebagian orang mengataiku gadis belia yang baik, sederhana, jarang mengeluh, dan kukuh pada tekadku. Tapi, tak sedikit pula orang-orang disekitarku menggunjing dan mengolok-olok keadaanku. Terutama karena aku terlahir sebagai anak kurang mampu. Tidak sedikit yang membenci setiap aktivitas yang aku lakukan, tapi aku hanya diam dan menanti datangnya balasan bagi mereka tanpa harus aku turun tangan. Karena aku percaya, Tuhan masih dan akan selalu menyayangiku dan keluargaku.
Hingga tiba waktunya ayahku terjatuh sakit. Awalnya memang aku tak peduli. Bahkan aku sempat mengedepankan ego yang seharusnya tak layak diberikan kepada orangtua sendiri. Aku masih terngiang masa-masa ketika dulu ayah memarahiku dengan berbagai macam cara. Entah apakah memang saat itu ayah benar-benar peduli padaku atau hanya ingin meluapkan amarahnya padaku? Ah aku tak peduli itu. Yang pasti, aku masih memendam luka dari setiap kejadian-kejadian pedih itu.
Hingga aku tersadar, ketika ayahku benar-benar terlihat sakit, dan nampak lebih lemah dari biasanya. Walaupun memang, selemah apapun keadaannya, dia tetap tak lepas dari sifat kerasnya. Ia sempat menentang untuk dirawat di rumah sakit. Bukan sekali, berulang kali ia mengelak. Sedang ibuku. Meski ia sering tersakiti oleh ungkapan-ungkapan kasar suaminya, ia tetap sayang dan peduli tethadap keadaannya. Berulang kali ibu membujuk ayah untuk dirawat di rumah sakit. Berulang kali pula ibuku dibuat malu atas perilaku ayahku. Tapi ibuku selalu bersabar. Hingga akhirnya ayahku bisa merasa lebih tenang.
Aku menghubungi kakakku yang berada di luar kota perihal sakitnya ayah. Hingga kakakku merasa lemas seketika. Tak lama ia pulang ke rumahku dan menjaga ayah. Betapa bahagianya ayahku ketika melihat anak perempuannya berada disampingnya. Meskipun itu bukan aku. Entahlah, mungkin ayah memang sayang denganku, tapi mungkin aku masih terlalu kasar untuk menyaring ungkapan sayang ayahku, hingga hanya kakak perempuanku itulah yang mampu mengambil hatinya. Namun tak masalah bagiku. Asal ayah bisa tersenyum meskipun sakit.
Tak terasa sudah satu minggu ayah dirawat di rumah sakit. Hari ini, aku ada kegiatan di sekolah dan harus diikuti seluruh kelas. Acara itu menyenangkan, dan entah apa yang aku pikirkan, tiba-tiba saja air mata mengalir begitu saja. Jantungku berdetak hebat kala itu. Ada apa? Beberapa teman di sekitarku menanyakan ada apa denganku. Entahlah. Aku sendiri tak tahu kenapa. Tiba-tiba saja aku mengingat ayahku, dan seketika aku menangis sejadi-jadinya sampai kakiku terasa lemas menopang tubuhku. Sejenak aku melupakan kejadian itu. Aku kembali melakukan aktivitas sekolahku.
Selang waktu beberapa minggu. Ayahku meminta untuk pulang dan dirawat di rumah saja. Tadinya ibu dan pihak rumah sakit tidak setuju. Tapi akhirnya dipertimbangkan lagi dan akhirnya diperbolehkan pulang. Meskipun perlu dilakukan kontrol rutin.
Kakakku telah kembali ke luar kota. Ia melanjutkan aktivtasnya pula. Tapi dia tetap selalu bertanya keadaan ayahku. Hingga satu minggu setelahnya, ayahku terbaring semakin lemah diatas ranjang reot itu. Aku tak tega melihatnya. Aku mendekatinya, memijat kakinya yang dingin, menggenggam tangan yang dulu selalu menggandengku saat kecil. Aku ingat betul ketika ayah menarikku untuk berjalan lebih cepat menyusuri jalan kota, saat ia menggandeng tanganku membantuku naik kereta, dan banyak kenangan manis lainnya. Air mataku tak sanggup kutahan, hingga aku pergi dari kamarnya. Aku tak ingin terlihat sedih didepannya.
Beberapa hari setelah itu, ayahku mengerang kesakitan. Awalnya ibuku hendak membawanya ke rumah sakit. Tapi beberapa warga menyarankan untuk tetap di rumah saja karena melihat keadaan ayahku yang semakin melemah. Akhirnya ibuku pasrah. Saat ibuku hendak membeli sayur untuk makan keluarga, aku disuruhnya menjaga ayahku. Tentu segera kulakukan. Aku melihat gelagat anehnya. Saat ia berusaha mengusir sesuatu di atas kepalanya. Padahal saat kulihat tak ada apapun disana. Aku berusaha berfikr positif. Kemudian aku memeluk dan mencium keningnya.
Saat ibuku pulang, banyak orang yang ingin menjenguk ayahku. Hingga akhirnya aku keluar dari kamar karena kapasitas kamar yang sempit. Tak beberapa lama aku meninggalkannya, kemudian ia terbatuk beberapa kali, dan pada saat batuk terkhirnya.. tak kusangka ia akan mengakhiri hidupnya..
Aku tak menyangka secepat itu Tuhan mengambil nyawa ayahku. Belum sempat aku membahagiakan hidupnya. Belum sempat memperlihatkan kesuksesanku kepada ayahku. Tapi, ayah telah meninggalkanku. Aku kecewa dengan diriku sendiri. Maafkan aku ayahh.. Akan slalu kuingat semua kenangan manis bersamamu..
Cerpen Karangan: Yunn Blog / Facebook: yunn