Aku terbangun dengan mata sembab, kepala juga pusing. Semua ini karena semalaman aku menangis. Ya, aku menangis! Menangisi nasibku, masa depanku dan diriku sendiri.
“Mah, aku nggak mau nikah sama Dimas.” “Mamah tuh pengen kamu bahagia, makanya Mamah pengen kamu nikah sama Dimas.” “Ya tapi nggak gini caranya Mah, kalo gini yang ada Keyza nggak bahagia!.”
Mamah meninggalkanku sendiri, aku bingung harus bagaimana. Tanpa sadar air mataku menetes. Apa aku bisa menikah dengan pria yang sama sekali tidak aku cintai? Bagaimana nasib rumah tanggaku kelak jika aku menikah dengannya? Berbagai macam pertanyaan muncul dalam benakku, dan aku tidak bisa menjawabnya.
Hari ini adalah hari pertunanganku dengan Dimas. Aku ingin sekali pergi dari rumah, lari dari semua kenyataan menyakitkan ini. Tapi demi kebahagiaan kedua orangtuaku, aku akan melakukan keinginan mereka meskipun aku harus mengorbankan kebahagiaanku sendiri. Semua ini aku lakukan karena aku menyayangi mereka. Meskipun mereka tidak peduli dengan perasaanku, perasaan sakit seorang gadis yang harus menikah dengan pria pilihan orangtuanya.
Setelah sekian lama aku bertunangan dengan Dimas, aku menjalani hidup tanpa bersemangat. “Key, kamu nggak bisa gini terus, kamu harus bangkit.” Kata jenny sahabatku. “aku udah pasrah Jen, mungkin emang ini udah takdirku.” “ya kamu tunjukin ke mamah kamu kalo kamu bisa dapetin cowok yang lebih baik dari dimas”. “percuma jen, keputusan mamah nggak akan berubah.”
Hari demi hari, pernikahanku dengan Dimas semakin dekat. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah. Sebenarnya dimas orang yang baik, dia juga tampan. Tapi entah kenapa aku sama sekali tidak mencintainya, meskipun dia mencintaiku.
“aku tahu kau tidak menginginkan pernikahan ini” ujar dimas. “ya, kau benar” “tapi aku akan berusaha agar kau mencintaiku” kata dimas dengan yakin. “kau tahu bahwa cinta itu tidak bisa dipaksakan?” jawabku dengan ketus. “tapi key, sekeras-kerasnya batu karang akan hancur juga bila selalu dihantam ombak”. “dan kau pikir aku seperti batu karang itu? Tidak! Aku tidak akan bisa mencintaimu meskipun kau selalu berjuang”. Mungkin bagi wanita lain aku beruntung dicintai oleh Dimas, tapi tidak denganku. Justru aku berfikir bahwa Dimas yang menghancurkan masa depanku.
Tibalah saatnya dihari pernikahanku. Aku menangis di depan meja rias, menatap diriku di depan cermin. Aku pikir ini hanyalah sebuah mimpi. Tapi tidak, ini nyata! Aku menghapus kasar air mataku, apa yang aku tangisi? Apa sebuah takdir yang aku tangisi? Tidak! Takdir tak pantas ditangisi.
“Key, kenapa kau tidak bisa mencintaiku? Sedangkan kita sudah menjadi sepasang suami istri!” “sampai kapanpun aku tidak akan bisa mencintaimu Dimas!” aku berkata dengan keras dan Brakkkk, aku membanting pintu dengan keras dan pergi meninggalkannya. Hampir setiap hari aku selalu bertengkar dengan Dimas.
Sudah satu minggu aku menikah dengan dimas. Dan selama ini aku tidak pernah melakukan kewajibanku sebagai istri, apalagi untuk berhubungan intim aku selalu menolaknya meskipun Dimas selalu meminta. Bahkan untuk disentuhpun aku selalu marah kepadanya. Namun Dimas selalu sabar menghadapiku.
Aku bertekad untuk pergi ke jogja, pergi meninggalkan suamiku tanpa pamit. Dan akupun tidak meminta izin kepada kedua orangtuaku. Setelah satu bulan aku pergi dari rumah, akhirnya suamiku menginginkan perceraian di antara kita. Itu adalah hal yang sangat aku tunggu. Aku pulang dan meminta maaf kepada orangtuaku dan aku melakukan semua proses perceraian. Setelah semua selesai aku kembali lagi ke Jogja.
Inilah aku, aku yang sudah bukan gadis lagi melaikan janda! Tapi aku senang, karena aku tidak harus bersama dengan orang yang sama sekali tidak aku cintai. Rasanya seperti hidup kembali, dan aku merasa lebih semangat untuk menjalani hidup.
Selama aku di Jogja, aku berkenalan dengan seorang pria bernama Vito. Dan aku jatuh cinta padanya, entah apa yang membuatku begitu yakin bahwa aku mencintainya. Sebenarnya aku malu karena aku adalah seorang janda, namun Vito bisa menerimaku apa adanya. Dan dia tidak mempermasalahkan status jandaku toh yang penting masih dalam keadaan perawan.
Setelah sekian lama aku menjalin hubungan dengan Vito, dia ingin bertemu dengan kedua orangtuaku. “Baiklah nak Vito, jika kau memang mencintai Keyza dan Keyza mencintaimu, maka kami akan memberi restu kepada kalian untuk menikah, tolong jaga Keyza karna mungkin kami tidak bisa menjaganya lebih lama lagi. Semoga kau adalah pria yang tepat untuknya, karna aku sebagai seorang Ayah tak mau apabila anaknya jatuh kepada pria yang salah” “Terimakasih om, tante. Saya janji tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan om dan tante”
Aku sangat bahagia karena papa dan mama memberi restu untukku, aku berjanji akan membahagiakan mereka, membalas semua kebaikan mereka tanpa menyakiti hati mereka lagi.
Keesokannya mama dan papa pergi ke luar kota untuk mengunjungi twmannya yang sedang sakit, jadi aku sendirian di rumah. Dan Vito dia sudah kembali ke Jogja.
“Mah, Pah… bangun! Ini Keyza”. Saat ini aku berada di rumah sakit, karena tak lama setelah kepergian kedua orangtuaku aku mendapat telepon bahwa mereka mengalami kecelakaan. Dan sesampainya di rumah sakit aku melihat mereka sudah terbujur kaku, sungguh aku tidak percaya dengan apa yang aku alami ini. Aku menangis, menjerit dan menyesal. Aku benar-benar kehilangan orang yang sangat berarti bagiku. Aku menyesal karena belum bisa menjadi anak yang baik untuk mereka, belum bisa membahagiakan mereka.
Hari ini menjadi hari rasa sakit terbesarku, karena aku kehilangan orang yang begitu aku sayangi dan cintai. Memang antara cinta dan restu orangtua sudah aku dapatkan, tapi kenapa kehilangan pun disertakan untuk kudapatkan? Apakah ini takdirku? Memang takdir tak pernah bertanya apakah dia datang membawa rasa sakit ataukah datang membawa kebahagiaan. Saat ini aku hanya mempunyai Vito, ya hanya dia harapan untuk kebahagiaanku.
Tibalah hari pernikahanku dengan Vito, sakit ketika memakai gaun pengantin tanpa disaksikan oleh kedua orangtua dan bahagia ketika menikah dengan pria yang kita cintai. Namun aku merasakan kehadiran kedua orangtuaku disaat orang-orang berteriak mengucapkan “SAH”.
Cerpen Karangan: Eka Rahmawati Blog / Facebook: Eka Rahmawati