Panti jompo dipenuhi orang orang yang pelupa, berambut putih dan keriput. Mereka berjalan dan bercanda dengan orang seumuran dengan mereka. Entah apa yang mereka bicarakan tapi sepertinya tampak menyenangkan sehingga menimbulkan lukisan senyum yang indah. Mereka seperti mempunyai teman baru disini bagai menjalani masa masa sekolah saat remaja.
Lorong panti jompo sangat panjang dan tak begitu terang namun aku dapat menghirup udara segar disini, rasanya panti jompo merupakan tempat liburanku saat senggang. Kugenggam bunga mawar merah dengan erat, kumantapkan hatiku untuk tetap tenang. Kakiku berjalan lurus menuju ruangan seseorang yang aku rindukan. Sosok yang membesarkanku dan membuat aku bisa sedewasa ini. Aku mengatakan pada hatiku bahwa dia pasti akan mengenaliku lagi bagaimanapun aku adalah seorang yang sangat merindukannya. Aku selalu berdoa pada yang maha kuasa agar mengembalikan dia seperti dulu lagi.
Ruangan itu masih sama setelah satu bulan kutinggalkan tempat ini karena malu, kini aku merindukannya dan memutuskan untuk menemaninya setiap liburanku. Bahkan pintu dan warna dindingnya masih sama dengan pertama kali aku mengirimnya kesini. Aku memegang gagang pintunya, begitu dingin dan kemudian mendorongnya sehingga pintu berkayu jati itu pun terbuka. Dia duduk dengan tatapan kosong melihat lurus kedepan. Wajahnya begitu tak terawat. Pakaiannya terlihat kusam. Mataku terasa perih sehingga setetes air matapun jatuh di pipiku. Aku mengusapnya perlahan. Dia tak boleh melihatku bersedih. Kurapikan rambutku kemuadian melangkah mendekatinya.
“Apa kau merindukanku?” Tanyaku kepada pria separuh baya yang sedang aku rindukan. Dia menatapku dan menggenggam tanganku sekali lagi mataku terasa perih. “Sangat, kenapa kau lama sekali?” Jawabnya dengan senyuman. “Maaf membuatmu menunggu aku tadi membeli bunga untukmu.” Ujarku sambil meletakkan bunga di atas meja. “Bagus terima kasih istriku, bunganya tampak segar.” Jawabnya. “Ayo ke luar kamu pasti bosan.” Ajakku kemudian dia menganggukkan kepalanya yang menandakan ia menyetujuinya.
Aku mengajaknya berkeliling panti. Dia sangat senang kali ini dia tersenyum bahagia. Senyum tampak sederhana bagi orang lain namun saat dia tersenyum adalah hal yang paling istimewa. Kami sekarang ada di taman kita duduk dengan menikmati pemandangan yang sekitar. “Tunggu di sini sebentar aku akan membelikan minum.” Ujarku padanya dia tersenyum.
Aku berlari menuju toko dekat sini, tak disengaja seorang perawat panti bernama Mira datang menghampiriku. “Hai Sara apa kau mengunjungi ayahmu sekarang? Apakah dia masih menganggapmu istrinya?” Tanyanya. Tak perlu aku menjawab karena itu adalah pernyataan bukan pertanyaan bagiku hanya membalasnya dengan senyuman yang bisa aku berikan sebagai jawaban. Kemudian Mira menepuk bahuku dan berlalu pergi. Aku mengerti dia juga memberiku kekuatan lewat sentuhannya.
“Ini minumanmu.” Kataku pada ayah dia menerimanya setelah itu ia menceritakan banyak kejadian yang pernah ayah lalui dulu bersama ibu. Aku mendengarkan setiap ceritanya. Setidaknya ayah masih mengaingatku sebagai anak walau terhenti saat aku berumur enam tahun. Ayah masih mengingat bahwa aku suka bermain gelembung sabun dan sering merengek saat ibu tidak menyuapiku. Kini aku hanya bisa disampingnya, sebagai anak. Aku tak menyesali ini. Aku tidak sendiri ayah masih bersamaku, menjaganya saat ini adalah kewajiban bukan sebuah penyesalan. Sekecil apapun anugerah itu harus kita bersyukur walau terkadang terasa sulit. Menyesali masa lalu bukan solusi namun hanya menambah kepedihan.
Cerpen Karangan: Bilqis Salsa Billa Blog / Facebook: Bilqis Salsa Billa