“Cinta adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia. Ia laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Cuma tanahnya lah yang berlain-lain menerimanya. Jika ia jatuh di tanah yang tandus, tumbuhlah oleh karena embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipu, langkah serong, dan lain-lain perkara yang tercela. Tetapi jika ia jatuh ke tanah yang subur, disana akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, setia, budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai terpuji.” (Hamka)
Pagi berembun lagi, senyap, hanya terdengar suara kucing yang kuberi nama Loli, karna dia manis seperti Lolipop, begitulah alasanku sejak kecil dulu. Dialah yang selalu menjadi penghibur sepiku. Ibu yang sedang sibuk memasak di dapur dan Ayah yang siap-siap berangkat ke Toko Kain untuk bekerja mengawali lebih pagi, toko itu dibangun tak jauh dari rumah kami. Adikku yang masih tertidur pulas, mungkin dia terlalu capek karena bersemangat tadi malam saat berkunjung ke Alun-alun Jember.
Jendela yang terbuka lebar memberikan kehangatan dari sinar mentari pagi, membuat terang seluruh isi kamarku. Hembusan angin yang melambaikan daun-daun kecil milik bunga yang kutaruh di dekat jendela, agar mendapatkan lebih banyak cahaya. Sungguh membuatku ingin selalu merasakan kesejukan ini, Jadwal saat ini adalah membersihkan kamar, yang tidak begitu luas namun, membuatku nyaman berada di dalamnya. Pakaian yang sudah kutata rapi di lemari, buku-buku yang sudah teratur bentuknya, tidak miring kanan-kiri, dan juga lantai yang sudah kusapu bersih dan tinggal meja belajarku yang penuh dengan buku-buku kecil, note, dan buku harianku masih tak tersentuh untuk kutata. Lalu kupercepat langkahku saat aku berdiri terlalu lama di depan jendela untuk merasakan kehangatannya.
Dan tak kusadari ada surat terselip di novel-novel milikku, Kutemukan surat kecil berisikan karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, Ia adalah seorang sastrawan Indonesia, sekaligus ulama dan aktivis politik. Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata Abi, Abuya dalam bahasa arab yaitu Ayahku / seseorang yang dihormati. Singkatnya seperti itu, setelah kuamati lagi dan kuingat-ingat siapa yang memberiku dan ternyata ku baru menyadari, surat ini sudah 3 tahun yang lalu. Dimana disaat aku masih berpendidikan di MAN 2 JEMBER, aku adalah anak yang aktif dulu dalam belajar sampai-sampai sudah banyak dikenal oleh guru-guru, sekalipun yang tidak mengajarku. Aku sering dipanggil Fira, tetapi orangtuaku memanggilku Feni, mungkin karna namaku cocok untuk dipanggil mana saja.
Feni Firanata itulah nama lengkapku, yang berzodiak Aries. Aku adalah anak pertama, mempunyai Adik kandung perempuan, Faiq. Dia adalah anak yang manja berbeda denganku. Tapi tetap saja, Orangtuaku lebih memanjakanku daripada Faiq, terutama Ayah, Faiq yang sudah berpendidikan SMP tepatnya di SMP NURIS. Keluargaku adalah keluarga yang sederhana. Namun, terkadang masalah dan cobaan bertubi-tubi datang. Memang benar, hidup tak seperti jalan yang hanya lurus saja arahnya, tetapi juga berliku-liku. Itulah hidup. Dan hidup akan tetap hidup, walaupun masalah itu sendiri datang tanpa kusuruh. Bahkan kita tak akan pernah ingin masalah itu datang, dan terkadang aku hanya membuatnya rumit jika masalah itu datang.
Kulanjutkan ingatanku, dan surat kecil itu kuterima dari Difan, dia adalah teman sekelasku dulu, sekarang ini kudengar dia sudah bekerja di sebuah Restoran Kampus yang dibangun oleh ayahnya. Sejak aku lulus kuliah di Universitas Jember, kemudian diterima mengajar di sebuah Pondok Pesantren Nuris, aku tidak sempat mendengar kabar darinya karna memang dia terlalu sibuk, begitupun aku. Kemudian, kufahami setiap kalimat yang bertuliskan karangan Hamka itu, Aku pun tak pernah memahami isi dari kata-kata itu. Cinta? Kenapa dia memberikannya padaku? Entahlah, pertanyaanku tak bisa kujawab sendiri. Tapi, sepertinya sangat mudah jika aku memang ingin benar-benar memahami kalimat itu, ya, tak butuh waktu lama untuk memahaminya, aku faham sekarang. Benar memang, Cinta bisa diibaratkan seperti itu. Juga karna setiap penerima Cinta itu berbeda-beda. Tapi apa maksud dia memberikanku surat seperti itu? Mengenai Cinta pula. Dia hanya kuanggap sebagai sahabatku saja, tidak lebih dari itu. Mungkin dia sedang jatuh hati saat itu pada seseorang, apa perlu kutanya soal itu kepadanya? Biarlah, itupun sudah 3 tahun yang lalu. Lalu, setelah selesai membersihkan meja belajarku, ingin kutulis sebuah ungkapan rindu hanya untuk mengisi sedikit waktu jadwal bersih-bersih yang sudah kuselesaikan.
Dear …, Kusadari, Rindu itu Indah. Namun bisa saja menyakitkan, tahukah apa arti Rindu untuk manusia? Dari jiwa yang rapuh bahkan jiwa yang kuat, pasti mereka miliki sebuah Rindu. Ia tak kenal usia dan bahkan menyapa siapa saja, bahkan juga tumbuh di dalamnya, seperti saat ini, aku merasakan rindu yang terdalam. Memang sulit diungkapkan. Yang mengerti rasa rindu adalah diri kita sendiri. Rindu memang banyak macamnya, tapi yang kurasakan adalah merindukan seseorang yang kukagumi. Dari dulu.
Ah, kenapa tiba-tiba aku begitu puitis. Apa karena rasa ini?
Juga aku langsung teringat kepadanya, yang saat ini pula tetap menjadi harapanku. Lama tak pernah berjumpa dengannya, saat itu dia pindahan ke Tanggul, karna memang di Jember dia hanya kontrak rumah saja. Kabarnya pun aku jarang bisa tahu, malang kah hidupku? Tapi tak apalah, ku berharap penuh dia selalu baik-baik saja, pada saat itu dia pernah bertanya kepadaku? “Bagaimana jika aku menunggu?”
Selalu saja tidak bisa kutebak ekspresi wajahnya, yang selalu menyimpan sejuta rahasia di baliknya, sampai-sampai aku tak mampu menelusuri sampai ke dalamnya. Dia pendiam, baik, dan juga pintar pastinya. Pertanyaan itu tak bisa kumengerti lagi. Haruskah hidupku datang berjuta-juta tanya? Aku tak pernah bisa faham apa arti “menunggu” yang dia maksud, pernah ku berbicara dengannya. Saat dimana dia sedang bahagia sekali saat itu, tak tahu apa yang membuatnya bahagia.
“Fino? Hey!” panggilku dengan suara keras “Ada apa fen?” jawabnya dengan suara begitu lembut, seperti menatapku dalam. Tak sadar dia langsung berpaling dari pandangannya dan menundukkan kepalanya. Entah, apa yang terjadi. Dan apa yang dia rasa aku tak tahu. “Apa kamu melihat buku matematikaku di meja dudukku?” tanyaku berganti menyamakan dengan suara lembutnya. “Nggak fen, aku gak liat. Apa perlu aku carikan? atau nanti aku kabari anak-anak, siapa tau kebawa mereka” ucapnya tulus. “Hmm, okelah, nanti kalau ketemu bilang aku ya!” senyuman tipis tertuju padanya walau dia tak memandangku
Dia memang begitu baik hatinya, penyayang, ya aku tau dia, karna memang dialah orang yang kukagumi sampai saat ini, Fino Firmansyah. Dia adalah anak yang berprestasi, sekarang kudengar juga dia mengajar di sekolah SMA Tanggul disana yang juga sekolahnya saat dulu. Kuharap lebih, ku bisa bertemu dengannya dengan segala keindahan hari.
Kututup buku harianku dan bersiap-siap untuk jogging di hari yang begitu cerah. Kupakai sepatu warna Abu-abu sedikit merah hati di atas dan bagian bawahnya, jaket berwarna pink yang menjadi favoritku.
Embun pagi membuatku merasakan kesejukannya, melewati tiap-tiap rumah dengan berlari-lari kecil. Saat itu, kulihat sosok seseorang yang bertubuh tinggi, mempunyai kulit putih, berambut agak keriting dan mengayuh sepedanya dengan santai, kuamati lagi kuharap seseorang itu dia. Dia yang selalu jadi hantu dalam fikiranku namun, ternyata hanyalah bayanganku saja yang begitu yakin.
Tak lama kemudian, ku beristirahat sejenak untuk menyeduh minuman hangat yang ku beli tadi. Kulihat orang-orang berlalu lalang, bersepeda dan ada yang bergandengan tangan dengan mesra. Kunikmati sendiri suasana itu, menghilangkah sejenak kerinduanku padanya. Tapi tak pernah mampu untuk menghilangkannya walau sejenak. Bagaimana? Bagaimana jika terus begini? Ah, kurasa memang benar. Jika terus-terus seperti ini terasa menyakitkan. Bukankah jalan masih panjang, juga pasti ada kesempatan untukku menemukan jawaban. Juga ada kesempatan untukku berbenah diri. Menjadi yang lebih baik nantinya, agar aku dapat menjadi tawa saat sedihnya.
Aku berjalan santai seperti malas-malasan, padahal baru saja ku olahraga sudah seperti ini, aku memang tidak luwes dalam hal olahraga. Tubuhku tak begitu tinggi, bisa dibilang pendek. Aku hanya mampu bersyukur saja, karna masih banyak orang diluar sana yang ingin sepertiku saat ini, berkeluarga lengkap, dan aku punya adik yang kusayangi. Walaupun sering bertengkar karna aku tak mau mengalah. Wajar saja jika kakak adik, memang seperti itu.
Sesampainya di rumah, aku disambut oleh suara Loli yang sudah sedari tadi di depan pintu yang kulihat dari jauh. Memang sungguh manis, dengan bulunya berwarna putih dan coklat. Kucing yang imut. Setelah itu, aku bergegas untuk ke kamar mandi.
Lalu, kubantu ibu yang sedari tadi sibuk di dapur, dengan membantunya menyiapkan makanan, membersihkan meja makan lalu membungkus sarapan untuk ayah yang sudah berangkat terlebih dahulu mengejar target katanya, begitulah ekonomi keluarga yang alhamdulillah sudah stabil semenjak membangun toko kain 5 tahun yang lalu. Dan usahanya juga semakin besar untuk saat ini, meskipun terkadang juga mengalami rugi. Seperti itulah suka duka berdagang. Kemudian, aku langsung mengirimkan makanan sarapan ayah dengan menggunakan sepeda mini, yang masih menjadi kesukaanku, berwarna biru dan keranjang cat putih di depannya. Hadiah saat aku berumur 13 tahun yang saat ini masih terawat dengan baik.
Kurasakan angin berhembus yang membuat suasana lebih sejuk. Membuat jilbabku berwarna abu-abu sedikit membuka. Lingkungan yang bersih membuat enaknya dipandang. Tak henti kulihat jalan yang kulewati sambil bernyanyi dengan alunan nada indah.
Andai engkau tau, betapa ku mencinta Selalu menjadikanmu. Isi dalam doaku Ku tau tak mudah, menjadi yang kau inginkan Kupasrahkan hatiku, Takdir kan menjawabnya Jika aku bukan jalanmu, kuberhenti mengharapkan mu Jika aku memang tercipta untukmu, ku kan memilikimu Jodoh pasti bertemu Afgan – Jodoh pasti bertemu
Sangat kusukai lagunya, karna memang aku mengerti arti dari lagu itu. Seperti senasib denganku. Lalu ketika aku sampai di toko ayah, bersalaman dan memberikan kotak nasi yang masih hangat terbungkus di dalamnya, dengan sayur sop kesukaan ayah. Karna ayah sudah tidak sabar, maka ayah langsung menyantapnya dengan lahap, aku sedikit tertawa melihatnya.
Cerpen Karangan: Ega Tri Firamida Blog / Facebook: Ega T Firamida