Handphoneku berdering, Kudapati sebuah pesan dari Difan, ternyata dia berencana ingin melamar Nanda, sahabatku. Dan menanyakan kabarku, juga keluargaku. Nanda memang sangat cocok dengan Difan. Nanda adalah anak yang pendiam, pintar, suka membantu, baiklah pokoknya dia adalah Sahabat terbaikku. Dia selalu saja membuatku tenang, jika aku sedang ada masalah. Dia selalu menanggapi ceritaku, mendengarkan sampai aku selesai bercerita. Walaupun dengan suara tak jelas karna tangisku, dia tetap berusaha mendengarnya. Dan aku ingat saat itu difan memberiku sebuah surat kecil. Mungkin lebih baik aku tanyakan sekarang kepadanya, biar pertanyaanku terjawab walau cuma 1 pertanyaan saja.
“Difan, aku dan keluargaku disini juga baik-baik saja. Lalu bagaimana denganmu? Jadi rencananya kapan ingin melamarnya? Semoga berhasil ya! Aku juga ingin bertanya tentang surat kecil karangan Hamka, yang kamu beri kepadaku 3 tahun lalu. Untuk siapa?” balasku panjang. “Alhamdulillah, aku juga baik. Kemungkinan kupercepat besok, Fen. Buat kamu, Fen. Jujur aku pernah punya rasa. Tapi aku tau dari dulu kamu selalu menunggu Fino.” dia membalasnya dengan jelas. Untukku? ya tuhan, tapi semuanya juga sudah terlanjur. Dia memang sahabat baik. Bahkan bisa mengerti aku sekalipun membuatnya begitu. Aku hanya membalasnya tanpa melanjutkan percakapan yang terakhir, sedikit polos, “Sukses untuk dia ya! kamu sangat cocok dengannya. Jangan lupa undang aku ya jika menikah!”
Akupun pulang ke rumah setelah ayah menyelesaikan makannya, aku langsung berpamitan, karna memang hari Minggu tidak mengajar, aku hanya mempersiapkan materi untuk besok dan menyusun data yang masih kusimpan di dalam tasku. Menumpuk. Tugasku banyak, ngomong-ngomong aku mengajar biologi di MA “UNGGULAN” NURIS. Karena biologi adalah pelajaran yang kuminati saat SD bahkan sampai saat ini aku berhasil menjadi guru yang memang ingin mengajar pelajaran biologi sejak lama. Meskipun aku pernah mengomel setiap pelajaran biologi dulu karna gurunya tidak terlalu jelas penerangannya, ya mungkin bisa kumaklumi karena yang mengajar sudah tua dan ingatannya pun mulai berkurang. Tapi, aku sangat kagum terhadapnya. Tegas, pengertian, sekaligus Wali Kelasku dulu. Jasa kebaikannya yang akan penuh kukenang selamanya.
Aku akan menjelaskan materi Organel sel, dan waktunya kelas XI IPA 2 juga akan kuadakan ulangan harian. Kulanjut dengan membuat soal dan mempelajari konsep yang akan aku ajarkan besok.
Tepat jam 12.00, sholat dhuhur. Jika saat ini hati memilihmu. Tunggulah sejenak, biarkan aku mendekap Allah lebih dekat. Membawa namamu dalam istikharahku, Dan menunggu jawaban dari-Nya Apakah suatu kebenaran hati ini memilihmu. Sungguh hanya ketetapan Allah lah yang terbaik.
Lagi-lagi aku mendoakannya, selalu begitu. Karna aku tak tau lagi harus bagaimana aku menjelaskan perasaanku yang rumit ini. Untuk kalian, saat kita mulai merindukan seseorang, sampaikan rindu itu dengan doa. Jangan sampai setan menghasut hati kita ke arah yang salah. Saat merindukan sosok yang dinanti, serahkanlah rasa rindu itu kepadaNya. Sang Maha Cinta. Sempatkanlah untuk selalu berdua dengan Allah melalui berdzikir.
Menurut Syeikh Al-Qadha Muhammad Ahmad Kan’an, seorang perindu yang benar-benar menjaga dan menyembunyikan perasaannya dari orang lain akan mendapatkan pahala balasan di atas mujahadah yang dilakukannya. Begitulah yang pernah kutau.
Senin, aku mengajar di kelas X IPA 3 yang berjumlah 39 siswa. Ramai suasananya, langkah kepercayaanku maju dari pintu luar. Dengan seragam guru warna biru dan jilbab biru muda, Duduk. Murid-murid pun terdiam dengan senyuman hangat menungguku mengucapkan salam, “Assalamualaikum anak-anak!”, ucap salamku dengan senyuman senang. “Waalaikumsalam bu guru!”, jawab anak-anak serentak
Kumulai pelajaran saat itu dengan lancar, namun saat aku keluar kelas setelah selesai mengajar, aku melihat sosok seperti dia lagi, apa aku berhalusinasi lagi? Apa karna aku terlalu berharap bertemu dengannya? Lagi-lagi seperti ini. Anak-anak sampai melihatku heran saat keluar dari pintu dengan wajahku yang penuh tanya. 1 pesan kuterima, setelah kubuka.
Alhamdulillah, Difan pasti sangat senang, sebenarnya dari dulu memang Nanda pernah bertanya tentangnya. Anehnya aku tak menanggapinya dengan serius. Bergurau. Mungkin dia yang Nanda maksud. Ah, memang jodoh tak kan kemana.
Aku pun cepat-cepat untuk pergi ke kantor. Menghindari tatapan aneh murid-murid. Selalu begitu setiap harinya, bayang-bayang yang tak pernah luput dari fikiranku terasa mengganggu semakin lamanya, ya tuhan, andai saja dia datang untuk mengobati segala luka rinduku ini, pastilah bahagia diriku dan berterima kasih banyak pada-Mu. Walau hanya sekejap melihatnya tersenyum.
Bulan pun berganti, saat liburan pun tiba bagi anak-anak sekolah. Akupun juga berlibur pastinya. Berlibur dengan keluarga cukup di rumah saja. Membantu orangtua, mengajari Faiq belajar, dan membantu ayah di Toko Kain. Aku sangat senang jika sudah berkumpul dengan keluarga. Saat liburan dulu, ada suatu konflik di rumah. Tiba-tiba saja Ayah dan Ibu bertengkar. Aku tidak tau apa masalahnya, kudapati pecahan gelas, vas bunga juga barang-barang yang ada di atas meja berserakan di lantai. Hatiku sangat kacau sekali mendengarnya. Kemudian, aku menghampiri Ibu yang sedang menangis di pojok ruangan. Kupeluk tubuh Ibu dengan isak tangisnya. Tak tertahan, aku ikut menangis sekeras-kerasnya. Seakan-akan hancur segalanya. Saat ku tanya, Ibu berkata pelan, “Ibu sudah tidak kuat lagi, padahal ibu sudah menjelaskan dengan jelas kepada Ayah, bahwa semua itu fitnah.” Parau suaranya bercampur dengan tangisan. Kupeluk lagi Ibu, dan ayah pergi begitu saja. Sampai sekarang semuanya belum jelas kuketahui.
Aku mencoba bertanya saat pagi itu kami berkumpul kepada Ibu dengan suara lirih, dan ternyata memang benar itu fitnah. Saat akhir liburan dulu, tetangga meminta maaf atas kesalah fahamannya, sampai-sampai memfitnah ibu yang tidak-tidak. Ayahpun tersenyum menguping pembicaraan lirihku dengan Ibu. Sedangkan adek sibuk dengan mainannya.
Senja, begitu mereka menyebutnya. Ku terdiam di lantai dua rumahku, tak begitu luas hanya untuk tempat berjemur saja, tapi sangat cocok menikmati suasananya, aku yang terpaku sedang memikirkannya. Berharap dia datang bertemuku, dan tepat di depanku.
Sore itu, aku bergegas turun untuk membeli sayuran yang akan dimasak untuk besok. Kunaiki sepeda motorku warna putih dan coklat, Scopy. Dan, ketika aku menengok ke arah kanan jalan tepat depan rumah Dicky, saudara Fino. Nyata-nyatanya memang benar dia. Iya, dia. Tuhan, apakah ini mimpi? Kucubit pipiku sendiri sampai memerah karna sakit. Ini bukan mimpi. Tapi ingin kemanakah dia? mengapa dia memakai baju serapi itu?bukannya dia juga libur bekerja. Tapi??? Kenapa keluarganya juga berpakaian rapi? Lalu buru-buru aku untuk menghilang darinya sejenak, karna aku harus cepat-cepat membeli sayuran dan pulang ke rumah. Jantungku tak berhenti berdetak tak teratur. Seakan-akan aku harus telusuri semua pertanyaanku saat itu. Terutama, tentang arti “menunggu”.
Selesainya aku berbelanja, aku melewati jalan itu lagi, dan kosong. Tak ada dia dan keluarganya. huh, kecewaku dalam hati. Tetapi, tiba-tiba saja melihat mobil hitam ada di depan rumahku, penasaran siapa pemiliknya. Aku masuk lewat pintu depan. “Assala, mu.alaikum,!”, ucapku terbata-bata. Melihat dia dan keluarganya duduk dengan penuh senyum sambutan kepadaku. Entah, apa ini? Seperti aku tokoh utamanya yang ditunggu-tunggu. Kenapa?
Langsung aku dipersilahkan duduk, dan tak sempat membawa masuk sayuran yang kubeli tadi. Aku bersalaman dengan kedua orangtuanya, dan akku tak berani bicara sepatah katapun saat menatapnya. Masih dengan perasaan bingung. Dan, “Begini Fen, Fino kesini ingin melamarmu.”, ucap Ibu begitu jelas dihadapanku. Aku sangat kaget bukan main, mimpi apa aku semalam? Oh sungguh senja yang bahagia, masih tak percaya. Lalu, “Iya Fen, benar kata Ibu, aku akan melamarmu, bagaimana jawabanmu?”, ucap Fino dengan nada halus, sedikit senyum tanya. Memang saat itu, aku menerima sebuah surat. Seharusnya aku menceritakan ini sejak awal. Rasulullah SAW bersabda, “Wanita dikawini karena 4 hal … hendaklah kamu pilih karena agamanya (keislamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka.” (HR. Buhkari-Muslim) Rasulullah SAW juga berpesan, “Jika datang kepada kalian lelaki yang baik agamanya (untuk melamar), maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak melakukannya, niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka bumi.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Namun, aku tak tau siapa pengirimnya. “Saat itu, aku kirim surat untukmu. Memang sengaja aku tak memberi namaku. Aku hanya kurang siap saat itu. Tapi untuk saat ini, aku sudah benar-benar siap, Feni.”, lanjut Fino meyakinkan. Aku masih terdiam tak bisa percaya.
Kujawab dengan benar, baik dan jelas “Aku menerima lamaranmu, Fino. Sudah lama aku menantimu.”, keceplosan, perasaan malu atau apa yang harus aku perlihatkan. Keluargaku dan keluarganya, tertawa kecil, tersenyum dengan lebar dan seperti bahagia. Bukan seperti tapi memang benar-benar bahagia aku saat ini. Tumpah seluruh air mataku. Benar-benar bahagia.
Dan kami pun, akhirnya memilih tanggal untuk peresmian. 27 Maret 2013, Tanggal pernikahanku. Sungguh, dahsyatnya Pesona Keabadian Rinduku.
Allahumma nawwir qulubana Allahumma sahhil umurana Allahumma shahhih ajsadana Allahumma tsabbit aqdamana Ya Allah pancarkanlah cahaya-Mu dalam hati kami, sehingga kami mampu melewati sisi gelap kehidupan kami. Ya Allah berikanlah kemudahan dalam urusan kami, sehingga kami tak mudah patah semangat. Ya Allah anugerahkanlah kesehatan kepada kami, sehingga lapang perjuangan kami. Ya Allah teguhkanlah pendirian kami, sehingga kami tak mudah goyah hingga akhir masa nanti.
Aku yang telah menunggumu, Fen. Bahkan kita saling menunggu. Aku bekerja keras, berusaha merubah diri menjadi lebih baik lagi. Karna aku tau, lelaki mana yang akan membahagiakan istrinya kelak. Sempat ku pernah berfikir untuk berhenti menunggumu, tapi itu bukan pilihan terbaik. Karna Rinduku yang begitu dalam juga membawa Pesona Keindahan, sama sepertimu.
Fino Firmansyah
Cerpen Karangan: Ega Tri Firamida Blog / Facebook: Ega T Firamida