Kehidupan manusia itu bagai setetes air, bayangkan sebuah lautan yang begitu luas, tenang, tiba-tiba hujan deras turun. Bayangkan ada milyaran bulir air hujan yang jatuh, membentuk riak kecil yang memenuhi seluruh permukaan, begitulah kehidupan ini, bagai sebuah lautan yang luas, dan manusia adalah air hujan yang terus-menerus berdatangan, membuat riak sebagai gambaran kehidupannya. Siapa yang peduli dengan sebuah bulir air hujan, detik sekian? Menit sekian? Kemudian hilang begitu saja, punah oleh sejarah. (Tere Liye)
Siapa yang peduli dengan anak manusia ini yang lahir tahun sekian, mati tahun sekian, ada jutaan bahkan milyaran manusia, lantas siapa yang akan peduli dengan dia. Ah, malam ini langit seperti sedang berbaik hati pada Rinai. Langit seolah membantu Rinai menemui jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya 17 tahun belakangan, siapa dia? Dimana keluarganya? Bukankah seharusnya ia mempunyai keluarga seperti teman-temannya yang lain? Dan mengapa ibu selalu bersedih? Belakangan ia sering mengintip ibunya menangis. Rinai memang tumbuh menjadi anak yang cerdas sehingga ia sering mengamati kejadian-kejadian tersebut. Dan yang paling terpenting ialah, dimana ayah? Dia tak pernah melihatnya dari kecil, bahkan ia tak mengenali suaranya, sosok wajahnya, bahkan lagi dia tak tahu apa dan siapa ayah itu. Gadis itu hanya rindu. Itulah yang rinai tidak faham, mungkin dengan adanya ayah, ibunya tak perlu bersedih seperti yang dilihatnya. Urusan ini menjadi sedikit berbeda. Tapi yang jelas, ia sangat menyayangi ibunya, karna hanya ibulah satu-satunya yang ia punya di dunia ini.
Malam ini adalah malam perayaan ulang tahun Rinai yang ke-17. Seperti biasa, dari tadi siang ibu sudah sibuk membeli bahan-bahan perlengkapan membuat kue. Kue ulang tahun untuk Rinai. Pukul duabelas tengah malam. “Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday happy birthday happy birthday to you. Happy birthday putri kecil ibu” seraya menyodorkan kue yang bertonggokkan lilin angka 17. Hari ini ulang tahun Rinai yang ke tujuh belas. Menyadari kedatangan ibunya, Rinai berusaha bangkit dari tidurnya. “yaaahh… aku ketiduran lagi” sautnya seraya menggosok mata, menahan kantuk.
Rinai sudah hafal kebiasaan ibunya saat ia berulang tahun, dari tadi Rinai sudah berjaga-jaga untuk tidak tidur hingga tengah malam, berniat hendak mengerjai balik ibunya, tapi sayang, seperti biasa ia tertidur lebih cepat.
Rinai memang tumbuh sebagai seorang gadis yang cerdas, teramat cerdas malahan, belakangan ia semakin lebih banyak bertanya, mengenai pertanyaan sederhananya. Setiap kali ia bertanya, bukan memberi jawaban yang menenangkann, Rinai justru melihat raut wajah kesedihan yang berusaha tegar untuk dirinya, mengalihkan pembicaraan dan mengakhirinya dengan canda tawa. Rinai hafal sekali kebiasaan ibunya setiap kali ia bertanya. Malam ini tepat dihari ulang tahun Rinai yang ke-17, seperti mencari-cari peluang, Rinai akhirnya memutuskan untuk bertanya. Pertanyaan sederhananya. Semoga saja kali ini ibu bisa memberikan setidaknya sedikit penjelasan.
—
Aku, Ibu yang Malang Kring!!! Kring!!! Untuk kesekian kalinya suara jam beker itu tidak berpengaruh sama sekali, Rossi masih melanjutkan tidur. “Rossi bangun nak…” ibu mendekat menuju pintu kamar. “ini sudah jam 6” samar-samar Rossi mendengar suara ibunya. “iya buu” memaksakan diri bangun dari tempat tidur. “Selamat pagi buu” Rossi membuka pintu kamar seraya mencium pipi ibu, seperti biasa ini akan mengurangi kemarahan ibu karna ia bangun kesiangan lagi. Untuk kesekian kalinya. “Rossi sayang, ini sudah hampir pukul tujuh, nanti kamu terlambat sekolah, kalau terlambat nanti akan…” “Tenang ibu, aku kan punya jurus secepat kilat” memotong pembicaraan tertawa kecil, bergegas ke bawah meninggalkan ibunya yang masih berdiam di depan pintu kamar seraya menggeleng-gelengkan kepala tersenyum tipis melihat perangai anak gadisnya. Beginilah Rossi, sejak kepergian ayahnya 3 tahun silam, ia hanya punya ibu, ini lah yang membuat keduanya saling menyayangi.
Pagi ini Rossi terlihat begitu senang karena ia akan dijemput oleh seorang pria, teman? Mungkin lebih dari itu. “Buu rossi berangkat dulu yaa” bergegas turun tangga. “Sarapannya dimakan dulu nak” suara ibu dari dapur. “Ga sempat lagi ibu, rossi udah dijemput” mencium pipi ibu ke dapur dan langsung pergi, ibu mengiringi sampai pintu luar, memandangi rossi dan pria itu, ibu tersenyum, tak ada yang aneh pagi itu, semua baik baik saja. Ibu kembali melanjutkan pekerjaaan rumah yang sudah menunggu.
Malam ini, langit terlihat sedikit berbeda, begitu memesona, merayu siapa saja yang melihat. Seperti memberi suatu pertanda. Malam ini adalah perayaan ulang tahun Cindy, teman sekelas Rossi, tentu saja dia diundang, lagi-lagi Rossi pergi bersama dia, pria itu. “Nak, adakah baju yang lebih sopan dari ini?” ibu menghela nafas. “tenang saja bu, lagian ini pesta anak muda bukan, Rossi akan baik-baik saja bu. Janji?” seraya mengangkat jari kelingkingnya, membujuk ibu. “Tapi sayang, tak sepantasnya kamu…” “Brmmm” suara motor memecah keduanya. Lelaki itu datang, tadi sore Rossi sudah minta izin, lama membujuk akhirnya ibu mengizinkan. “Rossi pergi dulu ibu, daah!!” mencium pipi ibu dan bergegas menaiki motor. “Hati-hati nak, jangan pulang larut malam, jaga diri!!” ibu melambai. “Baik buu!!” mereka suda agak jauh. Mereka pergi. Ibu yang masih berdiri melihat Rossi hingga mereka benar-benar sudah tak terlihat. Entah perasaan apa yang sedang ia rasakan, ia mencemaskan sesuau.
Malam itu Rossi tampil cantik dan menawan, tiga jam berlalu pesta berjalan sangat seru, pesta yang begitu indah dan mewah, menjelang tengah malam, tinggal Rossi dan teman-temannya. Pesta dance! Ini begitu menyenangkan, entah darimana datangnya, minuman sudah tersedia disana. Semua terlena, mengikuti alunan irama, saling menyodorkan beberapa minuman. Rossi, gadis polos itu tidak tahu sama sekali, ia meminumnya, segelas, dua gelas, tiga gelas, dan sekarang ia mabuk. Bukan hanya Rossi, semua, semua hanyut dalam dunia mereka malam itu, tanpa ada pengawasan.
Malam semakin larut, rembulan bercahaya indah menggantung di langit, bintang-gemintangan tumpah membentuk ribuan formasi indah. Tiba-tiba… Suara gemuruh saut-menyaut memecah segala kedamaian semesta, bulir air hujan mulai berjatuhan, hujan seolah berbaik hati memecah segala hiruk-pikuknya malam itu.
Rossi, gadis itu terlihat sempoyongan, begitupun lelaki itu. Malam itu mereka mabuk berat, sedikit sadar dengan air hujan yang turun, mereka memutuskan mengakhiri pesta itu, memutuskan untuk pulang. Tak lama mereka sampai di sebuah rumah, tapi ini berbeda, ini bukan rumah Rossi, ini rumah lelaki itu, dengan kondisi yang tidak sadar mereka masuk. Entah apa yang direncanakan langit malam itu, rumah itu kosong, sepi, tak ada seorangpun selain dua muda itu yang berjalan saja tak tahu arah, sempoyongan. Yang Rossi tahu, dunianya sangat indah malam itu. Gadis yang malang.
Pukul 3 dini hari Berangsur mata Rossi mulai terbuka perlahan memandangi langit-langit kamar, berusaha untuk lebih sadar ini bukanlah kamarnya, dimana dia? Dan ada yang berbeda, dia tak memakai pakaian sehelai benangpun. Astaga apa ini, apa yang terjadi semalam? Dan lebih parahnya, dilihatnya lelaki itu di sebelahnya, ia menutup mulut berteriak. Ini membuat suasana semakin kacau. Rossi memeluki tubuhnya menggigil, hatinya berteriak menahan tangis agar tak seorang pun yang mendengar. Tak ada yang bisa ia fikirkan selain ibunya. Ibu. Seketika memorinya kembali memutar semuanya. Ibu. Kata-kata ibu, ya tuhan, apa yang sudah ia lakukan. Rossi bergegas memasang bajunya, berlari sejauh mungkin dari rumah itu, kamar itu, lelaki itu.
Di tengah badai hujan petir yang terus-menerus berdatangan, Rossi terus berjalan. Ia menangis, berteriak, fikirannya benar-benar kacau. Rossi semakin erat memeluk tubuhnya yang menggigil basah. Dalam tirai hujan Rossi seolah melihat sosok ibu, wajah lelah untuk dirinya, wajah sabarnya, wajah ikhlasnya, akankah Rossi bisa melihatnya lagi setelah ini? Ia terisak menangis tak kalah menandingi suara hujan. Dunia Rossi benar-benar terhenti malam itu, tiba-tiba Rossi merasakan sakit yang begitu luar biasa di bagian kepalanya. Tubuh lemah itu terkulai lemah, menghantam tanah.
“Nak… Rossi sayang bangun nak, apa yang terjadi?” suara ibu yang cemas sejak semalaman Rossi tidak pulang. Rossi berusaha membuka mata, ia seperti mengenali tempat ini, ia di rumah. “Rossi apa yang terjadi? Bukankah semalaman kamu tidur di rumah Cindy bukan? Kenapa kamu bisa pingsan di pinggir jalan nak? Apa yang sebenarnya terjadi?” nada ibu semakin cemas. Menyadari apa yang terjadi semalam, Rossi menangis memeluk ibu erat, pelukan ini begitu hangat baginya, pelukan yang ia rindukan sejak semalam. “Ada apa nak? Kamu kenapa menangis? Cerita sama ibu sayang” raut wajah ibu yang semakin cemas. Rossi yang saat itu memandangi wajah ibu lambat laun tak kuasa menahan tangis, tapi bagaimanapun ibu harus tau semua ini. Dengan segenap kekuatan dan keberanian Rossi yang masih tersisa, ia memutuskan untuk bercerita.
15 menit berlalu. Ibu terdiam datar, hening seperti merasakan suatu kehampaan dalam hatinya, sepanjang penjelasan Rossi, ia melihat kesedihan, kemarahan, kekecewaan, mungkin juga perasaan bersalah menjadi satu di raut wajah ibu. Rossi takut. “Ibu maafkan Rossi tidak mendengarkan ibu, maafkan Rossi, maafkan anak ibu ini” menangis terisak. Tak tahu apa yang akan dilakukan, ibu memeluk Rossi erat, ibu menangis. Untuk pertama kalinya Rossi melihat ibu menangis seperti ini, ibu tak bicara apa-apa, ibu hanya diam dan terus menangis memeluk Rossi, ini begitu menyakitkan bagi ibu. Dalam pelukan ibu, Rossi terus meminta maaf, menangis sejadi-jadinya. Ibu hanya diam, menangis memeluk Rossi. Rossi seperti merasakan sesuatu, kejadian ini akan merubah segalanya.
Seminggu berlalu, keadaan sedikit membaik, tetapi belakangan ibu lebih banyak diam dan menangis. Sikap ibu tak pernah berubah ke Rossi, membangunkannya, memasak sarapan, tapi ibu agak sedikit pendiam beberapa hari belakangan. Entah apa rencana langit.
Sebulan berlalu, kondisi ibu semakin melemah, ibu yang lebih sering sakit. Rossi kini hanya di rumah, menemani ibu, memutuskan untuk berhenti sekolah karena malu. Sejak saat itu, Rossi tidak punya siapapun selain ibu. Rossi merawat ibu, berjaga siang malam, mengajak ibu bicara, berusaha saling melupakan kejadian itu, berusaha untuk saling menguatkan satu sama lain.
Sampailah cerita pada suau hari itu, hari itu Rossi sedang memasak, ibu yang sakit harus tidur dan beristirahat. Ibu memanggil-manggil Rossi dari kamar di lantai dua, suara itu lemah, tak terdengar oleh Rossi. Ibu yang lemah dan tak berdaya memaksakan diri untuk ke kamar mandi, tapi sayang tubuh lemah itu tak sangggup lagi untuk bertahan, tak sengaja Rossi mendengar suara gelas pecah, Rossi tersentak, berlari menuju ke atas, dalam hatinya, ia tak mau sesuatu apapun terjadi pada ibu, satu-satunya yang ia miliki sekarang. Tapi apa mau dikata, takdir sudah di ambang pintu, langit seolah tak mau berbaik hati, badan letih itu tersungkur menghantam tanah. Kini ia tergeletak lemah, tatapan yang sayu kian lama kian meredup, tak lepas memandangi anaknya Rossi yang sedang menaiki anak tangga. Tatapan itu, beribu makna, kesedihan, kekecewaan, kebahagiaan. Ia tersenyum untuk Rossi. Untuk terakhir kalinya. Wanita lemah itu. Ia pergi selamanya.
—
Ruangan 4 x 4 itu dipenuhi suara tangisan ibu dan Rinai yang tak henti-hentinya terisak dari tadi, hampir satu jam berlalu mereka habiskan untuk bercerita. Di hari ulang tahun Rinai, ibu memutuskan untuk menceritakan sepotong kisah dari masa lalunya. Rinai yang dari tadi terisak masih tak percaya, ini kah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan sederhananya? Ini begitu rumit tidak seperti yang ia bayangkan.
“Nak, sejak kepergian nenekmu, ibu benar-benar kehilangan dunia ibu, ibu kehilangan segalanya, sejak malam itu, ayahmu menghilang, tak ada seorang pun yang peduli lagi dengan wanita yang hina dan mejijikann seperti ibumu ini nak, maafkan ibumu nak, maafkan ibumu yang hina ini” Ibu terisak, tangisnya pun semakin menjadi. Entah apa yang harus dilakukan Rinai malam itu, setelah mengetahui semuanya, untuk pertama kalinya Rinai tak bisa merasakan apa-apa. Kosong. Hatinya kosong, tapi yang ia tahu ini tak menghilangkan rasa sayangnya sedikitpun, Rinai memeluk ibunya. Memeluk ibu erat, tangis keduanya pecah, seolah berusaha menguatkan satu sama lain. “ibu… aku sayang ibu” membuat pelukan ibu semakin erat disela-sela tangis yang kian menjadi pula.
Malam itu, malam ulang tahun Rinai, mereka habiskan dengan menangis. Semoga langit akan berbaik hati setelah ini, menjadikan ini sebagai tangis terakhir bagi keduanya. Dalam tangis dan pelukan Rinai menyadari sesuatu dalam hatinya, ia akan mengembalikan kehormatan ibunya, ia akan membeli mulut orang-orang yang mencaci ibunya, ia akan menjemput tawa-tawa kebahagiaan di hari tua ibunya. Suatu hari nanti.
Cerpen Karangan: Siti Awal Syaravina Facebook: Siti Awal Syaravina helllo! Perkenalkan namaku Siti Awal Syaravina, umurku 18 tahun, aku seorang mahasiswa S1 Sastra Indonesia di Universitas Andalas. hobiku membaca novel dan sesekali menulis. Selengkapnya bisa cek ig aku ya @syaravinasitiawal