Engkaulah nafasku Yang menjaga di dalam hidupku Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik
Kau tak pernah lelah Sebagai penopang dalam hidupku Kau berikan aku semua yang terindah
Aku hanya memanggilmu ayah Disaat ku kehilangan arah Aku hanya mengingatmu ayah Jika aku t’lah jauh darimu
Suara band Seventeen mengalun indah di kamarku. Menemani diriku yang sibuk melamun. Menghela nafas. Tersenyum kecut. Ayah? Aku terkadang lupa bahwa kita terlahir ke dunia ini karena orangtua. Maksudku aku lupa bahwa orangtua kita bukan hanya Ibu tapi juga Ayah. Namun yang menjadi masalahku adalah aku tidak tau siapa Ayahku. Sejak kecil aku tak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah. Bagaimana aku bisa merasakannya jika aku saja sebagai anaknya tak pernah bertemu?
TOK.. TOK… TOK… “Sayang, kamu ada di dalam?” Ketukan pintu disambung dengan pertanyaan itu membuyarkan lamunanku. Itu Ibuku. “Kenapa Bu?” Tanyaku setelah membuka pintu. Tersenyum pada Ibu. “Ibu mau mengajakmu ke suatu tempat. Ibu tunggu ya.” Ibu mengusap kepalaku sejenak, tersenyum. Lalu melangkah menjauh. Aku menatap punggung Ibu. Entah hanya perasaanku saja atau memang begitu adanya, setiap Ibu mengunjungi kamarku saat aku sedang menyetel lagu yang berkaitan dengan Ayah, wajahnya meredup. Walau aku tau Ibu berusaha menutupinya dengan senyuman.
Mengingat tadi Ibu menggunakan pakaian berwarna putih, aku pun juga. Kurasa kali ini Ibu tidak akan mengajakku ke Mall atau pusat perbelanjaan, namun ke suatu tempat yaitu… “Pemakaman?” Ibu menoleh ke arahku, dengan hati-hati memarkirkan kendaraan kami. “Ayo turun, Sayang.” Dengan kaki gemetar dan jantung berdegup kencang, aku mengikuti langkah Ibu.
“Ayah kamu meninggal dalam kecelakaan tunggal. Waktu itu Ibu ada di rumah sakit, melahirkan kamu. Kata saksi mata, mobil Ayah melaju dengan kecepatan tinggi. Itu adalah kebiasaan Ayahmu saat dia merasa senang atau bahagia. Buru-buru memang berakibat buruk. Saking buru-burunya Ayah, dia sampai kecelakaan. Ayah sempat dibawa ke rumah sakit namun di perjalanan kehabisan darah. Dan meninggal dunia.”
Aku terpaku mendengar cerita Ibu. Ibu memang tidak menangis namun ku tau matanya berkaca-kaca.
“Selama 18 tahun ini, Ibu coba melupakan kejadian itu. Kamu yang baru lahir belum disentuh oleh Ayah, belum dicium pipinya atau dikumandangkan adzan. Ibu salah, Ibu hanya menunggu sampai kamu mengerti. Sebentar lagi kamu dewasa. Sudah semestinya kamu kenal dengan Ayah. Maaf…”
Aku memeluk Ibu erat, Ibu terisak. Aku terisak. “Hai Ayah. Ini aku putrimu. Putrimu sudah besar. Walau aku tak pernah bertemu langsung, aku senang. Aku tetap memiliki seorang Ayah. Semoga Ayah tenang disana. Selamat jalan Ayah.”
Ayah dalam hening sepi kurindu Untuk menuai padi milik kita Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Lagu itu mengalun indah. Aku tersenyum manis. Setidaknya aku bisa mengunjungi makam Ayah dan mendoakannya.
Cerpen Karangan: Da Azure Biasa dipanggil Da. Semoga cerpenku ini bisa dimuat. Temui aku di Wattpad: Daa_zure