“Sudah pulang, Nak?”
Maria berdiri di depan pintu dengan perasaan takut. Ibunda tersenyum di atas sofa ketika menyulam lalu membuka kedua lengannya menyambut kedatangan anaknya. Maria berlari memeluk ibunda. Gadis kecil itu menangis. Hati kecil tidak bisa mendustai dirinya. Ibunda pasti sedih bila melihat rapor semester kali ini.
“Maria mandi, setelah itu makan. Ibu sudah menggoreng ikan makarel.” “Bu-bunda, tidak marah?” Maria mengkonfirmasi. “Kenapa harus marah?” “Tapi Maria kan tidak rangking, Bunda.” “Gak apa-apa. Sayang mandi dulu ya, nanti kita ke pasar ya, beli baju baru.” “Maria kan nggak dapat rangking di kelas, Bun.” “Kan bunda tidak membelikan Maria baju karena rangking kelas.” “Lalu?” “Bunda senang karena Maria sudah melewati ujian dengan baik. Bunda bangga, sayang. Makanya bunda mau belikan Maria baju baru. Mau kan, Nak?” Maria mengangguk dengan mata berbinar-binar. Gadis kecil yang duduk di kelas 5 SD itu tidak menyangka ibunya tidak berubah sedikitpun. Dari kelas 1 sampai kelas 4 SD Maria memang tidak pernah mengecewakan. Terus terang ibunya tidak pernah berpikir untuk memberikan beban lebih kepada anak sulungnya. Arika mengerti batas-batas kemampuan Maria selama ini. Dia tidak ingin memporsir anaknya.
Ponsel pintar Arika berdering. Manager kantor menelfon dengan suara cemas dan parau, manager tampak kewalahan karena Arika cuti seminggu ini. Sementara pengganti Arika adalah orang baru yang belum bisa apa-apa. Walau Arika memberikan arahan secara daring tetap saja, orang baru di kantor itu pasti butuh bimbingan intensif.
“Lusa saya usahakan masuk, Pak. Mohon mengertilah kondisi saya sekarang.” “Iya, Rika, saya tahu kamu masih berkabung, karena itu juga sebelumnya saya minta maaf, tapi kantor tanpa kamu hancur semua. Nanti uang lembur kamu saya tambah secara pribadi. Tolong yaa, Rika.”
Perempuan 31 tahun itu meletakkan ponselnya di atas meja kaca. Ketika zuhur berkumandang Arika dan Maria baru saja selesai makan siang. Setelah sholat di rumah mereka pun keluar. Arika membawa sepeda motor metik dengan santai. Sengaja agar Maria bisa menikmati siang yang tidak terlalu panas. Alhamdulillah, cuaca siang yang teduh dan semilir agaknya mendukung niat Arika menyenangkan Maria.
Hampir satu jam mereka mengelilingi pasar tradisional. Ada kios pakaian yang bagus dengan harga miring langganan Arika. Tempat itu memang menjadi incaran orang-orang kelas menengah ke atas karena kualitas dan merek yang dijual sangat bagus. Kualitasnya tidak kalah dengan merk mahal di supermarket.
“Maria rangking berapa, Bun? Kata anak saya sih gak masuk 10 besar ya. Kalau Sinta Alhamdulillah, dapat rangking 3. Gak sia-sia saya leskan dia di guru mahal. Hasilnya Nampak memuaskan,” seorang pelanggan yang juga tetangga Arika bertanya. Sebuah pertanyaan yang Arika tahu maksudnya hanya untuk menunjukkan ke pelanggan lain kalau anaknya lebih unggul di kelas daripada Maria. Arika hanya tersenyum. Sungguh senyum tulus dan ikhlas. Tidak apa kok anaknya tidak rangking di kelas.
Arika permisi karena ia harus membeli benang wol yang ada di dalam kios, Mbak Nah karyawan kios yang kenal baik sama Arika meminta untuk bersabar. Arika bukan wanita yang lemah. Hatinya setegar karang. Caci maki dan umpatan tahun lalu karena sebuah fitnah sudah membuatnya menjadi wanita yang sangat tegar. Sekarang, ia menikmati hidupnya sebagai orang tua tunggal bagi Maria dan calon adiknya Maria yang masih 5 bulan. Arika harus tetap sehat.
Setelah pulang dari pasar Arika mampir ke TPU setempat. Ia mengobrol sejenak dan Maria tak kuasa menitikkan air mata. Ia rindu abinya. Kembang di atas pusara masih merah dan tanah pun masih basah. Seminggu yang lalu Arika menjadi janda. Bastian meninggal karena serangan jantung. Mendadak. Sangat mengejutkan Arika dan keluarga lainnya. Bastian adalah sosok suami penyabar dan penyayang, ia hanya mampu mewariskan biaya hidup sampai Maria lulus kuliah dan adiknya tamat SMA nanti. Menutupi kebutuhan harian Arika memang memporsir diri. Ia sering lembur hingga masalah datang silih berganti.
—
Malam harinya Arika datang terlambat ke arisan mingguan. Bu RT padahal sudah mengabari Arika untuk istirahat saja. Arika bisa saja mangkir datang ke arisan kali ini. Tapi dia tidak enak kalau menitip lagi. Sudah dua kali arisan menitip terus. Arika tidak menyangka malam arisan kali ini sangat ramai. Sempat kupingnya mendengar celoteh ibu Astuti yang mengatakan Arika sangat pelit. Sudah tahu anaknya tidak pernah rangking di kelas bukannya dileskan atau apa, malah dibiarkan. Tapi obrolan itu mendadak hening ketika Arika duduk di sebelah ibu Astuti. Tersenyum menyapa.
Acara berjalan lancar. Memang rejekinya Maria. Malam itu Arika mendapat arisan. Karena meninggalkan Maria seorang diri di rumah setelah acara selesai Arika pamit pulang dan tidak bisa ikut ramah tamah. Bu Enda dan Bu Wiliam turut menemani Arika karena ada urusan juga. Mereka bertiga berjalan dengan santai sambil membicarakan hidangan lezat di arisan barusan.
“Sebelum Bunda datang, aduuuuuh, Bun. Abis bunda digosipin Bu Astuti. Yang bilang janda tidak tahu malu. Pelit. Medit. Sama anak kurang perhatian. Mikiri kerja terus sampai anak tak terurus. Pokoknya iiih, kesel saya mah denger Bu Astuti menggosip Bunda tadi.”
Arika tersenyum. Yang sedang dilakukan Bu Enda sekarang adalah menggunjing. Seketika Bu Enda tersenyum malu sambil menepuk pelan lengan Arika. Bu Wiliam yang kagum pada Arika bertanya kenapa Arika begitu sabar, digosipin, difitnah. Bahkan pernah dibilang pelakor sama Bu Astuti tapi memilih diam saja. Tidak membalas atau membela diri. Arika pun seketika merenung. Iya, kenapa? Kenapa dia tidak berusaha menjelaskan pada orang-orang kalau dia tidak bersalah. Walau pada akhirnya kebenaran sudah terungkap. Arika bukan pelakor. Arika tidak pernah korupsi di kantornya. Arika sebenarnya sangat perhatian pada Maria. Tapi kan, orang-orang melihat kulitnya saja. Tidak tahu yang sebenarnya terjadi.
“Saya lebih senang orang tahu sendiri, daripada saya menjelaskan. Karena menjelaskan apapun kepada orang yang tidak suka kepada saya, hasilnya akan tetap sama. Dia tidak akan suka.” Jelas Arika.
“Oya, Bunda. Maaf, kabar Maria yang tidak dapat rangking lagi di kelas apa benar karena Bunda tidak memberikan Maria les tambahan supaya nilainya bagus?” Bu Wiliam bicara hati-hati. Walau Arika jauh lebih muda darinya, sosok Arika sangat berkarisma. Aura Arika seperti seorang bangsawan sering tampak di mata Bu Wiliam. Sejatinya hampir semua ibu-ibu komplek memang segan dengan Arika.
Arika tidak menyangka karena rumor itu rupanya benar-benar beredar. Entah siapa yang memulai. Arika sebenarnya tidak ingin memberikan Maria beban lebih, setelah sekolah hampir seharian, madrasah, setelah itu harus les lagi, kasihan Maria. Arika ingin lebih dekat dengan anaknya setelah status Maria menjadi yatim. Ibu-ibu hanya tahu Maria tidak dapat rangking di kelas. Andai mereka tahu Maria ada di kelas mana mungkin mereka akan sedikit paham. Kelas Maria diisi oleh siswa yang rangking 1 sampai 3 dari kelas sebelumnya. Hanya ada 25 siswa di kelas itu termasuk Maria. Hanya Maria sendiri yang tidak ikut les tambahan dan wajar kalau Maria tidak mendapat rangking. Toh yang masuk sepuluh besar di kelas itu yang amplop terima kasih wali murid ke wali kelas paling besar. Bukan Arika tidak tahu. Sebenarnya Arika bisa saja menolak Maria agar dimasukkan kelas unggul itu. Namun karena Arika ingin meningkatkan jiwa kompetensi secara fair pada Maria, Arika membiarkan anaknya masuk kelas unggul. Tidak apa tidak masuk 10 besar atau 3 besar. Selama porsi belajarnya sama dan Maria paham, baginya sudah cukup. Nilai Maria paling rendah memang dari teman lainnya. Tapi itu sudah cukup membuat Arika bangga. Karena tanpa les, tanpa jawaban bocor, Maria sanggup mengalahkan anak-anak yang diistimewakan dengan uang hanya demi sebuah nilai akademik. Setidaknya itu pandangan Arika terhadap putrinya.
Sekembalinya di rumah, Arika menyempatkan melirik kamar putrinya hingga relungnya tersentuh saat mendengar Maria sedang mengaji. Murotal yang didengar dari anak sulungnya sangat menyentuh hati. Arika bangga sekali pada anaknya itu. Maria yang tahu ibunya pulang seketika melonjak berlari. Menyalami lalu memamerkan murotal yang ia hapalkan selama ini. Maria bahkan bisa menirukan almarhum abinya ketika mengaji. Sontak hal itu membuat Arika tidak kuasa menitikkan air mata. Arika memeluk erat putrinya. Setelah itu Arika mendongeng hingga Maria terlelap.
Di kamarnya, Arika merasakan perutnya agak kram. Sejenak ia duduk di tepi kasur sambil mengatur napas. Matanya terpaku pada foto pernikahannya dengan Bastian 11 tahun lalu. Foto itu melipur lara dan batinnya. Wajah tampan Bastian terlihat sangat teduh menyenangkan. Damai. Arika sempat berpikir apa yang sedang dilakukan suaminya di sana. Seperti apa rasanya alam baka. Apakah masih bisa melihat Arika dan putrinya di dunia ini?
Arika pun tanpa sengaja menyentuh rapor di tepi kasur. Melihat rapor itu Arika pun tersenyum. Hatinya bangga dan senang sekali. Dibukanya rapor itu saksama. Selama ini Maria menduduki puncak peringkat 1 dari kelas 1 sampai kelas 4 semester awal, lalu di kelas unggul, Maria memang merosot di peringkat 7, kemudian sekarang merosot lagi di peringkat pertengahan dari terakhir. Maria tidak mau hanya karena harus mengeluarkan sejumlah uang membuatnya gagal mengetahui kemampuan anaknya sendiri. Rasa ego dan haus akan pujian sudah lama Arika buang jauh-jauh. Semua karena nasihat almarhum suaminya. Arika benar-benar menjadi wanita yang tangguh. Ia yakin kelak orang akan tahu sehebat dan secerdas apa Maria selama ini. Bagi Arika, kebenaran akan menemukan jalannya untuk muncul ke permukaan. Dan itu akan terjadi pada saat yang pas.
Sarolangun, 02 Oktober 2019
Cerita ini pernah dimuat di KBM (Komunitas Bisa Menulis), dan diperbaiki ulang. Setelah sekian tahun tidak menulis, saya memutuskan untuk kembali lagi ke situs di mana saya merasa sangat dihargai dan banyak teman, di Cerpenmu.com ini Insya Allah akan saya jadikan blog kedua untuk semua tulisan saya kedepannya. Mengingat kenangan di sini cukup membuat semangat menulis saya tumbuh lagi. Menulis adalah menciptakan sejarah. Menulislah.
Imuk Yingjun
Cerpen Karangan: Imuk Yingjun Blog / Facebook: Ohmumuku