Sekarang aku merasakan apa yang pernah bapak rasakan. Hidup tanpa pelukan anak, genggaman istri, sendiri. Sekarang aku tahu kenapa bapak selalu memintaku untuk memeluknya—dulu. Sisa umur yang sampai kapan tak tahu dan anak yang semakin besar pasti akan meninggalkan satu persatu.
Di ruangan lembab dan gelap sekarang aku mengerti, bagaimana rasanya ditinggalkan sendiri. Kursi reyot, dipan melorot, tengah menyaksikan berlangsungnya hukum sebab-akibat. Hidup sendiri, tanpa anak istri. Menggigil, kedinginan. Tanpa pelukan, di detik-detik yang tak tahu kapan bertemu akhir.
“Jangan tinggalkan Bapak sendiri,” katanya waktu itu. Merengek meminta pelukan padaku yang siap merantau. “Aku harus merantau. Mencari gunungan uang di kota orang. Karena sekarang, dunia tanpa uang maka matilah, Pak!” Kutepis tangan renta itu dengan kasar dan bergegas menenteng dua koper besar. Aku pergi, meninggalkan bapak tanpa tahu bagaimana rasa sakit yang tengah menjalar. Merambat dari tangan menuju dada, dari dada naik ke pelupuk mata, dan dari mata luruhlah semua dinding kaca.
Aku pergi melanglang buana entah ke mana saja. Mencari gunungan-gunungan uang yang tercecer di kota orang dan mengabai pada bapak yang kesepian menungguku pulang. Membiarkan pria renta itu mati dalam kesendirian.
“Kamu kapan pulang? Bapak bosan sendirian.” “Aku sibuk. Tak bisa pulang. Bapak pergi saja ke pinggir jendela. Lidah tetangga yang ramai pasti bisa menghilangkan kesepian.” Kututup telepon itu sepihak. Memupuskan semua harapan yang telah lama bapak rawat dalam senyap.
Bapak menahan sesak. Untuk keberkian kalinya, dinding-dinding kaca itu pecah. Meluruh pada kulit yang tak lagi kencang. Gelap, menghitam karena terkena sengatan matahari sewaktu muda demi membahagiakan putra tercinta yang nyatanya meninggalkan juga.
Kini aku merasakan apa yang bapak rasakan. Jiwa durhaka ini hidup menua dalam kesendirian. Tanpa teman. Ditinggalkan juga diabaikan. Sekarang aku tahu hukum sebab-akibat selalu berlaku. Yang meninggalkan akan ditinggalkan. Yang melukai akan dilukai.
Sekarang aku sadar, masa mudaku hanya dalam kesia-siaan. Uang yang selama ini aku kejar, nyatanya tak berarti apa-apa ketika aku mencapai ujung senja. Tumbuhan yang selama ini kutanam akhirnya berbuah racun yang harus kutuai.
“Maafkan aku, Pak. Seandainya waktu dapat kuputar, ingin sekali tetap berada di sampingmu. Menemanimu hingga ajal memisahkan.” Hujan di balik jendela menertawakanku diam-diam. Ditatapnya aku yang merana kesepian di bawah remang lampu petromax sambil sesekali menahan gelak. Semakin deras ia turun, semakin kencang langit tertawa, menertawakan jiwa yang telah durhaka pada orangtua.
“Aku menyesal, Pak.” Sisa usia yang tak tahu kapan ujungnya. Sendirian. Ditinggalkan. Seperti bapak yang benar-benar menghilang dalam kesenyapan. Terbang melebur bersama angin yang berhembus mengantarnya menuju keabadian. Aku kembali. Pergi. Meninggalkan. Ditarik paksa jiwa ini oleh petir yang menggelegar. Kesakitan. Sendirian. Tanpa teman. Tanpa genggam tangan. Jiwa durhaka ini pergi dengan luka dan kesengsaraan yang sebenarnya telah lama ia persiapkan.
Cerpen Karangan: Nun.abd Blog / Facebook: facebook.com/el.fitri.1293 Panggil saja dia Nun tanpa imbuhan kata ‘The’. Jika ingin menyapa, kunjungi saja akun IG-nya @Nunluil (tanpa ‘@’). Sebelumnya, terima kasih sudah membaca karyanya.