Di suatu kota, tempat ibu dan ayahku tinggal. Suatu malam, di ruang persalinan ada seorang ibu yaitu ibuku yang sedang mempertaruhkan nyawanya demi mengeluarkan dan melihat bayinya yang selama sembilan bulan di dalam perut. Setelah rasa sakit yang ternetralkan oleh kebahagiaan, bayi pun keluar. Senyum dan ketawa kecil bahagia Ibu dan ayah melihat kehadiran bayi itu. Ibu dan ayah memberi nama bayi itu “Aurum Lisitsa”. Aku terlahir dengan wajah yang cantik, tetapi kata dokter aku memiliki kelainan yaitu otot kelopak mata kananku tidak berfungsi. Sehingga, hanya mata kiriku yang terbuka.
Selama kurang lebih dua tahun, kami bertiga hidup bahagia sebelum akhirnya kami mendapat musibah, ayahku meninggal saat aku berumur dua tahun. Di kamar rumah, aku lihat ibu yang menangis. Hal itu membuatku ikut menangis walau aku sebenarnya tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Seminggu setelah kepergian ayah, kami pindah ke desa tempat pamanku tinggal dan puluhan ladang ternak yang dimilikinya. Di desa yang selalu dingin dan salju yang setia mengguyuri, ada anak yang bernama Aurum, yaitu aku. Di sana aku tinggal bersama ibu dan paman yang selalu berkunjung. Pamanku adalah seorang peternak yang kaya karena memiliki banyak ladang ternak. Ibuku juga seorang peternak dan memiliki banyak ladang ternak. Beberapa ladang ternak ibu diteruskan oleh paman. Setiap hari ibu berkeliling ladang sama seperti paman. Ibu sangat ramah dengan pekerjanya. Aku dan ibu hidup bahagia di sana walau tidak bersama ayah.
Empat tahun kemudian, sudah menginjak tujuh tahun, aku tumbuh menjadi anak yang cantik hidung mancung dengan mata kanan yang selalu tertutup dan tanda lahir berwarna coklat di daguku. Tapi aku tidak menganggap diriku cantik, aku menganggap diriku ini tidak sempurna, mataku hanya satu. Aku benci wajahku.
Tibalah hari pertama aku masuk sekolah. Aku sekolah di kota kecil tidak jauh dari desa tempat tinggalku. Setelah tiga hari sekolah, Aku menyadari bahwa ada suatu yang janggal. Tidak ada orang yang mau berteman denganku. Bukan tidak mau, mereka hanya selalu menjauhiku. Aku sangat sedih dan kesal. Aku tau kenapa ini terjadi, ya, karena memang wajahku yang jelek. Sehingga orang-orang enggan mendekatiku. Walaupun orang-orang menjauhiku, aku tidak peduli. Malah bagus, jadi tidak ada yang melihatku. Walau sebenarnya sedih karena aku berpikir bahwa terlahir tidak normal.
Setiap minggu ibu mengajakku melihat indahnya cahaya di atas langit seperti awan berjatuhan atau biasa yang disebut Aurora. Kami mengunjunginya dengan mobil. Tidak pernah bosan kami mengunjunginya setiap minggu. Memang, tidak terlalu jauh dari rumah kami, hanya membutuhkan sekitar dua jam perjalanan. Aku selalu tersenyum sambil memandang dari ujung hingga ujung cahaya itu setiap kali melihatnya. Cahaya itu bersinar setiap saat. Tetapi, bisa kita lihat dengan mata telanjang hanya dalam keadaan gelap yaitu malam hari dan aurora hanya ada di bumi bagian utara atau selatan yang dekat dengan kutub (untung saja tempat tinggalku tidak jauh dari kutub). Rasanya seperti sedang berdiri di surga setiap diajak ibu ke pemandangan yang adiwarna itu. Di sana ibu selalu memujiku sambil melihat ke atas cahaya itu. “Even gold and aurora can’t beat your beauty,” (“Bahkan emas dan aurora tak bisa menandingi kecantikanmu”). Aku tetap tidak suka mendengar pujiannya karena aku menganggap bahwa ibu sedang berbohong.
Aku selalu sedih setiap pulang sekolah sambil menatap wajah di sebuah cermin di kamarku. “Kenapa aku tidak sempurna, kenapa mata kananku tidak bisa terbuka,” gumamku dalam hati. Kesedihanku membuat aku menangis sampai ibu mendengar dan masuk dalam kamar. Sambil merangkulku, ibu memuji dan memberi pesan kepadaku. “Mata kananmu tidak terbuka itu menandakan kamu itu sempurna. Kamu masih bisa melihat, kamu orang yang spesial, benar kan?” kata ibu sambil menatapku melalui cermin. “Tidak bu, aku ini tidak sempurna. Wajahku ini tidak normal.” Setelah itu aku lepas rangkulan ibu dan lari keluar membantu paman memberi makan hewan ternaknya dengan wajah cemberut.
Besoknya aku melepas cermin yang tertempel di tembok dan kutaruh di kamar ibuku. Aku tidak ingin melihat wajahku di cermin lagi. Tetapi setiap ibu melihat cermin di kamarnya, ditempelkannya lagi cermin itu di kamarku saat aku sekolah. Hal ini dilakukan secara konstan setiap hari. Setelah satu minggu, aku pun membuang cerminnya. Ibu sangat sedih melihatnya.
“Mengapa kamu buang cermin itu?, Kamu tidak mau bercermin?,” kata ibu dengan nada lembut. “Iya bu, aku ini tidak sempurna, aku ini tidak nomal,” kataku dengan nada lebih tinggi. “Kamu itu sempurna, itu berarti Tuhan memberimu kelebihan,” “Udah bu, aku tidak mau lagi mendengar ibu memujiku,” kataku sambil jalan meninggalkan ibu.
Keesokan hari dan seterusnya, aku selalu melihat ibu menulis sesuatu di buku. Sesekali aku bertanya penasaran.. “Ibu, ibu lagi nulis buku apa?” tanya ku dengan wajah penasaran. “Tidak kok, ini hanya data hasil ternak,” kata ibu dengan senyum. “Ohh, yasudah bu aku pergi sekolah dulu ya,” kataku samping paman yang sudah siap mengantarku.
Dua hari sekali paman menginap di rumahku karena memang itu adalah rumah paman dan paman selalu berkeliling ladang ternak miliknya yang berada di berbagai tempat. Paman adalah satu-satunya teman bagiku, dia selalu mengantarku sekolah setiap pagi dan menjemputku. Paman selalu memberiku hadiah dan mengajakku ke beberapa ladang ternaknya.
Setelah satu tahun, kelasku kedatangan murid baru. Kursi yang dilapisi debu sampingku pun akhirnya terisi oleh murid baru itu. Murid baru itu selalu dekat denganku. Dia seorang perempuan cantik, aku sangat iri padanya. Dia selalu dekat denganku. Aku berharap bisa menjadi orang secantik dia.
“Hai, nama kamu siapa? Kenalin aku Aurum,” kata ku sambil memegang pensil. “Namaku Aurora,” jawabnya. “kamu cantik sekali,” pujiku. “Terima kasih, kamu juga,” katanya sambil senyum. “Anak anak, ibu mau memperkenalkan murid baru kita ini…,” jelas guruku dengan suara lantangnya.
Kelas pun selesai, aku kembali mengajak ngobrol Aurora. “Nama panjang kamu siapa?”. “Aeolian Aurora, kamu?” “Aku Aurum Lisitsa, salam kenal ya,” “Eh ngomong-ngomong, namamu bagus sekali sa..,” omonganku terpotong panggilan paman. “Aurum..,” panggil pamanku yang siap menjemputku. “Eh, aku pulang duluan ya, dadah,” kataku sambil merangkul tasku ke pundak dan melambaikan tangan.
Keesokan hari dan seterusnya, aku selalu bersama Aurora saat di sekolah. Dia satu-satunya orang yang dekat denganku di sekolah, aku bingung mengapa dia ingin selalu dekat denganku. Padahal, semua orang menjauhiku. Sesekali aku curhat kepadanya. “Enaknya orang lain, mereka sempurna, tidak sepertiku. Hanya satu mataku yang terbuka.” kata ku. “Hey kamu jangan begitu, kita semua ini sempurna. Matamu yang hanya satu itu menandakan kamu diberi kelebihan oleh Tuhan, kamu harus bersyukur,” jelasnya sambil menulis sesuatu di kertas. Kata-kata dia mirip seperti ibu. Tapi, aku menghiraukan perkataannya.
Pertemanan kami sudah berjalan lima tahun. Oh iya, Aurora temanku ini orangnya pintar, dia sangat rajin belajar, orangnya sangat rapi. Dia banyak mengajariku. Aku merasa jika aku bertemu dia, aku akan mendapat ilmu baru. Aku banyak belajar darinya. Walaupun dia pintar, dia tidak pernah sombong. Aku juga memberi banyak cerita yang menginspirasi dia dan ilmu baru untuk dia. Pertemanan kami berlanjut sampai kami berdua menjadi sahabat. Aku beruntung memiliki sahabat seperti dia. Salah satu yang kusuka dari dia adalah Canadian accentnya (haha).
Di umurku yang ke-lima belas belas ini aku aku sedih, karena ini hari terakhirku sekolah. Sebelum nanti kita berpisah karena jenjang selanjutnya tempat kita berbeda. Dari umur tujuh sampai sekarang, umur lima belas tahun, kami selalu bersama. Di hari itu, di hari perpisahan, dia memberiku sebuah kertas dan menyuruhku untuk membacanya nanti. Selamat tinggal Aurora, semoga kita bertemu lagi di lain kesempatan. Terima kasih sudah menjadi sahabatku.
Cerpen Karangan: Fawwaz Athar Suandhito What I usually do at my spare time: bermain piano, baca Cita-cita: Dokter bedah anak