Saat aku sampai rumah bersama paman, langsung kuambil kertas surat yang ada di kantongku. Surat itu terdiri dari dua halaman. Di halaman pertama tertulis kalimat perpisahan dan di halaman kedua ada pesan tambahan darinya.
“Sometimes we have to be someone else to see how beautiful we are. Look at the aurora, they are beautiful when the earth, moon, and stars see them. –Aurora. If you love your mother, allow her to praise you.”
“Hai sayang, itu lagi surat dari siapa?” kata ibuku yang tiba-tiba datang. “Hehe nggak, ini dari temen,” jawabku sambil lari ke kamar. Kembali, aku menghiraukan isi surat darinya walaupun kata-kata bijak buatannya itu bagus. Mungkin, karena aku sudah seperti ini sejak kecil. Aku selalu membenci fisikku, dan tidak mau orang memujiku.
Sebulan kemudian, aku melanjuti sekolahku yang ber-asrama di salah satu kota di Alaska. Lumayan jauh, aku pulang ke rumah enam bulan sekali dan itu pun hanya sebentar. Aku sedih akan lama berpisah dengan ibu. Tapi mau bagaimana, aku harus mengejar cita-citaku yaitu sekolah setinggi-tingginya dan menjadi pengusaha yang sukses. Lagi pula, ibu sangat mendukungku, ia ingin aku menjadi pengusaha emas yang sukses. Kata orang, menjadi pengusaha tidak harus berpendidikan tinggi. Ya, itu memang sedikit benar, tapi aku tetap ingin sekolah setinggi-tingginya agar aku mendapat lebih banyak ilmu untuk menjalani cita-citaku nanti saat sudah terwujud.
Saatnya tiba di sekolah baruku. Aku melanjutkan sekolahku di salah satu sekolah di Alaska (setara sekolah menengah atas). Aku bersekolah di sana selama dua tahun sebelum akhirnya nanti masuk kuliah. Hari demi hari kujalani. Banyak teman baru, mereka sangat ramah. Aku senang, karena banyak yang mau bermain bersamaku. Malah, tidak ada satupun yang menjauhiku. Suatu hari aku berpikir bahwa perkataan ibu dan Aurora memang benar, aku ini cantik. Aku merasa menyesal selama bertahun-tahun sudah larang ibu untuk memujiku. Aku jadi teringat kata-kata ibu yang masih nempel di otakku “Bahkan emas dan aurora tak bisa menandingi kecantikanmu”. “Aku janji, setelah pulang ke rumah saat liburan, aku akan minta maaf kepada ibu,” gumamku dalam hati dengan rasa penyesalan.
Dua bulan berjalan liburan tengah tahun pun tiba. Sesampai aku di rumah.. “Ibuuuu.., maafin aku ya selama ini aku..,” kata ku sambil ku peluk badannya. “Aku apa?” “Aku dulu melarang ibu untuk memujiku dan aku selalu menganggap diriku ini jelek, tapi itu semua salah bu. Aku terlalu egois dan tidak bersyukur atas pemberian Tuhan.” “Ohh.. sudah.. lupakan saja, sekarang, ibu boleh memujimu ya,” jawabnya sambil senyum kepadaku. “hm hm..” balasku sambil mengangguk dengan senyum lebar. “Ibu maafin aku kan,” “Kenapa ibu harus memaafkan kamu? Kamu tidak salah kok.” “Terima kasih bu, aku sayang ibu,”
Kuharap, setelah aku meminta maaf kepada ibu saat ini, aku akan selalu menganggap diriku ini cantik apa yang seperti ibu katakan dan mendengar pujiannya lagi. Aku ingin ibu setia di sisiku, memelukku, dan berdua bersamaku sambil memandang aurora yang adiwarna itu.
Yang biasanya aku dan ibu melihat aurora hampir setiap hari, sekarang hanya enam bulan sekali. Itu karena aku pulang ke rumah enam bulan sekali. Tapi aku tetap senang dan selalu ingin melihat aurora berdua bersama ibu. Entah kenapa, tidak pernah ada rasa bosan walaupun sekarang umurku sudah tujuh belas tahun. Sekarang aku seorang mahasiswa jurusan ekonomi di University of Alaska Anchorage.
Empat tahun telah berjalan, sekarang umurku sudah dua puluh satu tahun. Syukurlah, karena kerja keras dan perjuangan tanpa putus harapanku selama ini, hanya tinggal selangkah aku mewujudkan mimpiku. Kurang dari setahun lagi, toko emas cabang pertamaku akan launching. Aku tidak sabar melihat ibu bangga kepadaku karena hanya tinggal selangkah lagi aku menjadi pengusaha muda yang sukses.
Hari itu pun tiba, ibu hadir di acara peresmian pembukaan toko emas pertamaku di Alaska. Terlihat tangis haru dan bangga dari raut wajah ibu. Aku sangat senang ibu menyaksikan langkah awal suksesku.
Dua bulan kemudian, ibu sakit (sakit ini memang sering ibu alami karena ibu memiliki penyakit bawaan). Sakit ibu semakin parah. Setelah ibu dirawat selama satu minggu di rumah sakit, kabar menyedihkan datang kepadaku. Aku harus kehilangan ibu, ibu pergi meinggalkanku tepat sembilan belas tahun setelah kepergian ayah. Aku beruntung, ibu sudah menyaksikan kesuksesanku. Sekarang saatnya ibu menyusul ayah, tugas ibu sudah selesai. Walaupun hati ini berat menerimanya, aku harus mengikhlaskan kepergian ibu.
Selama setahun, sebelum aku pergi dan pindah ke Hongkong, dua hari sekali kukunjungi tempat yang biasa aku dan ibu melihat aurora bersama. Melihat aurora hampir setiap malam itu tidak membuatku sedih, karena aku tau ibu sedang melihatku di aurora itu. Aku menanggap aurora yang kulihat di langit itu adalah ibuku. Ini malam terakhirku melihatnya. Besok aku harus pergi jauh ke Hongkong. Di sana aku tidak bisa melihat ibu, inilah saatnya aku berpisah dengan ibu.
Ibu sangat bersyukur walau aku terlahir dengan fisik yang kurang sempurna tapi malah ibu menganggap itu adalah anugerah dan kelebihan dari Tuhan. Aku adalah orang yang sangat berharga di hidupnya. Setiap hari Ibu memuji dan menjagaku. Dulu ayah bekerja di suatu perusahaan tambang emas. Mereka juga suka mengoleksi emas. Itulah mengapa mereka memberiku nama “Aurum” yang berarti emas. Mereka berharap aku memiliki hati seperti emas karena mau di manapun, kapanpun, dan bagaimanapun emas selalu indah dan berharga. Dari ibu aku belajar bahwa kita harus bersyukur dengan apa yang Tuhan beri kepada kita dan harus selalu berpikir positif kepada diri kita. Ibu sudah bahagia melihat kesuksesanku dan sekarang ibu bahagia karena akhirnya ibu bertemu ayah kembali.
Aku dan paman akan pergi ke Hongkong. Paman hanya tiga bulan di sana. Tapi aku akan lama di sana karena dalam beberapa bulan, aku akan menikah dan tinggal bersama keluarga baruku di sana.
Jam sembilan pagi, kutatap rumahku untuk yang terakhir kalinya. Paman sudah memasukkan semua barang bawaan ke dalam taksi. “Ini, jangan lupa kamu bawa ya,” kata paman sambil memberiku sebuah buku berwarna putih. “Oh, iya,” “Selamat tinggal,” gumamku dalam hati dengan senyum dan mata yang berkaca-kaca melihat ke arah rumah. “Hey, ayo! kita akan ketinggalan pesawat,” teriak paman di dalam mobil. “Iyaa, sebentar,” jawabku.
Buku putih yang kugenggam erat itu dibasahi oleh air mata yang terus jatuh dari mata kiriku. Buku itu berisi fotoku bersama ibu dan kata-kata pujian untukku dari ibu yang selama bertahun-tahun ia tulis di buku itu. Mungkin karena dulu aku tidak suka ibu memujiku cantik itulah mengapa dia tulis semua pujiannya di buku ini. Di sampul buku itu terpasang sebuah foto saat ku bayi digendong ibu dengan pemandangan aurora yang indah. “Aurum and Aurora, 1990” tertulis di bawahnya sebagai judul buku itu. Aurora yang dimaksud bukan sahabatku waktu kecil ataupun pemandangan indah di atas langit yang biasa aku dan ibu lihat. Aurora yang dimaksud itu ibuku. Ya, nama ibuku adalah Aurora dan nama panjangnya “Aurora Lisitsa”.
Terima kasih ibu, kau adalah aurora terindah yang pernah ada.
Cerpen Karangan: Fawwaz Athar Suandhito What I usually do at my spare time: bermain piano, baca Cita-cita: Dokter bedah anak